Tsunami Aceh
KISAH Sebelum dan Setelah Aceh Diterjang Tsunami Dahsyat, Ada Banyak Pesan Tersirat
Zawiyah juga pada Sabtu 25 Desember 2004 juga meminta saya (Yusmandin Idris) untuk mengirim jeruk, pukat dan lainnya dari Takengon ke Banda Aceh.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Yusmandin Idris, wartawan Serambi Indonesia yang kini bertugas di Bireuen tak bisa melupakan kisah seusai Gempa dan Tsunami mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004.
Ia berangkat ke Banda Aceh untuk mencari adiknya yang berdomisili di rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.
Dalam kondisi tak menentu seusai gempa dan tsunami Aceh, Yusmandin Idris berupaya keras mencari adiknya yang sudah berkeluarga.
Bahkan terus mencari di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar hingga sampai ke Medan, Sumatera Utara.
Namun, upayanya tak berhasil hingga hanya bisa mengirim doa untuk adik dan keluarganya, terutama tiap 26 Desember .
Muhammad Idris (36) warga Peureulak Aceh Timur dan keluarganya pada setiap 26 Desember berkunjung ke Kajhu, Baitussalam Aceh Besar melakukan doa bersama.
Namun kunjungan kali ini pada tahun 2019 tidak ditemani ibunya Ainsyah (84) karena dalam keadaan sakit.
“Kali ini saya bersama istri saja ke Kajhu, abang sempat ikut tidak,” tanyanya kepada Yusmandin Idris yang juga wartawan Serambinews.com (Serambi Indonesia), Rabu (25/12/2019).
Kunjungan setiap 26 Desember selain berdoa di pertapakan rumah juga mengenang musibah 15 tahun lalu.
Musibah yang merenggut nyawa kakaknya Zawiyah Idris (guru MTsN Model Banda Aceh) , suami Zawiyah Amiruddin Idrus (karyawan Serambi) dan adik kandung Naslimah serta tiga keponakannya dan mertua dari Zawiah.
• 8 Potret Mawardah Priyanka, Bocah Korban Tsunami Aceh 15 Tahun Lalu yang Viral Ditolong Wartawan BBC
Mereka waktu itu menempati satu rumah BTN di Kompleks Kajhu, Baitussalam, Aceh Besar.
Muhammad Idris menuturkan, saat musibah terjadi, Zawiyah dan keluarganya tinggal di Kajhu, Kecamatan Baitussalam.
Ada satu kisah yang masih diingatnya pada malam tsunami atau sebelum musibah terjadi.
Waktu itu kakaknya (Zawiyah) mengatakan kepada Muhammad, nanti usai haji adek (Muhammad) tinggal di rumah saja, kami sekeluarga akan pulang semua karena kami sudah sediakan satu ekor lembu untuk Qurban menyambut lebaran haji.
Muhammad mengaku diam dan mengganguk saja.
Amiruddin, suami Zawiyah begitu khusyuk mengingatkan Muhammad untuk mendengar pesan kakaknya.
Sedangkan Naslimah, adik kandung Muhammad malam itu juga mengingatkan abangnya (Muhammad ) untuk memperbaiki sepeda agar mudah ke sekolah sebagai siswa MAN Rukoh, Darussalam.
Selain berbicara dengan Muhammad panjang lebar.
Zawiyah juga pada Sabtu 25 Desember 2004 juga meminta saya (Yusmandin Idris) untuk mengirim jeruk, pukat dan lainnya dari Takengon ke Banda Aceh.
“Kalau pulang abang bawa pulang jeruk, pukat dan sayur-sayuran dari Takengon ya, kami menunggu kiriman abang ke Banda Aceh,”
"Saya akan kirim ketika pulang ke Bireuen," ujar Yusmandin.
Kemudian ia berbicara banyak sampai pulsa habis dan meminta HP suaminya (Amiruddin) untuk menelpon
saya, itulah pesan terakhir dan pembicaraan terakhir tidak kesampaian.
Ke esokan harinya, Minggu 26 Desember semua orang dibangunkan oleh gempa dahsyat menguncang.
Camar berterbangan begitu menggema rupanya air laut datang dengan gelombang besar.
Rupanya Tsunami datang menyambut...Ya Allah dosa apa yang kami lakukan, Apakah ini karena keserakahan kami, atau hanya cobaanmu? hanya kaulah yang tahu.
“Pertemuan dengan Kak Zawiyah, suami serta anak-ananya dan mertua merupakan pesan dan pertemuan terakhir malam itu,” ujar Muhammad Idris.
Kabar buruk terus menggema pada malamnya dengan sepeda motor Honda Cup 700, Muhammad berusaha menerobos ke Kajhu.
Namun tidak bisa sama sekali dan semua pasrah dan lesu melihat korban tergeletak di berbagai
sisi kawasan Banda Aceh.
Ke esokan harinya, saya (Yusmandin Idris) berkumpul bersama teman-teman di Kantor Biro Serambi Bireuen, mendengar berbagai kejadian di Banda Aceh, yaitu Zulkifli (Sopir Serambi), Tarmizi (mantan karyawan Serambi) dan seorang lainnya warga Juli.
Kami sepakat berangkat ke Banda Aceh, satu orang bertugas mencari mobil sewaan atau pinjam, satu orang bertugas membeli minyak, satu orang membeli makanan dan satu orang sebagai sopir.
Sebelum berangkat saya ingatkan istri agar keluarga di Peureulak dan Bireuen untuk tidak berangkat ke Banda Aceh menunggu kabar dari saya.
Istri saya menyiapkan pakaian seadanya dalam tas jinjing.
Kami berempat berangkat sekitar pukul 16.00 WIB, Senin (27/12/2004) ke Banda Aceh dengan mobil sedan pinjaman sekitar pukul 22.00 WIB tiba di kawasan Simpang Surabaya Banda Aceh.
Sejumlah orang yang kami jumpai mengabari sulit ke Darussalam.
Karena masih ada air dan jalan tertutup.
Dengan tekad kami terus bergerak melalui Ulee Kareng ke Darussalam dan langsung ke tempat pemondokan
keluarga lainnya.
Setiba di Lampoh U Darussalam, tidak ada satu orang-pun, kami berempat kemudian terpencar dan besok janji bertemu lagi.
Sekitar pukul 24.00 WIB, saya bertemu dengan Muhammad yang sedang memperbaiki sepeda motor di kawasan Tanjong Selamat, Darussalam.
Sepeda motor tidak ada minyak lagi dan sudah diisi dengan minyak tanah.
Saya bertanya pada Muhammad, Kak Zawiyah bagaimana.
Saat itu ia terdiam dan langsung menangis dan menceritakan satupun belum tahu bagaimana keadaannya.
Saya bertanya kembali, Abdurrahman (abang kandung Muhammad) dimana.
Ia menjawab ada ketemu sebentar, Yusmawati (adik ipar saya) dan adiknya Husna Rahmi dimana.
Muhammad mengarahkan saya ke masjid kampus ada ratusan orang berkumpul di mesjid tersebut.
“Di Kajhu tidak bisa lewat dan rusak parah, rumah hancur dan tidak bisa kita lewati sama sekali,” kata Muhammad.
Saya mencari kertas dan menulis nama-nama mereka untuk diumumkan di mesjid tersebut.
Sekitar pukul 01.00 WIB, sedikit lega, Yusmawati (saat ini KTU Ruhul Islam Anak Bangsa) dan adiknya berada di mesjid.
Kami kemudian duduk berkumpul dan menangis serta diam seribu bahasa.
Setelah itu, kami berpisah sebentar, Yusmawati, Muhammad serta Husna Rahmi tetap di mesjid dan saya pulang ke Lorong Teungoh Darussalam.
Ketika keliling kampus, saya melihat ratusan mayat tergeletak di alam terbuka, ada yang sedang memandikan, ada yang duduk lesu dan beragam pandangan memilukan lainnya.
Setiba di sana tidak bisa masuk karena jalan berlumpur.
Saya putuskan untuk tidur di bawah satu pohon pada ruas jalan Darussalam.
Bantal berupa tas isi pakaian tidur di alam terbuka.
Saat tidur terdengar suara krek-krek, saya terkejut, rupanya satu ekor lembu sedang
merumput dekat kepala saya.
Saya segera bangun rupanya sudah pukul 05.00 WIB pagi.
Kemudian pukul 09.00 WIB kami berkumpul kembali dan kawan tiga orang yang sama berangkat dari Banda Aceh juga ke Darussalam sebagaimana janji kemarin.
Saat itu, semua lesu dan terdiam, semua gemetar dan saling menyapa mengabari keadaan kerusakan.
Sekitar pukul 10.00 WIB, ibu saya (Aisnyah) tiba di Darussalam dengan mobil dari Peureulak bersama
sejumlah rombongan lainnya dan kami berjumpa.
Kami terpencar lagi sampai ke dekat Kahju untuk melihat dan mencari adik kami serta keponakan.
Namun hingga sore hari tidak satupun jasad kami temukan.
“Beruntung mamak datang, andainya tidak datang dan tidak melihat kondisi kerusakan mungkin kita dipersalahkan tidak mencari kakak dan anak-anaknya,” ujar Muhammad waktu itu.
Saat keliling kawasan Darussalam berjumpa Fauzi (karyawan bidang Layout Serambi), ia sedang bingung dengan kereta sorong berisi mayat istrinya hendak dibawa ke mana.
Beberapa saat kemudian, kami bertemu Asnawi (Wartawan Serambi) di jembatan Lamnyong, Darussalam, Asnawi dengan suara bergetar langsung menangis ketika melihat kami.
Sore hari kami putuskan, keluarga yang masih ada langsung bawa pulang ke Bireuen dan Peureulak.
Keesokan harinya saya bersama keluarga dan lainnya bergerak lagi mencari Zawiyah dan anak-anaknya.
Usaha mencari dilakukan berkali-kali menelusuri tempat pengungsian di sepanjang jalan Bireuen-Banda Aceh.
Bahkan sampai ke Medan, mungkin ada satu atau dua orang yang selamat berada di tempat pengungian.
Berselang dua bulan kemudian, kami baru bisa melihat pertapakan rumah dan menandai, rumah sudah rata dengan tanah.
Pertapakan rumah tinggal tanda saja dan hingga saat ini belum ada rumah bantuan sebagaimana
korban lainnya.
Muhammad mengatakan, sampai 15 tahun musibah tsunami belum ada rumah bantuan untuk korban atas nama Zawiyah dan keluarganya, tanah lokasi rumah masih kosong.
“Jasadpun belum bertemu, rumah bantuan juga belum ada,” kata Muhammad.
Disebutkan, waktu itu Keuchik Kajhu, Usman mencoret rumah bantuan untuk Zawiyah karena berbagai alasan.
Namun beragam argumen diutarakan rumah bantuan hingga sekarang belum dapat.
“Kalau abang tidak sempat, saya dan istri saya dan keluarga lainnya ke Kajhu untuk melakukan doa bersama, mamak tidak bisa pergi karena sedang sakit berat di Peureulak,” ujar Muhammad.(*)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Kisah Wartawan Serambi Cari Adik Usai Tsunami, Jumpa Rekan Kantor Bawa Mayat Istri di Kereta Sorong,
Tonton: