Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hillary Sebut Wajar Citra DPR Buruk: Begini Kata Pengamat Politik soal Perilaku DPR

DPR-DPD RI kembali jadi sorotan! Baru sehari dilantik, hampir setengah anggota DPR dan DPD tak menghadiri sidang paripurna MPR

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
(Dokumentasi Pribadi/ Hillary Brigitta Lasut)
Hillary Brigitta Lasut, anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 Partai Nasdem. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – DPR-DPD RI kembali jadi sorotan! Baru sehari dilantik, hampir setengah anggota DPR dan DPD tak menghadiri sidang paripurna MPR, Rabu (2/10/2019). Dari 711 anggota DPR dan DPD, hanya 376 anggota yang hadir berdasar absensi yang dibacakan saat pembukaan sidang.

Artinya 335 anggota lainnya tidak hadir. Bahkan satu pimpinan sementara MPR, Sabam Sirait, yang harusnya memimpin jalannya sidang, juga ikut absen. Akhirnya sidang hanya dipimpin oleh satu pimpinan, yakni Hillary Brigitta Lasut.

Baca: Surya Paloh Tertawa Tanggapi Sikap Megawati

Hal itu membuat perdebatan terkait keabsahan sidang. Akhirnya sidang sempat diskors sementara untuk melakukan rapat konsultasi antarfraksi. Adapun agenda sidang paripurna hari ini adalah untuk memilih pimpinan MPR. Berdasarkan Undang-Undang MPR, DPR, dan DPD yang baru direvisi, pimpinan MPR berjumlah 10 orang. Jumlah itu terdiri dari perwakilan 9 fraksi dan satu unsur DPD.

Artinya setiap fraksi akan mendapat jatah kursi pimpinan. Setiap fraksi akan menyerahkan nama anggotanya yang akan diusulkan menjadi pimpinan MPR. Setelah itu akan dipilih satu orang menjadi Ketua MPR.

Wakil Ketua MPR RI sementara Hillary Brigitta Lasut mengakui dirinya kesulitan memimpin Sidang Paripurna MPR RI. Ia mengatakan, tak mudah mengatur sidang yang dihadiri oleh ratusan anggota dewan yang memiliki keinginan dan kepentingan masing-masing. "Tidak mudah ternyata mengatur orang 500 orang dengan keinginan dan kepentingan yang berbeda-beda," kata Hillary di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Hillary mengatakan, terkait polemik yang sempat terjadi di Sidang Paripurna MPR, ia mengingatkan seluruh anggota dewan untuk mengedepankan kepentingan rakyat, bukan kepentingan pribadi.

"Sehingga nanti saya berharap di parlemen ke depannya bisa sama-sama merefleksi kepada diri sendiri, untuk juga menyakinkan kepada masyarakat bahwa kita ini ada membuat restorasi dan revolusi perubahan," ujarnya.

Hillary mengatakan, dalam Sidang Paripurna MPR ke-2 anggota dewan yang tidak hadir lebih setengah dari total jumlah anggota yaitu 711 anggota.
Menurut dia, ketidakhadiran anggota tersebut juga terjadi pada periode sebelumnya, sehingga wajar apabila citra DPR di mata masyarakat menjadi buruk. "Setelah kuorum (Sidang

Paripurna MPR), masih banyak yang datang mungkin mereka sekadar terlambat tapi memang tidak full semua yang datang. Dan menurut saya adalah hal yang wajar kalau kemarin citra DPR mungkin (buruk) di tengah masyarakat karena masyarakat melihat dari absensi dan dari kehadiran," tuturnya. Kendati demikian, Hillary berpendapat, kemungkinan anggota DPR yang tidak hadir memiliki tugas-tugas di luar DPR dan bisa saja sengaja tidak ingin menghadiri Sidang Paripurna.

"Itu lah mengapa sejak awal masyarakat harus bisa menilai dan menakar potensi calon legislatif ya," imbuhnya. Sebelumnya, hampir setengah anggota DPR dan DPD tak menghadiri sidang paripurna MPR, Rabu (2/10/2019).

Baca: Bambang Soesatyo Didukung NasDem dan PPP Jadi Ketua MPR

Ferry Liando, Pengamat Politik dari Universitas Sam Ratulangi mengatakan, DPR periode 2014-2019 adalah adalah DPR yang nilai paling buruk, sehingga tidak mudah untuk mengembalikan image itu menjadi baik. Menjadi tantangan bagi DPR periode 2019-2024. Termasuk anggota DPR Dapil Sulut.

“Mereka harus bisa mengubah image. Caranya harus buat prestasi untuk Sulut. Janji-janji mereka bukan hanya karena agar dapat dukungan publik, tapi sebagai bentuk janji-janji kepada Tuhan,” ujar Dosen FISIP ini. “Untuk saat ini saya belum menyebut mereka sebagai wakil rakyat Sulut tapi masih sebatas wakil Dapil Sulut,“ kata dia.

Lanjut Liando, apakah kelak mereka akan disebut wakil rakyat Sulut akan sangat ditentukan oleh prestasi mereka. Sampai saat ini tak ada satupun lembaga yang bisa mengawasi institusi DPR. “Mereka ini bagaikan lembaga liar. Kewenangan yang terlalu tinggi namun tidak ada yang mengawasi, sehingga mereka bisa buat kebijakan apa saja termasuk melemahkan kewenangan KPK dan bebas semaunya untuk hadir atau tidak hadir,” katanya.

Berbeda dengan institusi lain, kata Liando, jika melakukan kelalaian langsung mendapat sanksi. Seharusnya jika parpol itu punya kesadaran, tanggung jawab pengawasn itu ada pada parpol karena DPR itu adalah produk parpol. “Tapi selama ini parpol tidak punya reaksi apapun jika kadernya di DPR tidak optimal,” ujar dia.

Lanjut Ferry, DPR jadi lembaga berimage buruk buntut dari banyak anggota terkena operasi tanggap tangan (OTT) oleh KPK. Jumlah Prolegnas tidak setara dengan produk UU. Kualitas UU yang buruk, sebagian di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Kata dia, banyak kinerja eksekutif yang buruk tanpa pengawasn DPR. Lalu sebagian besar anggotanya tidak produktif. Jarang hadir dan ada sebagian yang tidak pernah memberikan pendapat di forum resmi DPR.

Selain itu, alasan mengapa kinerja DPR buruk. Pertama, karena biaya kampanye terlalu mahal, sehingga kerja-kerja DPR hanya fokus berorientasi bagaimana biaya kampanye kembali. Kedua, peran parpol terlalu dominan. DPR kerap tidak menjadi wakil rakyat tapi hanya jadi wakil parpol (fraksi).
“Mereka tidak bisa berimprovisasi atau berinovasi tentang hal-hal yang tidak digariskan parpol. Jika melawan mereka bisa kena sanksi atau dicoret pada pemilu selanjutnya,” ujar dia.

Ketiga, terbatasnya SDM anggota akibat buruknya rekrutmen dan seleksi caleg oleh parpol. Parpol cenderung mengutamakan calon yang punya uang banyak atau calon yang punya kerabat dekat dengan kepala daerah yang minim penggalaman. “Calon kerabat kepala daerah jadi laku karena sangat mudah terpilih,” kata dia.

Baca: Polisi Bantah Kasus Handphone Tidak Berizin yang Ditangani Polda Selama 3 Bulan Belum Ada Kejelasan

Keempat sampai sekarang tidak ada lembaga pengawas DPR dan indikator penilaian prestasi kerja DPR. Selama ini keberhasilan DPR hanya semata klaim subjektif dari DPR. Bukan penilaian atas prestasi kerja dari pihak yang merasakan dampak dari kerja-kerja DPR.

MPR menjadwalkan ulang agenda pemilihan Ketua MPR dalam sidang paripurna pada Kamis (3/9) malam. Hal itu diputuskan dalam Sidang Paripurna perdana MPR yang dipimpin Ketua MPR sementara Abdul Wahab Dalimunthe di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu.

Sekjen MPR, Ma'ruf Cahyono menyatakan agenda pemilihan Ketua MPR itu digelar besok agar memberi waktu bagi DPD untuk bermusyawarah memilih kandidat yang diusulkan untuk mengisi kursi pimpinan MPR lima tahun ke depan.

"Ya karena ngasih waktu ini untuk DPD. DPD kan belum terbentuk (untuk pimpinan MPR)," kata Ma'ruf.
Hingga saat ini DPD belum menyetorkan nama untuk mengisi kursi pimpinan MPR. Padahal, beberapa fraksi di MPR sudah resmi mengajukan nama kader terbaiknya untuk mengisi posisi strategis itu.

La Nyalla Ketua DPD

La Nyalla Mattalitti terpilih menjadi Ketua DPD RI masa jabatan 2019-2024. Ia terpilih melalui mekanisme voting 134 anggota DPD yang hadir dalam rapat paripurna ketiga dengan agenda pemilihan Ketua DPD.

Nama La Nyalla keluar sebagai pemegang suara terbanyak dibandingkan tiga pesaingnya, yaitu Sultan Bachtiar, Mahyudin, dan Nono Sampono. La Nyalla meraih suara 47, lalu Nono Sampono 40, Mahyudin 28 dan Sultan Bachtiar mendapat 18 suara.

Mereka yang tidak terpilih sebagai ketua otomatis menjabat sebagai wakil ketua DPD. "Pimpinan terpilih yang memperoleh suara terbanyak pertama diterapkan sebagai ketua terpilih," kata pimpinan sidang Jialyka Maharani dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa malam. 

Umumkan Legislator yang Absen

Taufik Tumbelaka, pengamat politik menilai, perilaku anggota DPR RI yang tidak datang di sidang perdana memang sangat mengecewakan. Semestinya langkah awal bisa dijadikan momentum upaya menunjukan tekad akan memenuhi amanat rakyat yang telah didelegasikan kepada mereka.

Langkah pembuka yang mengecewakan ini dapat berimbas kepada munculnya anggapan negatif kepada para wakil rakyat ke depannya.

Diketahui waktu para oknum ini bertarung memperebutkan kursi DPR RI, telah mengorbankan banyak dana negara dalam membiayai pemilu legislatif, bahkan diketahui ratusan para petugas pemilu berkorban di lapangan guna suksesnya pemilu.

Sikap kurang terpuji dari para oknum ini terkesan kurang menghargai penghargaan, kepercayaan dan pengorbanan masyarakat. Seharusnya partai politik (parpol) yang ada menegur keras para oknum kadernya yang absen karena bagaimana pun mereka adalah kader andalan yang disodorkan kepada masyarakat untuk dipilih.

Selain itu, sebaiknya diumumkan ke publik siapa saja yang absen dan dari parpol apa serta dari daerah pemilihan mana. Hal ini agar masyarakat tahu siapa oknum yang absen dan siapa yang hadir sehingga masyarakat dapat menilai sendiri para wakil rakyat yang telah diberi amanat namun tidak menjawab dengan kinerja.

Perilaku para oknum bisa dikatakan sebagai tanda awal timbulnya rasa pesimis rakyat kepada lembaga legislatif yang terhormat. (ryo/tribun/dtc/cnn/kps)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved