Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Tips dan Trik

Tips Ampuh agar Tidak Stres Saat Lakukan Karantina di Situasi Pandemi Virus Corona

Kecemasan akan sebaran virus yang belum mereda, serta derasnya arus informasi bisa berdampak buruk pada kesehatan mental masyarakat.

(Shutterstock)
Ilustrasi karantina 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kasus virus corona secara global, sampai dengan hari ini masih terus bertambah.

Karenanya, Dunia sedang mengalami ketidakpastian akibat wabah virus corona tersebut.

Kecemasan akan sebaran virus yang belum mereda, serta derasnya arus informasi bisa berdampak buruk pada kesehatan mental masyarakat.

Terlebih, kebijakan karantina dan jaga jarak sosial kini menjadi kenyataan yang harus diterima oleh banyak orang.

Alasan Mengapa Obat HIV Dianggap Bisa Sembuhkan Covid-19? Peneliti Sudah Mencobanya

Sebuah studi yang dipublikasikan di jurnal medis The Lancet mencatat, dampak psikologis dari karantina bisa sangat besar, seperti kecemasan, kemarahan, depresi, hingga gangguan tidur.

Itu bisa menjadi masalah tidak hanya bagi orang-orang dengan masalah kesehatan mental yang sudah ada sebelumnya, tetapi juga orang-orang dengan kesehatan psikologis yang tampaknya baik.

Berikut cara melindungi kesehatan mental di saat pandemi Covid-19:

Batasi berita dan filter informasi

Mendapatkan informasi merupakan hal yang penting, tapi membatasi asupan berita di saat pandemi tak kalah pentingnya untuk mengurangi perasaan panik dan cemas.

Caranya, batasi jumlah waktu untuk membaca atau menonton hal-hal yang tidak membuat Anda merasa lebih baik.

Tak lupa, cari waktu-waktu tertentu untuk memeriksa berita yang penting dan betul-betul dibutuhkan.

Menyaring informasi yang belum terkonfirmasi di media sosial atau aplikasi perpesanan juga menjadi salah satu alternatif terbaik.

Sebaiknya, Anda mencari fakta tentang Covid-19 serta memahami risiko aktual untuk diri sendiri dan orang-orang yang Anda sayangi.

Hal itu seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) agar lebih banyak mencari fakta dibandingkan rumor atau disinformasi.

Istirahat dari media sosial

Saat menjalani masa penguncian dan social distancing, media sosial banyak dipenuhi oleh orang-orang yang mengisi waktu mereka untuk menghilangkan kejenuhan.

Namun, tak adanya sensor di media sosial justru bisa menjadi bumerang bagi seseorang.

"Sebulan yang lalu saya mengklik tagar dan melihat semua sampah konspirasi yang tak terverifikasi. Itu membuat saya sangat cemas dan sangat putus asa," kata Alison, seorang pria dari Manchester, dilansir dari BBC.

Untuk itu, beberapa cara yang bisa dilakukan adalah membisukan kata-kata tertentu di media sosial Twitter yang memicu kecemasan, berhenti mengikuti akun provokatif, atau bahkan menonaktifkan akun.

Selain itu, membisukan grup WhatsApp serta menyembunyikan pos dan umpan di media sosial juga bisa dilakukan jika hal itu dirasa terlalu berlebihan.

Selain Jahe, Beberapa Jenis Makanan Berikut Bisa Menjadi Pilihan untuk Tingkatkan Daya Tahan Tubuh

Tetap Terhubung dan Menyibukkan Diri

Masa karantina yang mencegah seseorang untuk melakukan pertemuan dengan keluarga atau kolega mungkin akan membuat seseorang merasa bosan.

Agar tetap terhubung dengan orang lain, Anda bisa melakukan panggilan video bersama melalui sejumlah aplikasi.

"Setujui waktu check-in secara teratur dan usahakan agar tetap terhubung dengan orang-orang di sekitar Anda," kata Juru Bicara Badan Amal Kesehatan Mental Mind Rose Weatherley.

Selain itu, menjaga agar tetap sibuk juga penting bagi orang dewasa dan anak-anak di rumah.

Weatheley menyarankan agar melakukan keseimbangan antara rutinisas dan memastikan setiap hari memiliki variasi baru.

Upaya Menstabilkan Nilai Tukar Rupiah, BI Gelontorkan Hampir Rp 300 Triliun

Mengenal Herd Immunity

Setidaknya, hingga hari ini Senin (23/03/2020) ada sebanyak 339.712 kasus positif terkonfirmasi di dunia, dengan jumlah kematian sebanyak 14.704 orang dan yang dinyatakan sembuh adalah sebanyak 99.016 menurut data dari Worldometers.

Di tengah merebaknya virus corona, muncul sebuah istilah yang ramai diperbincangkan yakni Herd Immunity atau kekebalan kelompok.

Istilah ini menjadi pembicaraan publik usai Perdana Menteri Inggris Boris Johnson didampingi Petugas Kepala Medis Chris Whitty mengatakan bahwa sekitar 40 juta warga Inggris harus tertular virus itu.

Johnson juga mengusulkan isolasi rumah untuk kasus-kasus yang dicurigai, tetapi pembatasan besar-besaran terhadap masyarakat tidak dilakukan.

Usai pernyataan itu, Inggris dianggap menjadikan herd immunity sebagai strategi mitigasi penanganan wabah di negara itu.

Sir Patrick Vallance Kepala Penasihat Ilmiah Inggris juga mengatakan pada Radio BBC hal serupa, bahwa untuk mengendalikan virus maka negara perlu membangun kekebalan kelompok.

Tak hanya Inggris, mengutip Independent, Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda juga dianggap menggunakan strategi herd immunity dalam penanganan wabah.

Hal itu usai pidato nasionalnya yang disiarkan televisi.

"Kenyataannya adalah bahwa dalam waktu dekat sebagian besar penduduk Belanda akan terinfeksi virus ini. Kita bisa memperlambat penyebaran virus sambil membangun kekebalan kelompok yang dikendalikan," ujar Rutte mengutip dari Irish Times.

Tuai Kontroversi

Baik Inggris maupun Belanda keduanya mendapatkan kecaman akan langkah mereka yang dianggap menggunakan strategi herd immunity.

Melansir ScienceFocus, lebih dari 500 ilmuwan dari universitas di Inggris menulis protes kepada pemerintah.

Menurut mereka menggunakan herd immunity untuk kondisi saat ini akan berisiko menyebabkan lebih banyak nyawa hilang daripada yang diperlukan.

Matt Hancock dari Departemen Kesehatan dan Perawatan Sosial Inggris dilansir dari Independent akhirnya mengklarifikasi. Ia menyangkal tudingan terkait Herd Immunity sebagai cara yang digunakan Inggris.

“Kekebalan kelompok adalah produk sampingan alami dari epidemi,” ujar dia.

Sementara itu, melansir dari Dutch News, Perdana Menteri Belanda, Rute kemudian juga mengklarifikasi ucapannya.

Dia menegaskan kekebalan kelompok bukanlah tujuan kebijakan Belanda dan dia menyebut terjadi kesalahpahaman usai pidatonya di televisi.

Dia menekankan bahwa kekebalan kelompok adalah efek samping dari strategi dan tujuan pemerintah tentu saja tidak untuk memastikan sebanyak mungkin orang terinfeksi.

Tangani Wabah Virus Corona, Kemensos Siapkan Cadangan Beras Pemerintah untuk Daerah Terdampak

Apa itu herd immunity atau kekebalan kelompok?

Melansir dari Business Insider, herd imunity adalah saat sebagian besar presentase populasi kebal terhadap patogen sehingga penularan tidak terjadi secara luas.

Misalnya untuk membatasi penyebaran campak, para ahli memperkirakan bahwa 93 persen hingga 95 persen populasi harus kebal.

Campak dianggap lebih menular dibanding virus corona jenis baru di mana ahli memperkirakan 40 persen hingga 70 persen populasi perlu kebal untuk menghentikan penyebaran yang cepat.

Kekebalan kelompok dapat dicapai dengan vaksin dan bisa didapat secara alami setelah orang yang terinfeksi pulih dan kemudian menjadi kebal.

“Jika seseorang dengan campak dikelilingi oleh orang-orang yang divaksinasi campak, penyakit itu tidak mudah ditularkan kepada siapapun dan penyakit itu, akan segera hilang lagi,” ujar organisasi The Vaccine Project Sains di Universitas Oxford yang mencontohkan konsep herd imunity menggunakan analogi orang yang terinfeksi campak sebagaimana dikutip dari Independent.

“Ini disebut 'kekebalan kelompok', 'kekebalan komunitas' atau 'perlindungan kawanan', dan ini memberikan perlindungan kepada orang-orang yang rentan seperti bayi baru lahir, orang tua dan mereka yang terlalu sakit untuk divaksinasi,” lanjutnya.

Power Ranger Merah Tiba-tiba Muncul dan Semprot Cairan Disinfektan, Warga Beri Apresiasi

Risiko besar

Banyak kekhawatiran para ahli tentang konsep herd immunity jika itu diterapkan sebagai strategi penanganan wabah.

Salah satu alasannya, saat ini tidak diketahui dengan pasti apakah ada orang yang dapat terinfeksi ulang oleh virus corona SARS-Cov-2 atau tidak.

"Satu-satunya cara aman kita agar bisa mendapatkan kekebalan kelompok terhadap virus ini adalah vaksin," ujar Natalie Dean, Biostatistician di University of Florida yang berspesialisasi dalam epidemiologi penyakit menular sebagaimana diutip dari Business Insider.

Mengutip dari ScienceFocus, Sir Pattrick Vallance dalam keterangannya mengatakan butuh sekitar 60 persen populasi untuk terinfeksi agar herd immunity bisa terjadi.

Padahal, WHO menyebutkan bahwa angka kematian karena Covid-19 diperkirakan sekitar 3,4 persen.

Maka jika 60 persen populasi terinfeksi misal dari sekitar 40 juta orang, itu berati akan ada ratusan ribu kematian.

Sementara itu, Lawrence Gostin, Direktur Intitut O’Neill untuk Hukum Kesehatan Nasional dan Global di Pusat Hukum Universitas Georgetown di Washington mengatakan, membiarkan ada begitu banyak infeksi di suatu negara agar ada Herd Immunity yang terbentuk adalah suatu bencana.

"Ini tentu saja bukan strategi, dan sebagai hasilnya, itu bukan yang sangat menguntungkan. Tujuannya sekarang, saya pikir, bukan untuk menghentikannya, tidak hanya membiarkannya berjalan, tetapi untuk benar-benar memperlambatnya melalui sosial distance yang sangat agresif," ucapnya sebagaimana dikutip dari SCMP.

Sifat virus

Dr. Jeremy Rossman Dosen Senior Kehormatan Bidang Virologi di Universitas Kent mengatakan, ada beberapa hal yang akan mempengaruhi virus corona baru di masa depan nanti yang saat ini belum diketahui.

Menurut Jeremy yang pertama belum diketahui apakah virus corona akan menjadi penyakit musim layaknya flu atau cukup konstan sepanjang tahun.

Kedua adalah belum diketahui berapa banyak mutasi virus yang terjadi seiring waktu.

Virus penyebab flu selama ini terus bermutasi sehingga orang butuh vaksinasi tahunan untuk melindungi jenis yang paling umum tahun itu.

“Coronavirus mungkin bermutasi pada tingkat yang lebih lambat,” kata Rossman dilansir dari Science Focus.

“Tetapi jika terus beredar, maka kita akan melihat perubahan. Pertanyaannya adalah apa yang akan dilakukan perubahan itu: mereka dapat membuat virus lebih baik dalam menghindari sistem kekebalan tubuh kita, misalnya, atau lebih mudah ditularkan” ujarnya.

Selain itu saat ini tidak diketahui berapa lama mereka yang terinfeksi akan kebal.

Anggota Satgas TMMD 107 Gelar Komsos Bersama Warga Desa Mataindo

Beberapa jenis virus corona lain yang menyebabkan flu biasa, hanya memberikan kekebalan selama sekitar tiga bulan.

"Ada bukti untuk kekebalan jangka pendek (setelah mengontrak Covid-19)," kata Rossman.

"Tapi kami hanya belum memiliki data untuk mengetahui apakah itu memberikan kekebalan jangka panjang." Lanjutnya.

Dia memperkirakan untuk membangun herd immunity seseorang perlu kebal terhadap virus corona selama setidaknya satu atau dua tahun.

Sehingga menurutnya, harapan terbaik adalah vaksin yang banyak diperkirakan baru akan ada sekitar satu tahun lagi.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Rossman mengatakan, tindakan yang dapat diambil adalah menjaga masyarakat mendapatkan informasi, terus menguji orang dan mengurangi penyebaran dengan mengurangi kontak sosial.

"China adalah contoh yang bagus: virus tidak menciptakan kekebalan kelompok, tetapi mereka telah berhasil menahan wabah dan menghentikan kasus-kasus baru menyebar di seluruh populasi," ujarnya.

“Jika kita bisa melakukannya di sana, kita bisa melakukannya di seluruh dunia. Ini akan sulit, tetapi saya pikir itu mungkin," pungkasnya.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Beberapa Tips agar Tidak Stres Saat Pandemi Virus Corona

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved