Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Begini Reaksi Presiden Putin soal Penyusupan Intelijen

Intelijen dua negara superpower lagi jadi pusat perhatian dunia. Rusia bereaksi atas kabar yang dipublikasikan media AS

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
kompas.com
Presiden AS Donald Trump bersalaman dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MOSKWA - Intelijen dua negara superpower lagi jadi pusat perhatian dunia. Rusia bereaksi atas kabar yang dipublikasikan media AS bahwa ada mata-mata yang menyusup di pemerintahan Presiden Vladimir Putin dengan menyebutnya bohong.

Sebelumnya, media AS memberitakan bahwa si agen rahasia itu punya akses ke ruangan Putin. Bahkan, dia bisa mengirim foto dokumen apa saja yang ada di meja sang presiden. Berdasarkan pemberitaan CNN sebagaimana diberitakan Sky News Rabu (11/9/2019), si mata-mata menyediakan informasi intelijen bagi AS selama 10 tahun.

Baca: Saya Temani BJ Habibie karena Ingin Belajar

Kemudian The New York Times melaporkan dia menjadi sosok sentral Badan Intelijen Pusat AS (CIA) soal dugaan intervensi Rusia dalam Pilpres 2016.

Berkat data yang disediakan si mata-mata, CIA menyimpulkan Putin tak hanya memerintahkan langsung intervensi itu. Tapi dia juga menjagokan Donald Trump daripada Hillary Clinton. CNN kemudian mewartakan bahwa si agen rahasia itu terpaksa ditarik dari Rusia setelah muncul kekhawatiran bahwa Trump bakal membuka identitasnya 2017 lalu.

Keputusan ekstraksi itu muncul setelah Trump menggelar pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov, dan Duta Besar Rusia untuk AS saat itu, Sergey Kislyak. Media Rusia kemudian mengidentifikasinya sebagai Oleg Smolenkov.

Dia disebut menghilang bersama istri, Antonina> dan tiga anaknya ketika berlibur ke Montenegro. Wakil Menteri Luar Negeri Sergey Ryabkov menanggapi dengan menyatakan Smolenkov tidak punya peran apa pun karena sejak awal, tidak ada intervensi dalam pilpres. "Apa yang terjadi pada kami hanyalah kebohongan yang ditumpuk di atas kebohongan lain, serta fitnah berlipat yang ditujukan kepada kami," sindir Ryabkov.

Baca: Warga Tumpah Ruah Beri Penghormatan Terakhir untuk BJ Habibie

Meski begitu, juru bicara kepresidenan Dmitry Peskov mengakui bahwa Smolenkov memang pernah bekerja di Kremlin. Namun, Peskov menegaskan dia sudah dipecat. "Kami tidak tahu apakah yang bersangkutan mata-mata atau bukan. Pertanyaan itu paling tepat diajukan kepada dinas intelijen.

Mereka yang menjalankan tugasnya," katanya. Peskov kemudian menambahkan, dia membantah laporan bahwa Smolenkov merupakan pejabat tinggi Rusia. Peskov menyatakan Smolenkov tak punya akses ke ruangan Putin.

Kantor berita Rusia RIA memberitakan terdapat rumah dengan nama Oleg Smolenkov di Stafford, dekat Washington, kawasan yang dihuni mantan militer hingga agen FBI.

Tetangga yang bernama Greg Tally mengungkapkan si pemilik rumah mempunyai aksen Rusia, dan pergi dengan terburu-buru ketika dia melihat adanya jurnalis. Ketika wartawan RIA mencoba mendekati rumah itu, tidak ada aktivitas di dalamnya dengan gorden ditutup, serta tidak ada yang menjawab panggilan.

Tarik Mata-mata dari Rusia, AS Alami "Kebutaan"

Keputusan Amerika Serikat ( AS) menarik mata-mata mereka dari Rusia dilaporkan membuat mereka mengalami "kebutaan" efektif akan kiprah Kremlin. Si agen rahasia yang disebut punya akses ke ruangan Presiden Vladimir Putin itu sudah memberikan informasi bagi intelijen AS selama 10 tahun terakhir.

Informasi utama yang diberikan oleh si agen rahasia adalah isu Putin memerintahkan langsung intervensi Negeri "Beruang Merah" di Pilpres AS 2016. Baca juga: AS Selamatkan Mata-mata Top Rusia yang Beberkan Peran Putin di Pilpres 2016 Si mata-mata disebut menangani infrastruktur keamanan nasional.

Bahkan, dia bisa mengirim gambar dokumen apa saja yang ada di meja Presiden Putin. Merujuk kepada pemberitaan The New York Times Senin (9/9/2019), mata-mata yang tak disebutkan identitasnya itu merupakan "aset" bagi CIA yang paling berharga.

Karena itu berdasarkan penuturan sumber kepada CNN seperti dikutip AFP Selasa (10/9/2019), ekstraksi (penarikan) si agen membuat intelijen AS "buta". Sebabnya, mereka tidak bisa mengakses internal Rusia saat pemilu sela yang terjadi November 2018. Begitu juga Pilpres AS yang akan berlangsung 2020 mendatang.

Sumber internal Washington mengatakan, mereka mempertimbangkan Rusia sebagai salah satu ancaman bagi keamanan nasional AS, bersama dengan China. Karena itu, keputusan menyelamatkan si mata-mata dari Rusia membuat mereka tidak bisa menerima informasi level tinggi di tengah tensi dua negara yang memanas.

"Dampaknya bakal sangat besar karena sangat sulit mengembangkan sumber yang bisa mendapatkan kepercayaan di lingkaran dalam penguasa, khususnya Rusia," terang pejabat anonim itu.

Baca: Potensi Devisa KEK Likupang Rp 22,5 T

Pejabat itu menjelaskan di Rusia, sektor pengawasan dan keamanan begitu ketat diterapkan.

"Kemampuan menyusup itu tidak bisa didapatkan hanya dalam semalam," terangnya. The Times melaporkan, intelijen AS sebenarnya sempat mengupayakan untuk memulangkan si informan pada akhir 2016. Namun, dia menolak dengan alasan keluarga. Penolakan itu sempat membuat intelijen AS khawatir.

Pasalnya, mereka sempat mengira si informan menjadi agen ganda. Namun pada 2017, dia lulus dan bersedia ditarik. Presiden Donald Trump sudah menerima informasi adanya prosedur penyelamatan itu, dengan detil hingga keberadaan si informan saat ini tidak diketahui.

Keputusan untuk menarik si mata-mata terjadi setelah Trump menggelar pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Duta Besar Rusia untuk AS, Sergey Kislyak.

Dalam pertemuan di Ruang Oval Mei 2017 itu, Trump sempat menyinggung tentang si agen rahasia meski tidak menyebutkan identitasnya kepada Lavrov dan Kislyak. Diskusi itu dilaporkan membuat intelijen AS ketar-ketir, hingga puncaknya mereka membahas operasi untuk menarik mata-mata tersebut dari Rusia.

Direktur hubungan publik CIA Brittany Bramell kemudian merespons dengan membantah laporan tersebut, dan menyanggah Trump punya akses akan informasi sangat rahasia itu. "Narasi CNN bahwa CIA menggelar operasi hidup dan mati berdasarkan sebuah analisis obyektif dan koleksi data seadanya sangatlah salah," tegas Bramell.

Israel Ungkap Iran Berusaha Rekrut Agen Rahasia dari Palestina

Badan Intelijen Israel mengklaim, mereka membongkar upaya intelijen Iran dalam merekrut agen rahasia baik dari Palestina maupun warganya dari suku Arab. Pernyataan dari Shin Bet itu tidak menyebutkan identitas dari terduga mata-mata, atau apakah mereka sudah ditangkap serta menjalani sidang tuntutan.

Namun seperti diberitakan AFP Rabu (24/7/2019), Israel menyatakan jaringan agen rahasia yang dikelole oleh Iran ditemukan "dalam beberapa tahun terakhir".

"Jaringan ini berbasis di Suriah atas instruksi Iran, dan dipimpin oleh seorang agen Suriah yang dijuluki sebagai Abu Jihad," demikian pernyataan Israel.

Tel Aviv membeberkan jaringan itu kemudian berusaha merekrut orang menggunakan akun Facebook fiktik maupun berbagai aplikasi media sosial lainnya. Israel menambahkan, kelompok seperti Hamas serta Hezbollah telah menjalin kontak dengan warga Arab Israel dan Palestina menggunakan media internet.

"Mereka direkrut untuk melakukan kegiatan pengumpulan intelijen serta aksi teroris," demikian pernyataan yang dilontarkan Badan Keamanan Israel itu.

Dijelaskan bahwa mereka yang dihubungi oleh Iran diminta mengumpulkan data di tempat seperti markas militer maupun pos polisi dan menyediakan target bagi Iran. Warga minoritas Arab Israel yang berjumlah 1,3 juta orang merupakan keturunan Palestina yang memutuskan tinggal di tanah mereka begitu Israel berdiri pada 1948.

Tel Aviv memandang Iran sebagai musuh utama mereka, dan telah melancarkan ratusan serangan udara di Suriah dan berdalih mengincar target Iran maupun Hezbollah. Juni lalu, militer Israel mendakwa warga keturunan Palestina-Yordania merupakan mata-mata bagi jaringan Iran yang beroperasi di negara itu serta Tepi Barat.

Pada 2018, Israel mendakwa tiga warga Palestina merencanakan "serangan teroris" atas perintah Iran. Kemudian 2015, Israel mengadili warga Belgia keturunan Iran. Tel Aviv menjatuhkan hukuman penjara selama tujuh tahun karena warga Belgia itu bertindak sebagai agen rahasia dengan menyamar menjadi pengusaha. (tribun/kps)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved