Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Berita Terkini

Pilihan Berat Jokowi untuk Perppu KPK, Terbitkan Atau Tunduk Keputusan Parpol Pendukung

Presiden Joko Widodo hingga kini belum mengambil sikap terkait revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi

Penulis: Rhendi Umar | Editor: Rhendi Umar
Kompas
Presiden Joko Widodo 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sikap Presiden Joko Widodo terkait revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK), hingga kini belum ditentukan.

Di tengah kegamangan Jokowi, parpol munculkan pernyataan soal pemakzulan dan mahasiswa menyampaikan ultimatum.

Menteri Sekretaris Negara Pratikno menegaskan belum ada keputusan apakah Presiden akan menerbitkan Perppu KPK atau tidak.

Pratikno meminta semua pihak bersabar menanti keputusan Presiden.

Dia menegaskan, pengumuman soal jadi tidaknya penerbitan Perppu KPK hanya datang dari Presiden sendiri.

"Tunggu, tunggu, tunggu. Kalau Presiden sudah menyatakan sesuatu, nah, itu. Sekarang kan belum (ada pernyataan dari Presiden)," kata Pratikno.

Baca: Relawan Medsos Jokowi Tanggapi Keinginan Moeldoko Terkait Buzzer: Terlalu Berlebihan

Baca: Susi Pudjiastuti Lengser dari Menteri Kelautan & Perikanan, Ungkap Ini saat Kerja Bersama Jokowi

Baca: Jokowi Diminta Dengarkan Rakyat, Silahkan Keluarkan Perppu KPK, Jangan Tersandra oleh Parpol

Padahal, pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku akan mengkaji dan mempertimbangkan Perppu KPK disampaikan sejak Kamis (26/9/2019).

Artinya sudah tujuh hari berlalu, namun belum ada keputusan juga yang diambil oleh Jokowi.

Tidak Ada Resiko Hukum

Mantan Ketua KPK Taufiequrrachman menyebut tidak ada risiko hukum yang akan diterima Presiden jika menerbitkan perppu, apalagi pemakzulan jabatan.

Ruki berpendapat, sebaliknya, Jokowi akan mendapat simpati publik karena menyelamatkan KPK.

“Apakah ada konsekuensi hukum, sama sekali tidak ada, termasuk hukum pidana. Mengeluarkan perppu tidak ada konsekuensi hukum, mau dibawa ke MK atau MA tidak bisa,” kata dia, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (4/10/2019).

Pendapat yang sama disampaikan Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris, di Jakarta, Minggu (6/10/2019).

Haris menyebutkan, secara konstitusi, prosedur pemberhentian presiden sudah jelas diatur, harus ada unsur pelanggaran dan pengkhianatan terhadap konstitusi.

“Mesti ada pelanggaran hukum mencakup penghianatan terhadap konstitusi, negara, melakukan tindakan tercela, melakukan tindak kriminal itu kategorinya. Jadi konyol penerbitan perppu dihubungankan dengan impeachment," ujar Haris.

Ancaman partai politik

Sudah sepekan berlalu, tak heran jika spekulasi bermunculan. Ada dugaan Jokowi masih khawatir dengan ancaman partai politik jika menerbitkan Perppu KPK.

Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh bahkan menyebut Jokowi dan partai politik pendukung sepakat untuk tidak mengeluarkan Perppu KPK.

Keputusan itu disepakati ketika Presiden Jokowi dan pimpinan parpol pendukung diam-diam bertemu di Istana Kepresidenan, Bogor, Jawa Barat, Senin (30/9/2019) malam.

"Jadi yang jelas, Presiden bersama seluruh partai pengusungnya mempunyai satu bahasa yang sama. Untuk sementara enggak ada. Belum terpikirkan mengeluarkan Perppu," kata Surya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

Menurut Surya, salah satu alasan tidak dikeluarkannya Perppu, yaitu UU KPK hasil revisi saat ini masih diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Saya kira masalahnya sudah di MK, kenapa kita harus keluarkan perppu? Ini kan sudah masuk ke ranah hukum, ranah yudisial namanya," ucap dia.

BERITA TERPOPULER: Ammar Zoni Drop Usai Makamkan Bayi Kembarnya, Irish Bella Tidak Ikut & Terlihat Biasa: Enggak Nangis

BERITA TERPOPULER: Beredar Informasi Ahok Diangkat Jadi Dewan Pengawas KPK: Musnahkan Kelompok Taliban

BERITA TERPOPULER: TERUNGKAP, Pilot dan Pramugari Punya Tempat Tidur Rahasia di Pesawat, Ruangan Kedap Suara Loh

Surya melanjutkan, Presiden akan salah apabila menerbitkan perppu di saat UU KPK hasil revisi tersebut sedang diuji materi di MK.

"Masyarakat dan mahasiswa tidak tahu kalau sudah masuk ke ranah sana (MK), Presiden kita paksa keluarkan Perppu, ini justru dipolitisasi. Salah-salah, Presiden bisa di-impeach karena itu," ujar Surya.

Perppu KPK Benteng terakhir

Perppu dianggap sebagai benteng terakhir untuk membatalkan UU KPK versi revisi.

Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada, Oce Madril mengatakan, dibandingkan judicial review, saat ini solusi yang paling efektif untuk mengatasi persoalan UU KPK adalah melalui Perppu.

"Perppu memang solusi yang sangat efektif supaya kekeliruan-kekeliruan yang terjadi di dalam kebijakan revisi UU KPK itu bisa diperbaiki dengan cepat," kata Oce, saat dihubungi Kompas.com, 3 Oktober 2019.

Menurut dia, uji materi tidak terlalu tepat karena lebih pada aspek konstitusional.

Padahal, persoalan KPK soal amanat reformasi mengenai pemberantasan korupsi, bukan hanya sekadar persoalan konstitusional.

Dengan revisi UU KPK saat ini, agenda itu bisa terhambat.

"Jadi ini lebih pada agenda reformasi sebenarnya, bahwa pemberantasan korupsi itu harus dilakukan secara luar biasa, kemudian menggunakan cara-cara yang luar biasa, kan begitu amanat TAP MPR," kata Oce.

Menurut Oce, judicial review akan membutuhkan waktu lama.

Oleh karena itu, ia berpendapat, penerbitan perppu lebih efektif dibandingkan judicial review untuk mengakhiri kontroversi soal UU KPK versi revisi. 

Prof Lipi: Semoga Pemerintah Belajar Lebih Cerdas

Guru besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Syamsuddin Haris mengatakan, Jokowi panik karena tidak dengar aspirasi rakyat.

Guru besar Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Syamsuddin Haris, melalui akun twitternya berkomentar, Presiden Jokowi panik sikapi gelombang demo mahasiswa.

Menurut Syamsuddin, Presiden Jokowi sebenarnya tidak perlu panik jika mendengar suara publik.

"Jika suara publik didengar, pemerintah @jokowi mestinya tdk perlu panik seperti sekarang," ujar Syamsuddin Haris melalui akun twitternya, Senin (23/9/2019) pukul 12:23 WIB.

 

Menurut Syamsuddin Haris, pemerintahan Jokowi panik karena sejumlah persoalan datang bersamaan.

"Belum usai soal UU KPK & kabut asap, kini ada gelombang demo mahasiswa & kerusuhan Wamena," kata Syamsuddin Haris.

Menurut Syamsuddin Haris, sikap Presiden Jokowi yang panik menunjukkan kebijakan pemerintah yang ceroboh dalam menyikapi berbagai persoalan bangsa.

"Kepanikan adalah refleksi kebijakan yang ceroboh. Semoga pemerintah belajar lebih cerdas," tegas peneliti politik ini.

Simak status lengkap Syamsuddin Haris berikut ini.

Syamsuddin Haris @sy_haris: Jika suara publik didengar, pemerintah @jokowi mestinya tdk perlu panik seperti skrg.

Belum usai soal UU KPK & kabut asap, kini ada gelombang demo mhsw & kerusuhan Wamena. Kepanikan adalah refleksi kebijakan yg ceroboh.

Smoga pemerintah belajar lbh cerdas.

Syamsuddin Haris membuat cuitan di twitter terkait berita di Kompas.com yang menginformasikan Jokowi mengumpulkan menteri, Kapolri, hingga Panglima TNI bahas situasi terkini. (*)

SUBSCRIBE YOUTUBE TRIBUNMANADO OFFICIAL:

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved