Jokowi Perlu ‘Sentuh’ Hati Orang Papua untuk Redam Persoalan Papua
Pemerintahan Joko Widodo dinilai perlu pendekatan persuasif menangani masalah Papua dan Papua Barat.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Pemerintahan Joko Widodo dinilai perlu pendekatan persuasif menangani masalah Papua dan Papua Barat. Hingga Rabu (21/8/2019), kondisi di kedua provinsi itu masih belum kondusif.
Aksi massa yang terjadi di Fakfak, Papua Barat berujung pada pembakaran
dan perusakan fasilitas umum. Massa membakar kios di Pasar Fakfak dan jalan menuju ke pasar.
Baca: Bendera Bintang Kejora Penyebab Rusuh Fakfak: Begini Ceritanya
Aksi massa juga terjadi di Timika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua yang awalnya berlangsung kondusif, kemudian massa mulai melempari Gedung DPRD Mimika dengan batu.
Menurut pengamat sosial dari Universitas Sam Ratulangi, Jefry Paat, pemerintah perlu memahami masyarakat Papua punya rasa solidaritas tinggi. Kejadian kejadian di Manokwari, Sorong dan Jayapura telah melebar hingga ke Fakfak dan Mimika.
Akar persoalan ada di Surabaya. Dugaan persekusi dan rasisme harus selesaikan. Kata Paat, pendekatan ke masyarakat, yakni menjelaskan duduk persoalan ini. Selain membentuk tim khusus, ada rencana Presiden Jokowi datang ke Papua.
“Langkah itu (Jokowi) patut diapresiasi, pendekatan dari hati ke hati dibutuhkan saat ini bagi masyarakat Papua yang dalam kondisi tersakiti atas peristiwa persekusi tersebut,” kata dia.
Rencana mempertemukan Gubernur Papua, Gubernur Papua Barat dan Gubernur Jawa Timur duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan serta membawa pesan damai perlu diapresiasi.
Kemudian, lanjut Paat, penegakan hukum. Aparat kepolisian segera memproses hukum terduga kasus persekusi terhadap mahasiwa Papua. Tanpa pandang buluh secepatnya ditangani. Termasuk oknum yang menyebar hoaks sehingga memantik reaksi negatif.
Baca: Pelempar Molotov Kantor Golkar Panik: Api Tidak Menyala dan Ketahuan Saksi
“Langkah menambah personel keamanan jangan sampai kebablasan. Mengamankan situasi itu perlu, tapi tetap mengedepankan cara-cara persuasif dan sesuai standar operasional prosedur,” ujar dia. Di samping itu, pemerintah perlu mengantisipasi oknum yang memancing di air keruh memanfaatkan situasi ini untuk memecah belah bangsa.
Kerusuhan di Kabupaten Fakfak masih berlanjut hingga Rabu (21/8) siang. Aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke barisan massa. Eko Aristianto, salah seorang warga di lokasi mengatakan, usai tembakan gas air mata dilontarkan aparat, massa sempat kocar-kacir. Dia sempat dekat dengan massa untuk mengambil gambar kerusuhan itu.
"Massa uber-uberan sama aparat. Gas air mata pedas sekali. Saya lalu pulang amankan anak dan istri," kata Eko melalui sambungan telepon. Eko mengatakan, sejumlah jalan di Fakfak saat ini ditutup, sehingga massa tak bisa bergerak ke kota.
Saat ini konsentrasi massa berada di Pasar Tumburuni, Fakfak. Mereka sempat membubarkan diri, namun saat ini berkumpul kembali di sepanjang Jalan Wagon hingga Pasar Tumburuni. "Tembakan keluar, mereka kembali lagi ke pasar, tadi sempat bubar," ujar Eko.
Menurutnya, sudah ada korban luka akibat peristiwa itu. Namun dia tak mengetahui jumlahnya. Dia tak tahu apakah ada orang yang ditangkap aparat dari peristiwa tersebut.
Dia mengatakan Pasar Tumburuni yang berada di kabupaten tersebut dibakar massa. Sementara sejumlah jalan raya diblokade. Sejumlah kios tutup sehingga pusat perekonomian terhenti. Massa sempat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Aksi massa di Timika, Kabupaten Mimika, yang awalnya mengusung misi damai berujung kerusuhan. Massa mulai melempari Gedung DPRD Mimika di Jalan Cendarawasih, Kota Timika, dengan batu. Amuk massa itu terjadi mulai sekitar pukul 12.00 Wita.
Baca: Pengolahan Baterai Jadi Kunci Kendaraan Listrik
Aparat kepolisian terpaksa mengeluarkan tembakan peringatan guna meredakan amukan massa aksi. Beberapa dilaporkan merasa kecewa karena telah lama menunggu kedatangan Ketua DPRD Mimika dan Bupati Mimika yang tak kunjung hadir di hadapan massa aksi.
Lebih dari seribu orang warga dari berbagai wilayah di Timika, Kabupaten Mimika, sejak Rabu pagi turun ke jalan guna menyuarakan aspirasi terkait insiden yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya dan Malang.
Mereka berkumpul di depan Kantor DPRD Mimika. Awalnya suasana damai terlihat, namun setelah beberapa jam menunggu kedatangan Bupati dan Ketua DPRD Mimika yang belum juga hadir.
Massa kemudian terprovokasi hingga melakukan tindakan anarkis. Hingga Rabu siang ini situasi belum kondusif. Massa masih melakukan pelemparan meskipun tembakan peringatan dilakukan aparat keamanan.
Karo Ops Polda Papua Kombes Pol Moch Sagi membeberkan penyebab terjadinya kericuhan tersebut. Ia mengatakan kericuhan yang terjadi di Fakfak berawal adanya keinginan massa menurunkan bendera lain selain bendera merah putih di tengah-tengah massa. Namun keinginan massa, ditolak oleh sekelompok oknum pembawa bendera tersebut.
Akibatnya terjadi gesekan antarkedua kubu berseberangan. "Bendera bintang kejora disuruh turunin, namun oknum massa tidak mau. Jadi timbul pertengkaran," kata Sagi. "Sempat ada keributan, tetapi bisa dikendalikan oleh aparat kepolisian," lanjut Sagi.
Saat terjadi pertikaian ini, dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab dengan membakar Pasar Thumburuni dan merusak fasilitas umum lainnya.
"Saat dilakukan perdamaian dengan para pedagang (pasar Thumburuni) di kantor Dewan Adat Papua, malah berujung anarkis dengan pembakaran kantor Dewan Adat Papua," ujar Sagi.
"Kita belum tahu persis kenapa pasar ini jadi sasaran amukan massa, padahal pasar sangat penting bagi masyarakat di sana," tuturnya lagi.
Sagi menambahkan, untuk pengamanan di Fakfak, 1 SSK BKO Brimob dari Polda Sulawesi Tenggara, diberangkatkan di wilayah tersebut. "Untuk situasi terkini relatif aman terkendali," ujar Sagi.
Puluhan orang diamankan Polres Mimika, pasca-rusuh. Puluhan orang yang diamankan ini diduga melakukan perusakan bangunan gedung DPRD Mimika maupun bangunan di sepanjang Jalan Cenderawasih, dan kendaraan milik TNI-Polri serta warga.
Kapolres Mimika AKBP Agung Marlianto mengatakan, mereka yang diamankan ini akan dimintai keterangannya, apabila terbukti melakukan tindakan anarkistis, maka akan diproses hukum. "Ada juga yang kami amankan saat membakar fasilitas, semisal tempat sampah di samping Gedung Eme Neme Yauware," kata Agung.
Agung memastikan bahwa situasi Timika berangsur kondusif. Aparat TNI-Polri akan terus berpatroli untuk menciptakan situasi yang aman kepada warga. "Kami akan terus berpatroli untuk memastikan situasi kondusif," ujar dia.
Rusuh di Papua merespons kasus pengepungan Asrama Papua di Surabaya dan peristiwa di Malang. Sebanyak 43 mahasiswa ditangkap aparat kepolisian dari Asrama Papua di Surabaya. Mereka kini telah dipulangkan kembali.

Masalah Keadilan dan HAM
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menilai, Presiden Jokowi terlalu menyederhanakan peristiwa kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat.
Padahal persoalan ini begitu kursial karena menyangkut hak asasi manusia. Kelihatannya Presiden terlalu menyederhanakan masalah ini seolah-olah ini adalah peristiwa biasa. Padahal ini serius persoalannya.
Jokowi tidak cukup hanya meminta masyarakat Papua memaafkan peristiwa di Surabaya, Malang dan Semarang. Semestinya Presiden mengakui adanya kesalahan aparat dalam menangani peristiwa di Surabaya dan meminta Kapolri menindak secara hukum aparat yang melakukan kesalahan dan terbukti bersikap diskriminatif.
Penindakan secara hukum oleh kepolisian dinilai mudah lantaran bukti berupa rekaman peristiwa sudah dikantongi.
Untuk menurunkan ekskalasi ketegangan di Papua termasuk di Fakfak yang tadi pagi terjadi itu, adalah dengan segera memproses hukum para pelaku yang terlibat dalam peristiwa sebelumnya yang jelas-jelas melukai orang Papua.
Jokowi seharusnya melihat persoalan ini sebagai masalah utama masyarakat Papua, bahwa keadilan dan hak asasi manusia belum sepenuhnya ditegakkan. Jokowi perlu lebih memerhatikan persoalan tersebut, tidak hanya fokus kepada pembangunan infrastruktur.
Pemerintah harus membuka mata untuk mengakui bahwa persoalan utama di Papua bagi orang Papua adalah persoalan keadilan dan persoalan HAM. (Tribun/cnn/dtc/kps/ryo)