Virus Corona
Mengapa Pasien Covid-19 Sering Menyangkal dan Berdusta Ketika Lakukan Pemeriksaan?
Mengapa banyak orang (pasien) memilih untuk berbohong atau melakukan penyangkalan?
Hal yang terjadi selanjutnya adalah perilaku berkebalikan dari help seeking (mencari pertolongan), di mana seharusnya pasien mencari pertolongan ke fasilitas kesehatan.
“Stigma ini muncul ditandai dengan adanya penolakan dari masyarakat. Penyangkalan, kebohongan, bahkan seperti penolakan jenazah. Covid-19 ini muncul dalam waktu yang sangat cepat untuk memberikan pengetahuan tentang kesehatan,” papar Tri.
Stigma seperti ini pernah terjadi beberapa tahun lalu terhadap para penderita HIV/AIDS. Tri menjelaskan, perbedaannya terletak pada rentang waktu Covid-19 yang sangat singkat dan genting.
“Stigma terhadap pasien HIV/AIDS akhirnya pudar setelah bertahun-tahun. Tapi dalam kasus Covid-19 masyarakat tidak punya waktu untuk beradaptasi. Tiba-tiba semua aktivitas berubah, tidak bisa keluar rumah, gentingnya sangat terasa,” paparnya.

Recall bias
Dalam kesempatan lain, Henry Surendra selaku ahli epidemiologi Eijkman-Oxford Clinical Research Unit menyebutkan bahwa masyarakat bisa menjadi hambatan penanggulangan Covid-19.
Salah satu tantangan hadir dalam hal surveilans dan respon, dengan bentuk recall bias.
“Recall bias adalah saat seseorang ditanya dalam 14 hari terakhir, maka ia cenderung lupa atau sengaja tidak jujur,” tutur Henry dalam webinar bertajuk “Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19”, Selasa (21/4/2020).
Tantangan selanjutnya adalah ketidakpatuhan dan partisipasi yang belum optimal.
“Misal saat beberapa wilayah melangsungkan PSBB, masih ada tempat ibadah yang melangsungkan ibadah massal. Atau masih banyak orang berkerumun tanpa menggunakan masker,” tambah Henry.

Komunikasi tepat sasaran
Jika penyangkalan dan kebohongan ini terus-menerus dibiarkan, bukan tidak mungkin penanggulangan Covid-19 di Indonesia akan semakin terulur. Bagaimana cara menyiasatinya?
Tri menyebutkan perlunya komunikasi dan pemberian informasi yang seimbang sesuai dengan kelas ekonomi dan status sosial.
“Orang-orang yang berada pada status sosial middle up sangat mudah dididik. Namun mereka yang statusnya middle ke bawah, kita butuh memberi informasi sesuai kebutuhan mereka,” paparnya.
Salah satu jalur terbaik untuk menjangkau masyarakat seperti ini, menurut Tri, adalah dengan memanfaatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Puskesmas.
“Beda daerah, beda lagi cara penyampaiannya. Komunikasi kita harus tepat sasaran, tidak bisa ngomong dengan standar normal kita,” imbuhnya.
Sumber: Kompas.com