Kabar KPK
Fahri Hamzah Bela Jokowi, Ungkap Alasan Presiden Mau Revisi UU No 30 Tahun 2002: KPK adalah Gangguan
sikap Jokowi yang merasa diganggu KPK sudah teradi sejak awal masa pemerintahannya pada Oktober 2014.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah mengungkapkan sikap Jokowi setuju merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK adalah puncak kekesalannya atas gangguan yang selama ini diciptakan KPK.
Diketahui, DPR dan pemerintah pun telah mengesahkan revisi Undang-Undang KPK dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019) siang.
Ia punya analisis sendiri mengapa presiden akhirnya berani menyetujui revisi.
Fahri Hamzah terkesan membela keputusan Jokowi tersebut.
"Nah inilah yang menurut saya puncaknya, Pak Jokowi merasa KPK adalah gangguan," kata Fahri lewat pesan singkat kepada wartawan, Selasa (17/9/2019).
Menurut politisi PKS ini, sikap Jokowi yang merasa diganggu KPK sudah teradi sejak awal masa pemerintahannya pada Oktober 2014.
Fahri menyebut, awalnya Jokowi menaruh kepercayaan pada KPK.
Sampai-sampai KPK diberikan kewenangan untuk mengecek rekam jejak calon menteri, sesuatu yang tidak diatur dalam UU.
"Saya sudah kritik pada waktu itu ketika KPK sudah mencoret nama orang. Dia taruh hijau, dia taruh merah, dia taruh kuning. Dia bilang yang hijau boleh dilantik, kuning tidak boleh karena akan tersangka dalam enam bulan, lalu kemudian yang merah jangan dilantik karena akan tersangka dalam sebulan. Luar biasa sehingga ada begitu banyak nama-nama dalam kabinet yang diajukan oleh Pak Jokowi dan parpol kandas di tangan KPK," kata dia.
Menurut Fahri, KPK waktu itu merasa bangga karena akhirnya dia diberi kepecayaan sebagai polisi moral oleh Presiden.
Namun selanjutnya, Fahri menilai KPK justru semakin bertindak berlebihan.
Puncaknya adalah ketika Jokowi memilih nama Budi Gunawan untuk dikirimkan ke DPR sebagai calon Kapolri. Budi langsung ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
"Tiba-tiba (Budi Gunawan) ditersangkakan tanpa pernah diperiksa oleh KPK," ujar Fahri.
Budi yang tidak terima saat itu melawan KPK lewat praperadilan. Ia menang dan lepas dari status tersangka.
Tapi Fahri menilai KPK saat itu terus menggunakan masyarakat sipil, LSM termasuk juga media untuk menyerang sang calon tunggal Kapolri.
"Apa yang terjadi, Budi Gunawan terlempar, dia tidak jadi dilantik. Tetapi begitu Pak Jokowi mencalonkan Budi Gunawan kembali sebagai Kepala BIN, tidak ada yang protes, akhirnya diam-diam saja. Jadi KPK itu membunuh karier orang dengan seenaknya saja, tanpa argumen, dan itu mengganggu kerja pemerintah, termasuk mengganggu kerja Pak Jokowi," ucap Fahri.
Selain Budi Gunawan, Fahri menyebut ada banyak orang yang diganggu oleh KPK secara sepihak, tanpa koordinasi, dan itu menggangu jalannya kerja pemerintah.
Contoh terbaru adalah Kapolda Sumatera Selatan Firli Bahuri yang mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK 2019-2023. Sehari sebelum mengikuti uji kepatutan dan kelayakan di DPR, Firli disebut melanggar kode etik berat saat menjabat deputi penindakan KPK.
"Jadi Pak Jokowi tentu menurut saya merasa terganggu. Sekarang ya, bagaimana Pak Jokowi sebagai mantan pengusaha, orang yang mengerti bahwa dunia usaha itu perlu kepercayaan, dunia usaha itu perlu keamanan, perlu stabilitas. Orang mau invest, bawa duit perlu keamanan, perlu kenyamanan, perlu berita baik, bahwa sistem kita tidak korup, sistem kita ini amanah, sistem kita transparan dan bersih," ujar Fahri.
"Tapi itu terus menerus dilakukan oleh KPK. KPK terus menerus mengumumkan si ini tersangka, si ini tersangka, Ketua DPR, Ketua DPD, Ketua MK, pernah dulu di KY, polisi ini, jaksa ini, gubernur ini, bupati itu, semuanya setiap hari diumumkan sebagai tersangka, OTT, ditangkap, dan seterusnya, tokoh-tokoh semua kena, pengusaha juga begitu. Bagaimana orang mau percaya pada sistem kayak begini?" sambungnya.
Fahri mengatakan, dalam rapat konsultasi dengan Presiden, pimpinan DPR sudah mengingatkan soal gangguan-gangguan yang dibuat oleh KPK ini.
Menurut dia, keberadaan KPK tak sesuai dengan prinsip sistem presidensialisme yang diemban Indonesia.
Sebab, dalam sistem presidensialisme, yang dipilih rakyat namanya Presiden.
Tidak boleh ada lembaga lain yang lebih kuat, atau seolah-olah lebih kuat, berpretensi mengatur jalannya pemerintahan dan penegakan hukum.
Sebab, kontrol harusnya ada pada presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
"Nah menurut saya inilah yang menjadi latar mengapa muncul keberanian, dan Pak Jokowi melakukan tindakan itu. Tepat ketika dia berakhir 5 tahun dan akan memasuki 5 tahun berikutnya. Kalau dia tidak lakukan, dia akan mandek seperti yang terjadi dalam 5 tahun belakangan ini," ujar Fahri.
DPR telah mengesahkan revisi UU KPK. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna pada Selasa (17/9/2019).
Pengesahan Undang-Undang KPK ini merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perjalanan revisi ini berjalan sangat singkat.
Sebab, DPR baru saja mengesahkan revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR pada 6 September 2019. Dengan demikian, hanya butuh waktu sekitar 11 hari hingga akhirnya UU KPK yang baru ini disahkan.
Novel Baswedan Sepupu Anies Bongkar Pejabat yang Bersekongkol: Sistematis Kolaborasi
Penyidik KPK Novel Baswedan mengungkapkan ada upaya sistematis untuk menghancurkan lembaga anti-rasuah.
Dia merasa ada persekongkolan jahat para pejabat untuk membuat korupsi di Indonesia tetap subur.
“Belakangan ini ada upaya sistematis, terencana, yang dilakukan dengan berkolaborasi."
"Atau persengkokolan para pejabat membuat korupsi di Indonesia aman dan nyaman,” kata Novel Baswedan kepada wartawan, Senin (16/9/2019).
Upaya merusak KPK, menurut Novel Baswedan, terus dilakukan melalui upaya pecah belah dari dalam internal KPK.
Caranya, dengan memberikan stigma radikal dan taliban bagi sebagian pegawai KPK.
Selain itu, disebar stigma lain agar seolah-olah KPK terlalu kuat melalui kewenangan penyidikan dan penyadapan.
Isu KPK telah melampaui batas dan melanggar HAM, katanya, juga ditempel lewat pernyataan-pernyataan tersebut.
“Ini tampak sekali kepentingan SP3 bukan kepentingan KPK. Soal penanganan di KPK di pembuktian bermasalah tidak dibolehkan bebas."
"Ini jahil murokkab. Bodoh keterlaluan,” tegasnya.
Dia juga menampik tuduhan KPK menggunakan instrumen penyidikan untuk alat menekan.
Soal penyadapan, Novel Baswedan menyatakan kewenangan tersebut telah lumrah bagi lembaga penegak hukum, bahkan di negara lain.
“Penyadapan di Indonesia bukan cuma KPK, ada penegak hukum lain."
"Kedua, penyadapan oleh KPK digunakan dengan memenuhi ketentuan (lawfull), ikuti ketetapan perundangan yang legal."
"Tapi, inlawfull di lembaga lain terjadi tapi tak dipermasalahkan,” paparnya.
Masih soal penyadapan, lanjut Novel Baswedan, KPK selalu meminta agar IT KPK di-coding agar aman dan tidak dilacak pihak lain.
Dia lantas mempertanyakan tujuan pihak lain yang menyebut kewenangan KPK ini berlebihan.
“Kok cuma KPK yang dipermasalahkan? Alasannya biar tak boleh terjadi sehingga tidak ada yang tertangkap."
Agar bertransaksi masalah tertentu jangan tahu dulu. Hal-hal seperti ini yang saya sebut jahil murokkab,” beber Novel Baswedan.
Begitu juga dengan pengawasan yang dilakukan KPK, Novel Baswedan menyatakan pihaknya melakukan pengawasan dengan penuh pertanggungjawaban.
“Kami ungkap ke publik. Sementata penegak hukum lain dalam menyelesaikan perkara banyak yang tak tuntas, tak jelas tak ada pengawasan, justru tak dipermasalahkan."
"Saya khawatir ada kelompok tertentu dapat duit banyak, ketakutan kekhawatiran ditangkap,” ucap Novel Baswedan.
Sebelumnya, Presiden Jokowi akhirnya bersuara atas revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditentang KPK serta koalisi masyarakat sipil anti-korupsi.
Ditemani Mensesneg Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko di Istana Negara, Jumat (13/9/2019), Presiden Jokowi akhirnya bersuara.
Dia menyatakan beberapa poin yang disetujui dan tidak disetujui.
"Saya ingin memberikan penjelasan mengenai RUU KPK."
Supaya diketahui bahwa RUU KPK yang sedang dibahas di DPR ini adalah RUU usul inisiatif DPR," kata Jokowi mengawali keterangan persnya.
"Saya telah mempelajari dan telah mengikuti secara serius seluruh masukan yang diberikan dari masyarakat."
"Dari para pegiat anti-korupsi, para dosen dan para mahasiswa, dan juga masukan dari para tokoh bangsa yang menemui saya," ucap Jokowi.
Jokowi melanjutkan, ketika ada inisiatif DPR untuk mengajukan RUU KPK, maka tugas pemerintah adalah memberikan respons.
Lalu, menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), hingga menugaskan menteri mewakili Presiden dalam pembahasan dengan DPR.
Lebih lanjut, Jokowi menjelaskan UU KPK telah berusia 17 tahun, sehingga perlu penyempurnaan secara terbatas agar pemberantasan korupsi makin efektif.
"Sekali lagi, kita jaga agar KPK tetap lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi," ucap Jokowi.
Mantan Wali Kota Solo ini mengaku sudah mengarahkan Menkumham dan Menpan RB, untuk menyampaikan sikap dan pandangan pemerintah terkait substansi revisi UU KPK yang diinisiasi DPR.
Intinya KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi.
Karena itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai, dan harus lebih kuat dibandingkan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.
"Saya tidak setuju terhadap beberapa substansi inisiatif DPR ini yang berpotensi mengurangi efektivitas tugas KPK."
"Pertama saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan, misalnya harus izin ke pengadilan. Tidak!"
"KPK cukup memperoleh izin internal dari dewan pengawas untuk menjaga kerahasiaan," tegas Jokowi.
Jokowi juga tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.
"Saya tidak setuju penyelidik dan penyidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja."
"Penyelidik dan penyidik KPK bisa juga berasal dari unsur ASN, dari pegawai KPK maupun instansi lainnya, tentu saja harus melalui prosedur rekrutmen yang benar," tutur Jokowi.
Jokowi pun tidak setuju KPK wajib berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam melakukan penuntutan.
Menurut dia, sistem penuntutan yang berjalan saat ini sudah baik sehingga tidak perlu diubah lagi.
Lebih lanjut, Jokowi juga tidak setuju jika pengelolaan LHKPN dikeluarkan dari KPK, apalagi sampai diberikan pada kementerian dan lembaga lain.
"Saya tidak setuju. Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan saat ini," ucapnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Surat Presiden (Supres) revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
"Supres RUU KPK sudah ditandatangani oleh Bapak Presiden dan sudah dikirim ke DPR pagi tadi," kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Menurut Pratikno, daftar inventarisasi masalah (DIM) yang disampaikan dalam Supres, banyak merevisi draf RUU tentang KPK yang diusulkan DPR.
"DIM daftar inventaris masalah yang dikirim oleh pemerintah itu banyak sekali yang merevisi draf RUU yang dikirim oleh DPR."
"Jadi ini kan kewenangannya DPR lah untuk merumuskan undang-undang, tapi itu kan harus disepakati bersama antara DPR dan pemerintah," tutur Pratikno.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan sampai membatasi lembaga anti-rasuah tersebut.
"Jangan sampai ada pembatasan-pembatasan yang tidak perlu, sehingga independensi KPK menjadi terganggu, intinya ke sana," ujar Jokowi di Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019).
Menurut Jokowi, dirinya baru saja menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) draf revisi UU KPK, dan akan ia pelajari terlebih dahulu secara detail.
"Saya mau lihat dulu, nanti satu per satu kita pelajari, putusin, dan saya sampaikan kenapa ini iya, kenapa ini tidak, karena tentu saja ada yang setuju, ada yang tidak setuju dalam DIM-nya," tuturnya.
Jokowi mengaku dalam mengambil keputusan yang tepat terkait revisi UU KPK, ia melakukan diskusi dengan sejumlah menteri dan akademisi sejak awal pekan ini.
"Sudah mulai sejak Hari Senin, sudah kami maraton minta pendapat para pakar, kementerian, semuanya secara detail."
"Sehingga begitu DIM nanti nanti kami lihat, saya sudah punya gambaran," tuturnya.
Terkait Surat Presiden (Supres), kata Jokowi, akan disampaikan kepada publik jika telah dikirim ke DPR.
"Kami baru melihat DIM-nya dulu, nanti kalau Supres kami kirim, besok saya sampaikan. Nanti materi-materi apa yang perlu direvisi," paparnya.
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Ungkap Keganjilan Revisi UU KPK, Novel Baswedan: Bodoh Keterlaluan!, https://wartakota.tribunnews.com/2019/09/16/ungkap-keganjilan-revisi-uu-kpk-novel-baswedan-bodoh-keterlaluan DAN Tribunnews.com dengan judul Fahri Hamzah: Pak Jokowi Merasa KPK Adalah Gangguan, https://www.tribunnews.com/nasional/2019/09/17/fahri-hamzah-pak-jokowi-merasa-kpk-adalah-gangguan.
#Fahri Hamzah Bela Jokowi, Ungkap Alasan Presiden Mau Revisi UU No 30 Tahun 2002: KPK adalah Gangguan