Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

NEWS

Diselimuti Kabut Asap, Begini Penampakan Kalimantan Dari Atas, Direkam Satelit NASA

Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan hingga saat ini masih terus terjadi. Begini penampakan kebakaran di Kalimantan yang direkam satelit NASA.

earthobservatory.nasa.gov
Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan. 

Peta diperoleh dari model GEOS forward processing (GEOS-FP) yang mengasimilasi informasi dari satelit, pesawat, dan sistem pengamatan berbasis darat.

Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan.
Berikut penampakan Kalimantan yang direkam satelit NASA saat diselimuti kabut asap dan kebakaran hutan dan lahan. (earthobservatory.nasa.gov)

GEOS-FP berfungsi untuk mengamati aerosol (seperti asap dan kabut) dan kebakaran.

GEOS-FP juga mencerna data meteorologi seperti suhu udara, kelembaban, dan angin untuk diproyeksikan dalam bentuk peta.

Berdasarkan tangkapan GEOS-FP, asap relatif tetap menyelubungi langit Kalimantan dengan sumber api yang terlihat di Kalimantan dan Sumatera.

Berdasarkan amatan International Forestry Research’s Borneo Atlas, banyak kebakaran terjadi di atau dekat daerah-daerah dengan lahan gambut.

Kebakaran gambut cenderung sulit dipadamkan.

Penampakan Kalimantan dari satelit NASA, Minggu (15/9/2019) akibat kabut asap.
Penampakan Kalimantan dari satelit NASA, Minggu (15/9/2019) akibat kabut asap. ((earthobservatory.nasa.gov))

Lantas, kebakaran tersebut awalnya terjadi di bawah permukaan tanah selama berbulan-bulan hingga musim hujan tiba.

Kebakaran gambut melepaskan sejumlah besar gas dan partikel, termasuk karbon dioksida, metana, dan partikel halus.

Karbon dioksida dan metana adalah gas rumah kaca yang potensial menyebabkan global warming.

Sementara itu, campuran partikel halus memiliki efek kesehatan negatif.

Melihat kabut asap dan karhutla di Indonesia, ilmuwan NASA Goddard Institute for Space Studies, Robert Field, telah melacak perkembangan musim kebakaran di Indonesia.

“Kebakaran benar-benar menjadi pusat masalah sekarang. Ini mengingatkan kita pada 2015, meskipun penumpukan asap yang berlanjut selama beberapa minggu karena hujan pada pertengahan Agustus,” kata Field, dikutip dari earthobservatory.nasa.gov.

Field juga mengemukakan, karhutla yang terjadi di Indonesia kali ini mengingatkan pada dua kebakaran besar terakhir lainnya di Tanah Air, yakni pada 1997 dan 2015.

Kala itu, El Nino menyebabkan kekeringan yang berujung pada kebakaran.

Pada 2019, kondisi El Nino netral, tetapi osilasi suhu permukaan laut yang disebut Dipole Samudera Hindia tampaknya bertanggung jawab atas kekeringan tahun ini.

Sumber: Tribunnews
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved