DPR Takkan Campur Tangan Putusan Jokowi soal Perppu KPK
DPR menyerahkan keputusan terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU KPK kepada Presiden Joko Widodo.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - DPR menyerahkan keputusan terkait penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU KPK kepada Presiden Joko Widodo. DPR tidak akan ikut campur akan sikap dan keputusan eksekutif.
Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin mengatakan hal itu menanggapi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang merespons Undang-Undang KPK hasil revisi. "Terhadap perppu, itu kan, kewenangan ada di presiden.
Tentu kami sebagai lembaga DPR dari unsur pimpinan dan adalat kelengkapan dewan juga menyerahkan itu kepada pemerintah untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan secara hukum," kata Aziz di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/10).
Baca: Dahsyat ‘Duet’ Yasti-Tatong di Pilgub, Yopie: Manuver Naikkan Posisi Tawar
Aziz menyampaikan, persyaratan penerbitan perppu yang diatur dalam konstitusi adalah apabila dalam keadaan memaksa dan kegentingan serta ada kekosongan hukum. Menurut dia, saat ini tidak ada kegentingan dan kekosongan sebagai syarat diterbitkannya Perppu KPK.
Aziz juga mengatakan, penerbitan perppu tentu harus mengacu pada syarat dalam konstitusi. Menurut Aziz, apabila presiden tetap mengeluarkan Perppu UU KPK, diharapkan tidak menggangu hubungan pemerintah dengan parpol di DPR dan lembaga negara lainnya.
"Kita tunggu saja pada saat nanti dan tentu hubungan antara lembaga pemerintah, dan DPR dan lembaga yudikatif tetap harus kita jaga harmonisasinya untuk kepentingan bangsa dan negaara yang lebih besar," kata dia.
Fraksi PPP DPR menanggapi hasil rilis Lembaga Survei Indonesia terkait mayoritas masyarakat mendukung Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu KPK. Menurut Ketua Fraksi PPP Arsul Sani, Perppu merupakan opsi terakhir dari kemungkinan pilihan yang ada.
"Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Kerja dan yang ada di parlemen menyampaikan bahwa Perppu itu, kalau dalam bahasa yang simpel harus jadi opsi yang paling akhir, setelah semuanya dieksplor dengan baik tentunya," kata Arsul Sani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
Menurutnya, survei yang dirilis LSI menghasilkan temuan masyarakat mendukung Perppu KPK karena sudah menjadi bahan atau topik utama di media-media nasional. Dan menurutnya, survei bukan suatu hasil yang patut dituruti, tetapi hanya untuk dijadikan rujukan.
Baca: BPJS Kesehatan Jamin Gangguan Mental
Sehingga, ketika suatu survei merilis temuan adanya dorongan publik untuk presiden mengeluarkan Perppu itu bukan jadi bahan penentu. Karena, perlu tidaknya presiden mengeluarkan Perppu itu harus melalui kajian akademik.
"Survei itu jadi bahan pertimbangan saya kira bukan jadi bahan penentu. Menentukan UU itu tidak bisa kemudian berdasarkan hasil survei tetapi harus kajian yang sifatnya akademik kemudian melalui ruang-ruang perdebatan publik. Itulah saya kira yang harus kita pakai untuk menentukan nanti apakah jalannya legislatif review (revisi UU) atau perppu atau judicial review," ujar Arsul yang menjabat Sekjen PPP.
Meski demikan, jika pada akhirnya presiden mengeluarkan Perppu KPK, maka koalisi pendukung pemerintah tidak bisa berspekulasi terkait sikap seperti apa yang akan diambil masing-masing fraksi di DPR. Yang jelas, presiden akan kembali berkomunikasi dengan parpol-parpol pada saat ingin mengambil keputusan terkait Perppu.
"Kita tidak bisa berkalau-kalau, karena pada saat kami bertemu dengan presiden pada hari Senin malam lalu di Istana Bogor presiden belum buat keputusan. Presiden hanya sampaikan tentunya nanti beliau pada saat akan membuat keputusan akan berkomunikasi kembali dengan parpol-parpol itu aja," ucapnya.
Sebelumnya, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan 76,3 persen dari responden yang mengetahui UU KPK hasil revisi, setuju Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Hal itu dipaparkan Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam rilis temuan survei Perppu UU KPK dan Gerakan Mahasiswa di Mata Publik di Erian Hotel, Jakarta, Minggu (6/10).
"Saya melihat di sini ada aspirasi publik yang kuat yang mengetahui revisi UU KPK itu bahwa karena melemahkan, implikasinya kan melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia juga. Dan untuk menghadapi itu maka menurut publik jalan keluarnya adalah perppu," kata Djayadi.
Tolak Hasil Revisi
Masih terkait survei tentang sikap masyarakat terhadai Undang-Undang KPK hasil revisi, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera menegaskan bukti publik menolak UU KPK hasil revisi. "Survei kian menegaskan, publik menolak UU KPK hasil revisi," ujar Mardani.
Melalui hasil survei ini, publik mengapresiasi kinerja lembaga antirasuah. Sehingga mendapat dukungan dari publik. Karena itu publik pun menuntut Presiden Jokowi untuk segera mengeluarkan Perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi yang disahkan DPR RI melalui rapat paripurna pada masa akhir jabatan 2014-2019 lalu.
"Hasil survei itu juga menunjukkan bahwa Presiden dituntut publik untuk segera mengeluarkan Perppu. Untuk kepentingan bangsa, publik mesti bersatu memerangi korupsi," Mardani, mantan Wakil Ketua BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019.
Baca: Aktivitas Pendidikan di Wamena Pulih: Kapolda Papua Klaim Kondisi Wamena Aman
Terpisah, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas menuturkan fraksinya membuka kemungkinan mendukung penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) terhadap UU KPK hasil revisi. Fraksi Partai Gerindra akan mendukung penerbitan Perppu KPK hasil revisi jika terkait dengan pengaturan soal pemilihan Dewan Pengawas.
"Kalau dari Gerindra sepanjang berkaitan dengan pengaturan soal Dewan Pengawas, kita akan support," ujar Supratman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Gerindra mengusulkan DPR juga memiliki kewenangan untuk memilih lima anggota Dewan Pengawas KPK.
Dengan demikian, Presiden dan DPR masing-masing memilih dua anggota Dewan Pengawas. Sedangkan satu anggota lagi dipilih dari internal KPK. Sementara, dalam UU KPK hasil revisi, kelima anggota Dewan Pengawas dipilih Presiden. Presiden hanya diwajibkan berkonsultasi dengan DPR terkait pemilihan anggota Dewan Pengawas.
"Kalau sesuai dengan usul kami bahwa sebaiknya Dewan Pengawas itu dipilih oleh dua dari presiden dua dari DPR dan satu dari internal KPK itu suatu hal yang bagus," kata Supratman.
Jangan Ragu
Hendri Satrio, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina mengatakan, menurut saya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu ragu-ragu untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menjadi bukti dukungan publik agar Jokowi menerbitkan perppu KPK untuk mencabut UU KPK hasil revisi yang baru disahkan DPR RI.
Hasil survei LSI menunjukkan bahwa 76,3 persen dari responden yang mengetahui UU KPK hasil revisi, setuju Jokowi menerbitkan perppu KPK. Sebaiknya memang presiden tidak perlu ragu-ragu. Karena justru UU KPK hasil revisi dinilai melemahkan KPK dalam analisa publik.
Bahkan, berdasarkan survei KedaiKOPI, mayoritas pendukung Jokowi di Pilpres 2019 lalu, menganggap UU KPK hasil revisi itu bentuk pelemahan terhadap lembaga antirasuah. Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) merilis hasil survei nasional melibatkan 1.194 responden dari seluruh Indonesia. Survei dilaksanakan 28-29 September 2019 dengan Margin of Error +/-4,53 persen.
Persepsi publik terhadap revisi UU KPK pun beragam, 55,2 persen responden berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK, 33,1 persen menolak berpendapat dan hanya 11,7 persen yang berpendapat revisi UU KPK akan memperkuat KPK.
Menurut responden 3 hal yang melemahkan KPK menurut responden adalah hadirnya Dewan Pengawas, persetujuan Dewan Pengawas untuk pelaksanaan OTT dan status ASN untuk penyidik.
Profil responden untuk isu UU KPK hasil revisi ini juga menarik. Karena manyoritas pemilih Jokowi-Maruf Amin di Pilpres lalu menilai UU KPK hasil revisi melemahkan lembaga antirasuah.
Bila dikelompokkan berdasarkan pemilih Jokowi-Ma'ruf pada Pemilu 2019 maka pemilih Jokowi-Ma'ruf yang berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK ada 48,3 persen. Sementara yang berpendapat menguatkan KPK hanya 18,4 persen dan sisanya 33,3 persen tidak berpendapat.
Karena itu, saya berpendapat sebaiknya Jokowi menerbitkan Perppu KPK. Jadi untuk perppu ini tidak perlu ragu-ragu. Hasil survei opini publik sudah memberikan gambaran dukungan publik untuk itu. Tapi ya kita serahkan kepada Jokowi untuk memilih terbitkan Perppu atau tidak.
Publik akan Marah
Erwin Natosmal Oemar, Pegiat antikorupsi dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) mengatakan, publik menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Hal itu menurut saya terlihat dari hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa 76,3 persen dari responden yang mengetahui UU KPK hasil revisi, setuju Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) terhadap UU KPK hasil revisi.
Publik menuntut Presiden untuk memperkuat KPK dengan cara menerbitkan Perppu KPK. Dia yakin publik akan berada di belakang Presiden Jokowi untuk menyelamatkan KPK dari upaya pelemahan yang dilakukan oleh elite-elite politik.
Sebaliknya, tuntutan dan dukungan publik tersebut dapat juga dibaca sebagai bumerang bagi Presiden jika tidak menyelamatkan KPK melalui Pemilu. Sebaliknya, publik akan semakin marah dan melihat Presiden merupakan bagian dari aktor yang ingin melemahkan pemberantasan korupsi. (tribun network/mal/mam)