Salah Ketik Pasal 170 RUU Cipta Kerja, Mahfud MD: Masih Bisa Diperbaiki Selama Proses di DPR
Menteri Koordinator bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan kesalahan pengetikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Omnibus Law RUU Cipta menjadi polemik yang terus diperbincangkan hingga kini.
Terbaru, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan kesalahan pengetikan dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja masih bisa diperbaiki.
Hal itu disampaikan Mahfud menanggapi Pasal 170 draf RUU Cipta Kerja yang menyatakan peraturan pemerintah (PP) bisa membatalkan undang-undang.
"Yang penting, RUU Cipta Kerja itu sekarang masih dalam bentuk rancangan di mana semua bisa diperbaiki. Baik karena salah, maupun karena perbedaan pendapat, itu masih bisa diperbaiki selama proses di DPR, itu saja."
"Jadi tidak ada PP itu bisa mengubah undang-undang,"ujar Mahfud di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/2/2020).
Ia menambahkan pemerintah memastikan draf RUU Cipta Kerja pasal 170 itu keliru lantaran tak mungkin PP membatalkan undang-undang.
"Ya salah ketik sebenarnya. Artinya seharusnya keliru, kan tadi sudah disepakati kalau kembali ke dasar teori ilmu perundang-undangan, bahwa yang bisa mengubah undang-undang itu hanya undang-undang. Kalau PP itu hanya bisa mengatur lebih lanjut, itu prinsipnya," lanjut dia.
Seperti diketahui, dalam pasal 170 ayat 1 BAB XIII RUU Omnibus Cipta Kerja, presiden sebagai kepala negara memiliki kewenangan mencabut UU melalui PP dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja.
Tidak hanya itu, seorang presiden juga memiliki kewenangan mencabut Perda yang bertentangan dengan undang-undang di atasnya melalui Peraturan Presiden (Perpres).
Hal itu termaktub pada Pasal 251 di draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja, yang menggantikan Pasal 251 dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Potensi Menabrak Prinsip Demokrasi
Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja dianggap sebagai cara ekstrem pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Namun, pembahasan RUU ini disayangkan lantaran berpotensi menabrak sejumlah prinsip demokrasi yang telah dibangun di Indonesia selama ini.
Manager Riset Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran ( FITRA) Badi'ul Hadi mengungkapkan hal itu dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).
"Tahun lalu angka pertumbuhan ekonomi kita sempat turun di angka 4,97 persen. Ini agak ekstrem (penurunannya) dari (target) 5 (persen)," kata Badi'ul.
Ia menambahkan, dalam kurun lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Tanah Air tidak pernah absen di atas angka 5 persen.
Tahun ini, pemerintah mematok target pertumbuhan 5,3 persen.
Bahkan, target tersebut diharapkan dapat tumbuh di akhir periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo hingga 6 persen.
Namun target tersebut diperkirakan akan sulit dicapai bila pemerintah tak melakukan terobosan ekstrem. Dalam hal ini, terobosan ekstrem yang diklaim tengah dilakukan yaitu RUU Cipta Kerja dalam bentuk omnibus law.
"Ini saya kira sangat berat untuk mencapainya," ucap dia.
Persoalannya, banyak regulasi yang diatur di dalam RUU ini hanya menguntungkan segelintir kalangan.
"Kalau kita lihat bagian terkhusus tentang perpajakan, misalnya, bagaimana pemerintah akan menurunkan pajak badan usaha di Indonesia dari 30 sekian persen menjadi 20 sekian persen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," ungkapnya.
"Melalui omnibus law itu pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi instan, tapi itu akan mengubah sistem demokrasi kita yang selama ini telah kita bangun. Karena ada banyak hal yang diubah," imbuhnya.
• Tidak Ingin Kasus Gagal Bayar Jiwasraya Terulang, OJK Buat Aturan Penilaian Kesehatan Asuransi
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mahfud Sebut Salah Ketik Pasal 170 RUU Cipta Kerja Bisa Diperbaiki".