Olahraga bela diri kateda
Mengenal Kateda, Olahraga Bela Diri yang Mulai Berkembang di Sejumlah Daerah di Sulawesi Utara
Paling utama dari kateda adalah menjaga pertahanan, tidak memupuk ambisi menyerang yang berarti memancarkan bela diri yang sebenarnya.
Penulis: maximus conterius | Editor: maximus conterius
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Tak banyak orang yang mengetahui apa itu olahraga kateda yang kini mulai berkembang di Sulawesi Utara.
Olahraga bela diri ini justru mulai dikembangkan dari Indonesia sejak 1963 di Gunung Bromo oleh sang penemunya yang bernama Tagashi.
Namun, kateda sebenarnya sudah ada jauh sebelum masa Tagashi mendalami sebuah buku berbungkus kulit berisi simbol-simbol, yang ia temukan di Tibet Utara pada tahun 1907 atau saat ia berusia 20 tahun.
Kateda bisa berumur 3.000 tahun, tapi juga diyakini sudah berusia 10.000 tahun yang menandai akhir zaman es.
Selama itu pula kateda hilang sebelum ditemukan oleh Tagashi, seorang penyendiri dari daerah Himalaya.
Setelah menemukan buku itu di Tibet Utara, Tagashi mempelajari dan meneliti asal buku itu.
Ia juga membandingkannya dengan buku-buku kuno lainnya yang dimilki orang Tibet, Nepal dan Himalaya.
Selama 40 tahun mendalami buku itu, Tagashi berkesimpulan bahwa “Tujuh Rahasia”, nama yang ia beri pada buku tersebut, di mana simbolnya telah diterjemahkan menjadi 7 huruf yang berbeda, berasal dari “sebuah masa di mana perang tidak ada”.
Tenaga Dalam Alami
Ia pun mendeskripsikan ajaran tersebut sebagai “struktur anatomi dari tenaga dalam manusia, dibangun oleh unsur paling murni tenaga dalam alami”.
Struktu tenaga dalam alami itu digunakan sebagai perlindungan terhadap lingkungan yang liar dan juga memelihara kedamaian dan harmoni.
Kehadiran senjata perang membuat ajaran di dalam buku itu perlahan jarang digunakan hingga akhirnya dilupakan.
Buku “Tujuh Rahasia” itu, Tagashi menulis, mengandung kekuatan atom tubuh manusia dan kekuatan naluri manusia.
Tenaga dalam ini terbagi dalam tujuh bagian alami dan murni.
Pada zaman dahulu, kekuatan dan pengetahuan itu digunakan hanya untuk perlindungan hidup dan kenyamanan manusia, seperti menghadapi alam liar, binatang buas, hawa dingin dan panas, bahkan untuk kedamaian dan harmoni antara manusia.

Pada tahun 1947 Tagashi memutuskan untuk mengikuti peta pada halaman-halaman terakhir buku.
Ia menganggapnya perjalanan yang dilakukan orang-orang terakhir yang memiliki buku tersebut untuk mencegahnya dihancurkan.
Pada saat itu pandangannya telah berubah dan dia percaya bahwa Tujuh Rahasia harus dibagi dengan yang lain. Ia pun ingin semua orang memiliki akses terhadap pengetahuan tersebut.
Selama 16 tahun perjalanannya melalui Nepal, India, Thailand, Malaysia dan Indonesia, Tagashi mengajar sekitar 200 murid.
Ajarannya diberikan secara rahasia untuk mencegah penyalahgunaan pengetahuan bela diri.
Semua diharuskan bersumpah untuk mencegah kerahasiaan, khususnya mereka yang dapat memukul benda padat tanpa luka atau sakit.
Mereka juga harus mengembangkan rasa tanggung jawab mereka mengenai pengetahuan ini dengan mengajari orang lain dengan diawasi oleh Tagashi.
Sampai di Gunung Bromo
Tahun 1963 Tagashi dan 30 master sampai pada Gunung Bromo, Jawa Timur, Indonesia. Di sini ia menemukan arti “inner voice” dan “inner vision” dengan melihat bayangan-bayangan.
Pada sisi kawah ia melihat simbol yang sama dengan yang dijelaskan dalam buku “Tujuh Rahasia”.
Ini membentuk basis anggapannya bahwa rahasia kateda dapat diraih dengan metode bela diri.
Sejak saat itu tujuan Tagashi adalah menetap di Gunung Bromo dan mencari rantai atau metode yang memisahkan kemampuan yang telah dia dapatkan dari pengetahuan yang utama “Rahasia Ketujuh”.
Selama dia tinggal di Indonesia beberapa murid dari Indonesia menemui Tagashi.
Mereka menetap bersamanya dan ketika mencapai tingkat master diberi tugas membantu Tagashi mencari kunci untuk membuka Rahasia Ketujuh.
Pada 1969 salah satu master dari Indonesia mendapat izin dari Tagashi untuk menerjemahkan Tujuh Rahasia ke bahasa biasa, termasuk cara membuka Rahasia Ketujuh yang telah ditemukan oleh master ini.
Dia belum pernah melihat manuskripnya hingga Tagashi memberikan izin untuk menerjemahkannya.
Izin tersebut diberikan karena master ini ketika di Gunung Bromo, mempunyai bayangan yang sama dengan Tagashi tentang simbol yang dijelaskan di akhir buku. Tagashi sadar bahwa Rahasia Ketujuh ini dapat diraih.
Cara yang ditempuh untuk meraihnya disebut “Deep Silence”.
Dengan cara ini, orang akan mampu mengedalikan pikiran sehingga dapat menghubungi alam bawah sadarnya dan mencapai inner vision dan inner voice.

Selang tiga tahun, 1969 hingga 1972, master ini menerjemahkan Tujuh Rahasia dalam pengasingannya ke Tibet Utara, di mana manuskripnya ditemukan.
Maret 1972 Tagashi menerima terjemahannya dan dia juga setuju untuk menghapuskan kerahasiaan tradisionalnya dan menggantinya dengan organisasi pengajaran terstruktur dengan peraturan-peraturan.
Terjemahan dari Tujuh Rahasia disebut Kateda yang berarti “tingkat tertinggi dari central power”.
Metode pernapasan, pengendalian otot, gerakan fisik, konsentrasi pikiran, komunikasi hawa internal heat, inner vision dan inner voice adalah kata-kata yang digunakan sekarang menggantikan simbol-simbol manuskrip asli.
Satu-satunya simbol yang dipakai adalah nama kateda itu sendiri.
Huruf-huruf K-A-T-E-D-A diambil dari simbol yang digambar di halaman paling akhir dari “Tujuh Rahasia”, simbol gunung bersama dengan garis bantu, juga dalam bentuk simbol, instruksi untuk mencapai titik tertinggi.
Gunung Bromo menjadi seperti “pusat spiritual” kateda.
Salah seorang murid Indonesia menyebutkan bahwa kateda berasal dari “karate tenaga dalam” dan sesuai yang digunakan oleh organisasi Kateda.
Setelah Tagashi Meninggal
Pada 1976, tanggal 22 Januari, Tagashi meninggal pada usia 89 tahun. Ia kemudian dikremasi di kawah Bromo bersama manuskrip asli, sesuai dengan permintaaan terakhirnya.
Tagashi juga meminta siapapun yang baru menjadi grand master kateda harus memprioritaskan perdamaian di atas semua pengetahuan yang dicapai melalui kateda.
Pada saat kematiannya sejumlah muridnya tergabung dengannya dalam mencapai tingkat ketujuh.
Seorang muridnya bernama Lionel Henry Nasution, anak seorang jenderal Indonesia.
Namun, tidak begitu jelas diketahui apakah Lionel Nasution meneruskan Tagashi sebagai grand master walau diketahui bahwa ia belajar langsung di bawah Tagashi dan mencapai tingkat ketujuh central power dalam bimbingannya di kawah Gunung Bromo.
Pada tahun 1977, lima tahun setelah pembukaan sekolah kateda pertama di Indonesia, Kateda Internasional, organisasi pengajaran utama dari sekolah kateda, membuka sekolah di Inggris dan tiga tahun kemudian pada 1980 di Amerika.
Semua sekolah tersebut dengan cabang-cabangnya disentralisasi dengan nama “Sekolah Bela Diri Kateda”.

Tanggal 5 Maret 1981 sekolah bela diri kateda London menjadi pusat semua sekolah kateda, karena pada saat itu anggotanya berasal dari budaya dan latar belakang yang berbeda dari Inggris, AS, Indonesia, Iran, Denmark dan sebagainya.
Tahun 1982 ada 30 master yang memimpin sekolah-sekolah melalui metode tradisional seleksi, memastikan permintaan almarhum Tagashi dilaksanakan.
Efek Latihan
Seperti latihan apapun yang dijalankan dengan benar, berlatih kateda meningkatkan kebugaran jasmani, stamina dan relaksasi.
Mempelajari kateda dianggap meningkatkan kekuatan pikiran, sistem saraf dan pernapasan, koordinasi, keseimbangan, dan naluri melalui semua jenis kelompok otot.
Setelah mempelajari gerakan dasar tersebut dari nomor 1 hingga 10 dan terdiri dari beragam pukulan, tangkisan, tendangan dan loncatan, murid-murid melalui proses mempelajari pengendalian central power.
Langkah-langkahnya menjadi lebih kuat dengan gabungan central power.
Seperti seni bela diri lainnya, kateda juga mengembangkan sisi spiritual melalui pembangkitan central power.
Central power dikembangkan melalui pernapasan unik, latihan mental dan fisik.
Salah satu latihannya disebut “ kei”, yang menandakan suatu hubungan dengan seni bela diri lain.
Ini mungkin sebuah kebetulan, tapi kemiripan dengan kata dalam bahasa Cina “Qi” atau “Chi” terlihat jelas.
Keahlian seorang murid dalam menyalurkan central power melalui sistem saraf diuji dengan berbagai cara latihan.
Tingkat central power dengan berurutan berada dengan indikasi di mana pada suatu latihan dipelajari: pernapasan, pengendalian otot, gerakan fisik, konsentrasi pikiran, komunikasi internal heat, inner vision, dan inner voice.
Pada tingkat sabuk putih, murid langsung berlatih dengan pernapasan. Mereka juga mulai diajarkan penekanan pada “satu arah”, yaitu fokus penglihatan pada satu titik.
Teknik meditasi ini digunakan di setiap kelas untuk memfokuskan pikiran dalam mengembangkan central power.
Kateda secara teknis identik dengan gerakan tendangan, memukul, bantingan, dan menahan serangan, bahkan mampu menahan serangan benda tumpul ke arah tubuh manapun.
Pada tingkatan lebih lanjut, kateda mengajarkan seseorang harus membebaskan diri dari rasa takut yang bersifat tidak alami. Rasa takut ini berasal dari lingkungan, pengamatan dan pengalaman hidup.
Ada 7 rasa takut yang tidak alami dalam setiap diri manusia, yakni takut akan kegelapan, takut akan harga diri, takut akan kesepian, takut akan menghadapi hidup, takut akan tanggung jawab, takut akan berdedikasi, takut akan kematian.
Berkembang di Sulut
Kateda masuk di Sulawesi Utara sejak 30 tahun yang lalu.
Dalam tiga tahun terakhir ini olahraga bela diri kateda semakin berkembang di bawah naungan Kateda Celebes Indonesia (Kacindo) yang menjadi pemersatu kateda-kateda di Sulut.
Kacindo berdiri sendiri sebagai satu organisasi yang di dalamnya terdiri dari beberapa perguruan kateda yang berada di Sulut dan Indonesia.
Kacindo sudah tersebar di beberapa tempat di Sulut seperti di Manado, Bitung, Tomohon, Minahasa, Minsel, Minut, dan sementara berkembang ke arah Bumi Totabuan dan Nusa Utara.
Guru Besar sekaligus Ketua Umum Kateda Celebes Indonesia Vano Manoppo mengatakan, olahraga kateda merupakan ilmu bela diri pernapasan dan sudah mulai banyak peminatnya.

"Banyak murid mulai level anak-anak sampai orang dewasa. Paling utama dari ilmu bela diri ini adalah menjaga pertahanan, tidak memupuk ambisi menyerang yang berarti memancarkan bela diri yang sebenarnya, yaitu membela diri untuk tetap mampu berdiri tegak tanpa merasa sakit ataupun luka yang dapat membahayakan tubuh," ujar Vano.
Kateda diharapkan dapat digunakan pada situasi darurat seperti menjaga diri dari beberapa orang yang berniat jahat untuk melukai kita dan dapat terhindar dari serangan ke arah tubuh manapun.
"Selain bela diri, ada juga banyak manfaatnya seperti kesehatan, contohnya dapat mengatasi sakit maag, sakit asam lambung, asma hepatitis, penyempitan tulang belakang dan masih banyak penyakit dalam lainnya," jelas dia. (*)
Baca: WASI Kembali Pecahkan Dua Rekor Dunia Selam di Manado, Hadiah Indah Bagi Negara Indonesia
Baca: Cemburu Lihat Foto Suaminya Viral Bantu Wanita Korban Kecelakaan, Istri Malah Bikin Polisi Masuk UGD
Baca: Ngorok Tak hanya Melulu Soal Lelap Tidur, Bisa Jadi Tanda Ada Masalah Kesehatan