Hari Pendidikan Nasional
Arti Semboyan Ki Hajar Dewantara: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani
Ki Hajar Dewantara diketahui sebagai anggota keluarga Kadipaten Pakualaman karena di depan namanya disematkan gelar 'Raden Mas'
Penulis: Aldi Ponge | Editor: Aldi Ponge
Cari tahu makna dari ketiga semboyan tersebut, yuk!
Ing Ngarsa Sung Tulada
Ki Hajar Dewantara yang lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 menggunakan bahasa Jawa untuk membuat tiga semboyan bagi para pengajar dalam dunia pendidikan Indonesia.
Semboyan pertama adalah ing ngarsa sung tulada, yang jika diuraikan satu persatu, terdiri dari kata ing yang berarti "di", ngarsa yang berarti "depan", sung berarti "jadi", dan tulada yang merupakan "contoh" atau "panutan".
Nah, dari kalimat tersebut, bisa disimpulkan bahwa semboyan Ki Hajar Dewantara yang pertama ini mempunyai arti "di depan menjadi contoh atau panutan".
Ini artinya, seorang guru, pengajar, atau pemimpin harus bisa memberikan contoh serta panutan kepada orang lain di sekitarnya saat ia berada di depan.
Ing Madya Mangun Karsa
Sama seperti semboyan yang pertama, agar mengerti arti dari semboyan kedua, kita cari tahu arti setiap katanya terlebih dulu, yuk!
Ing artinya "di", madya memiliki arti "tengah", sedangkan mangun berarti "membangun" atau "memberikan", dan karsa memiliki arti "kemauan", "semangat", atau "niat".
Jika digabungkan, semboyan ing madya mangun karsa memiliki arti yaitu "di tengah memberi atau membangun semangat, niat, maupun kemauan".
Semboyan ing madya mangun karsa memiliki makna bahwa ketika guru atau pengajar berada di tengah-tengah orang lain maupun muridnya, guru harus bisa membangkitkan atau membangun niat, kemauan, dan semangat dalam diri orang lain di sekitarnya.
Tut Wuri Handayani
Kalau semboyan ketiga yang diciptakan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu tut wuri handayani mungkin sudah tidak asing, nih, bagi teman-teman.
Coba teman-teman perhatikan lambang pendidikan nasional yang ada di topi maupun dasi yang teman-teman gunakan setiap hari.
Di bagian atas lambang pendidikan nasional tersebut, ada tulisan tut wuri handayani yang juga merupakan semboyan ketiga yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.
Kata tut wuri dapat diartikan sebagai "di belakang" atau "mengikuti dari belakang" dan handayani yang berarti "memberikan dorongan" atau "semangat".
Dari pengertian tersebut, bisa diartikan tut wuri handayani memiliki arti "di belakang memberikan semangat atau dorongan".
Nah, dari pengertian tersebut, makna dari semboyan ketiga ini berarti ketika berada di belakang, pengajar atau guru harus bisa memberikan semangat maupun dorongan kepada para muridnya.
Berdirinya Taman Siswa
Dan ketika Ki Hadjar Dewantara telah kembali ke Indonesia, ia mendirikan sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922.
Konsep pendidikan yang diajarkan di sekolah Taman Siswa, lalu menjadi konsep pendidikan nasional Indonesia.
Lalu muncullah semboyan KI Hajar Dewantara soal pendidikan.
Semboyan itu tertulis dalam bahasa Jawa yang berbunyi, 'Ing ngarso sung tuladha, ing madya membangun, tut wuri handayani'.
Artinya 'di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, di belakang memberi dorongan'.
semboyan ciptaan Ki Hajar Dewantara tersebut sampai kini slogan Kementerian Pendidikan Indonesia.
Dimana Ki Hadjar Dewantara dianggap sebagai pahlawan yang sangat berjasa bagi kemajuan dunia pendidikan Indonesia.
Ki Hadjar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa yang merupakan sebuah tempat yang memberikan kesempatan bagi penduduk pribumi biasa untuk dapat menikmati pendidikan yang sama dengan orang-orang dari kasta yang lebih tinggi.
Sebab pada zaman penjajahan Belanda, pendidikan merupakan hal yang sangat langka dan hanya orang-orang terpandang serta orang-orang asli Belanda sendiri yang diperbolehkan untuk mendapatkan pendidikan.
Ki Hadjar Dewantara juga terkenal dengan tulisannya, dimana seringkali terlibat masalah dengan Belanda akibat dari tulisan-tulisan yang tajam yang ditujukan untuk pihak Belanda.
Salah satu tulisan yang terkenal adalah Als Ik Eens Nederlander Was, yang dalam bahasa Indonesia berarti Seandainya Saya Seorang Belanda.
Karena tulisan tersebut Ki Hadjar Dewantara akhirnya dibuang ke Pulau Bangka oleh Belanda.
Namun pada akhirnya Ki Hadjar Dewantara mendapatkan bantuan dari Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesumo yang meminta agar dipindahkan ke Belanda.
Dan ketika Ki Hadjar Dewantara telah kembali ke tanah air, lalu mendirikan Perguruan Nasional Taman Siswa pada 3 Juli 1922, dimana lembaga tersebut menjadi tolak ukur dari awal konsep pendidikan nasional Indonesia.
Asal Usul Nama dan Kehebatan Dibalik Nama Besarnya
Dari mana nama Ki Hajar Dewantara?
Dalam buku Ki Hajar Dewantara Ayahku, Bambang Sokawati Dewantara mengisahkan hal itu.
Tanggal lahir lelaki yang bernama awal Raden Mas Suwardi Suryaningrat ini adalah 2 Mei 1889.
"Bapakmu memang hebat! Begitu yakinnya dia pada kepribadiannya, maka ia pakai nama itu untuk dirinya: Ki Hadjar Dewantara." Begitu kata Hendra Gunawan (pelukis) kepada Bambang, yang langsung menukas, "Di mana letak kehebatannya?"
"Bukankah nama itu nama seorang Guru Besar yang berhasil menyatukan aliran-aliran agama dan kepercayaan di seluruh Jawa Dwipa di zaman karuhun?" (karuhun, bahasa Sunda, artinya nenek moyang, leluhur)
Karena penasaran, Bambang pun menanyakan hal itu ke bapaknya langsung. Inilah yang kemudian dituliskan di bukunya itu.
Seperti diketahui, berdirinya Tamansiswa (3 Juli 1922) diawali dengan terbentuknya suatu forum diskusi yang terdiri atas orang-orang politik, orang-orang kebudayaan, dan filosof.
Karena diskusi diadakan tiap hari Selasa Kliwon, maka mereka menamakan diri "kelompok Selasa Kliwonan".
Pemimpinnya Ki Ageng Suryomentaram, adik mendiang Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Dalam diskusi atau sarasehan kelompok ini, rupanya kemampuan Suwardi Suryaningrat dalam hal ilmu keguruan dan pendidikan memang sangat menonjol.
Hal ini tampak ketika RM Sutatmo (anggota Volksraad/Boedi Oetomo) memimpin sidang.
Dengan spontan dan serius ia mengubah kebiasaannya memanggil adik sepupunya itu tidak lagi "Dimas Suwardi" sebagaimana lazim dilakukannya.
Akan tetapi ia memanggilnya dengan sebutan Ki Ajar.
Cara ini kemudian diikuti oleh Ki Ageng Suryoputro (RMA Suryoputro), dan anggota lainnya.
Saat itu Suwardi menerima julukan yang diberikan oleh Ki Sutatmo Suryokusumo dan Ki Ageng Suryoputro dan kawan-kawannya sebagai kelakar semata.
Namun sesudah Tamansiswa berdiri, selama 6 tahun, pada tanggal 3 Februari 1928 Suwardi dan istri secara resmi berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara.
10 Kutipan Populer Ki Hajar Dewantara
#1 “Kalau suatu ketika ada orang meminta pendapatmu,apakah Ki Hadjar itu seorang nasionalis, radikalis, sosialis, demokrat, humanis, ataukah tradisionalis, maka katakanlah bahwaaku hanyalah orang Indonesia biasa saja yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia - Ki Hadjar Dewantara
#2 “Pengajaran yang diberikan oleh Pemerintah Kolonial hanya untuk dapat menjadi "buruh" karena memiliki "ijazah", tidak untuk isi pendidikannya dan mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa-raga (pasal 2).
Pengajaran yang berjiwa kolonial itu akan membawa kita selalu tergantung pada bangsa Barat. Keadaan inu tidak akan lenyap hanya dilawan dengan pergerakan politik saja. Perlu diutamakan penyebaran hidup merdeka dikalangan rakyat kita dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan nasional (pasal 3) - Ki Hadjar Dewantara (Azas 1922)”
#3 “Pembangunan dan Indonesia adalah dua terma yang menjadi mimpi Ki Hadjar Dewantara untuk mengajak-mengajarkan kemandirian,”
― Maulana Kurnia Putra, Eling & Meling; Sejumlah Esai Dalam Kongres Ki Hadjar Dewantara
#4 “Melalui ngerti, ngrasa, lan ngelakoni (menyadari, mengisyafi, dan melakukan), budi pekerti yang dibentuk untuk merdeka dan mandiri akan hadir adab - Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama Pendidikan, Yogyakarta; Majlis Luhur Taman Siswa 1967”
― Maulana Kurnia Putra, Eling & Meling; Sejumlah Esai Dalam Kongres Ki Hadjar Dewantara
#5 “RM. Suwardi Suryadiningrat: di dalam tubuhnya yang lemah itu bersemayamlah daya kemauan yang tak terlawan, yang selalu ia menangkan setiap kali ia memperjuangkan sesuatu - Ernest Douwes Dekker” ― Maulana Kurnia Putra, Eling & Meling; Sejumlah Esai Dalam Kongres Ki Hadjar Dewantara
#6 “Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah - Ki Hadjar Dewantara”
― Term of Reference Panitia Kongres Ki Hadjar Dewantara 45 Mei 2013
#7 “Taman siswa menurunkan mutu pengadjaran dan membawa kita kembali sepuluh tahun ke belakang! Memang kita harus kembali beberapa puluh tahun, kita amat mengingini untuk menemukan "titik tolak" agar kita dapat berorientasi kembali: kita telah salah djalan - Ki Hadjar Dewantara dalam pidatonya di Yogyakarta 1938”
― Arif saifudin yudistira, Eling & Meling; Sejumlah Esai Dalam Kongres Ki Hadjar Dewantara
#8 "Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat Itu.
Meskipun mengenyam pendidikan di tempat yang sama dan didik oleh guru yang sama, tentunya setiap murid punya jalannya sendiri-sendiri."
#9 Ing Ngarso Sung Tuladha. Ing Madya Mangun Karsa. Tut Wuri Handayani (Di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, di belakang memberikan dorongan)
#10 "Pengaruh pengajaran itu umumnya memerdekakan manusia atas hidupnya lahir, sedangkan merdekanya hidup batin itu terdapat dari pendidikan.
Bedanya pengajaran dan pendidikan: pengajaran untuk memerdekakan lahir (yang kelihatan), sementara pendidikan memerdekakan batin (hati dan jiwa)." (Aldi Ponge/berbagai Sumber)