Ramadan 2020
Makam Kyai Modjo Suguhkan Tradisi Pungguan Dan Gholibah di Bulan Ramadan
Kyai Muslim Muhamad Halifah atau lebih dikenal dengan Kyai Modjo adalah salah satu pejuang yang menentang kekuasaan Belanda
Penulis: Andreas Ruauw | Editor: David_Kusuma
TRIBUNMANADO.CO.ID, TONDANO - Kyai Muslim Muhamad Halifah atau lebih dikenal dengan Kyai Modjo adalah salah satu pejuang yang menentang kekuasaan Belanda pada tahun 1825-1830 (dikenal dengan Perang Diponegoro). Beliau adalah penasehat spiritual Pangeran Diponegoro.
Pada akhir tahun 1828 beliau ditangkap melalui suatu tipu muslihat dan dibuang ke Minahasa. Dalam masa pengasingannya disertai 62 orang pengikutnya yang kesemuanya adalah pria.
Mereka berangkat dari Batavia (Jakarta) melalui Ambon dan tiba di Minahasa di Desa Kema, Kecamatan Kauditan daerah Pantai Timur Minahasa pada tahun 1829.
Kemudian diarahkan oleh pemerintah Belanda untuk menghuni bagian barat sungai Tondano, yang tempat itu nantinya menjadi cikal bakal Kampung Jawa Tondano atau lebih dikenal dengan istilah Jaton.
• Polres Kotamobagu Tetap Siagakan Personel, Meski Peringatan May Day Tanpa Aksi
Bersama ke-62 pengikutnya, Kyai Modjo menghabiskan masa hidupnya di Tanah Minahasa. Dan salah satu ikon peninggalan Kyai Modjo di Kampung Jaton adalah lokasi makam dirinya bersama 62 pengikut.
Makam tersebut terletak di Kelurahan Walauan, Tondano Utara, yang berjarak sekitar empat kilometer dari pusat kota Tondano. Jika ditempuh dari Kota Manado hanya memakan waktu sekitar 90 menit.
Kini para warga Kampung Jaton menjadikan lokasi makam itu sebagai tempat mempererat ikatan spiritual antar sesama maupun dengan Sang Pencipta, sehingga tak heran sering menemukan sejumlah peziarah yang sedang melantunkan doa.
• Kisah Tenaga Medis Puasa di Tengah Perang Lawan Covid-19
Apa lagi saat memasuki bulan puasa seperti ini merupakan momen yang sangat berarti bagi warga Jaton untuk menyelenggarakan tradisi Pungguan dan Gholibah sebagai wujud kesetiaan mereka kepada para pendahulu.
"Kami di sini setiap tahunya sering merayakan upacara Gholibah yang terlebih dahulu kami melakukan ritual Pungguan. Namun sayang untuk tahun ini tidak bakal dilaksanakan karena adanya instruksi pemerintah sebagai pencegahan Covid-19," ungkap salah satu warga Jaton bernama Tuti Thayeb (57).
Tuti yang saat itu datang untuk berziarah di makam keluarga terlihat hanya datang sendiri.
• Fakta Kasus Covid-19 di Pabrik Sampoerna Surabaya, 2 Karyawan Meninggal, Ratusan Orang Kena Imbas
"Kalau tahun lalu bisa dari bawah sampe atas, ramai sekali. Banyak orang dari luar daerah berkunjung karena masih tradisi Jaton kan. Ini jadi peluang buat kami kumpul sama keluarga juga. Tapi ya sekali lagi karena pandemi ya jadi begini," ujarnya.
Kampung Jaton ini begitu terkenal di Sulut, bukan hanya karena menjadi minoritas di daerah mayoritas, namun menjadi simbol kerukunan antar umat beragama.
Sudah beratus tahun mereka hidup berdampingan tanpa ada konflik antar-agama, dengan sikap toleransi antara umat beragama yang tinggi.