Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Siapkan Basarah Jadi Ketua MPR: Ini yang Ditargetkan PDIP

PDIP menyiapkan empat nama calon ketua MPR. Partai tengah membahas nama-nama tersebut secara internal.

Editor: Lodie_Tombeg
KOMPAS.com/JESSI CARINA
Wakil Sekjen PDI-Perjuangan Ahmad Basarah di kompleks parlemen, Selasa (13/11/2018). 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA – PDIP menyiapkan empat nama calon ketua MPR. Partai tengah membahas nama-nama tersebut secara internal. "Iya, baru dibahas di fraksi," kata politikus PDIP Eva Sundari.

Empat orang tersebut adalah Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Ahmad Basarah, yang juga menjabat sebagai wakil ketua MPR. Kemudian, tiga nama lainnya adalah Menkumham Yasonna Laoly, Ketua DPP PDIP Trimedya Panjaitan dan Andreas Hugo Pareira. Sejauh ini, ujar Eva, cenderung menguat ke satu nama. "Basarah," ujar Eva.

Basarah dipersiapkan untuk kursi pimpinan MPR, termasuk juga kemungkinan Ketua MPR. Eva menyebut bahwa partainya memang tak menutup mata untuk juga mengincar kursi ketua MPR di periode parlemen mendatang. Sebab, tidak ada aturan yang melarang partai pemenang menduduki kursi Ketua DPR dan MPR sekaligus.

Kendati demikian, ujar Eva, PDIP mengutamakan harmoni Koalisi Indonesia Kerja (KIK) dalam penyusunan paket MPR. PDIP akan mengambil posisi tersebut hanya jika disetujui bersama oleh koalisi. "Kalau memang semua menghendaki PDIP sebagai ketua MPR, maka kami ambil," ujar Eva, Senin (29/7/2019).

Baca: Egy Maulana Dapat Nilai Jelek dari Media Lokal Saat Laga Lechia Gdansk vs Wisla Krakow

Posisi Ketua MPR belakangan memang menjadi incaran semua partai yang lolos ke parlemen. Posisi ini dinilai sangat strategis mengingat di periode parlemen mendatang direncanakan akan ada amandemen terbatas UUD 1945 untuk menghadirkan kembali wewenang MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selama ini, PDIP yang paling getol menyuarakan dua hal tersebut. Hal tersebut diakui Eva Sundari.

"Memang PDIP yang paling getol, bahkan kami sudah menyiapkan berbagai strategi agar isi GBHN maupun pengelolaan revisi amandemen dan pembentukan GBHN bisa lancar," ujar Eva.

Wakil Ketua Korbid Pratama Partai Golkar, Bambang Soesatyo (Bamsoet) bicara tentang 'perebutan' kursi Ketua MPR periode 2019-2024. Menurut Bamsoet, isu kursi Ketua MPR kini lebih 'bermasalah' ketimbang menteri.

"Jatah menteri cukup banyak. Itu justru menjadi masalah adalah di parlemen, perebutan kursi ketua MPR masih terjadi di kalangan koalisi itu sendiri," kata Bamsoet usai menghadiri acara Rapimnas II Soksi 2019 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Minggu (28/7/2019).

Bamsoet berpendapat Golkar pantas mendapatkan jatah kursi Ketua MPR. Namun di lain sisi Bamsoet sadar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang merupakan rekan koalisi di Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, juga mengincar jabatan tersebut.

Baca: Kuota Urea Berkurang Untuk Kotamobagu

"Golkar sebagai pemenang kedua merasa sangat pantas untuk mendapat jatah Ketua MPR. Tetapi PKB juga mengincar kursi itu. Untuk meredakan ketegangan di internal koalisi, perlu ketegasan Presiden Jokowi. Saya yakin Presiden Jokowi mampu menghadapinya dengan elegan. Karena koalisi sangat penting bagi Pak Jokowi dan pemerintahannya periode kedua yang akan datang," terang Bamsoet.

Bamsoet kemudian menjelaskan jabatan Ketua MPR menjadi rebutan karena sangat strategis dan penting terkait soal kewenangan melakukan amandemen di samping untuk menjaga wibawa dan menunjukkan keberhasilan partai.

"Ke depan tantangan kita bukan masalah ekonomi lagi, tapi masalah radikalisme. Dalam pembicaraan dengan Pak Presiden, Presiden tidak galau soal ekonomi, beliau galau dengan tantangan yang lebih besar yaitu radikalisme," imbuhnya.

Dengan kewenangan penuh di MPR, tambah Bamsoet, negara dapat memojokkan eksistensi pihak-pihak yang menganut paham radikalisme dengan mengeluarkan TAP MPR.

Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Megawati di Rumah Megawati di Jalan Tengku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Prabowo Subianto berjabat tangan dengan Megawati di Rumah Megawati di Jalan Tengku Umar, Jakarta, Rabu (24/7/2019). (tribunnews)

Buah Pertemuan Mega-Prabowo

Pertemuan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, pada Rabu (24/7), dibayangi isu power sharing atau bagi-bagi jabatan di pemerintahan.

Gerindra sudah membantahnya. Namun tak dipungkiri bahwa pertemuan itu terjadi tak lama setelah Gerindra secara terang-terangan menyatakan membidik kursi Ketua MPR periode 2019-2024 sebagai bagian rekonsiliasi pasca Pilpres 2019.

"Semangat rekonsiliasi pertama harus diwujudkan oleh para wakil rakyat anggota MPR, dari anggota DPR dan DPD, terutama oleh pemimpin partai dalam menetapkan ketua MPR. Dengan semangat itu maka komposisi terbaik adalah ketua MPR dari Gerindra, ketua DPR dari PDIP, dan Presiden adalah Joko Widodo," ucap Ketua DPP Gerindra, Sodik Mujahid lewat keterangan tertulis, Jumat (19/7/2019).

Pengamat politik dari CSIS Arya Fernandes menilai posisi ketua MPR periode 2019-2024 strategis lantaran muncul rekomendasi untuk melakukan amendemen terbatas terhadap UUD 1945 pada periode mendatang.

MPR sebelumnya telah menyepakati perlunya haluan negara semacam GBHN yang dimasukkan dalam konstitusi lewat amendemen terbatas UUD.

"Pimpinan punya tanggung jawab yang besar karena melibatkan siapa pihak-pihak yang ikut dalam penyusunannya," kata Arya.

Selain itu, posisi ketua MPR juga menjadi strategis karena memiliki kewenangan untuk memberhentikan presiden. Posisi ketua MPR, lanjut Arya, akan menguntungkan Gerindra sebagai oposisi. "Potensi publisitasnya menjadi tinggi dan itu juga bisa jadi tiket bagi Gerindra dalam kepemimpinan nasional," tuturnya.

Pendekatan pada PDIP menjadi penting, lantaran pemilihan pimpinan MPR dilakukan berdasarkan sistem paket. Setiap fraksi berhak mencalonkan anggotanya sebagai Ketua MPR dalam paket yang diajukan fraksi atau kelompok fraksi.

Baca: Struktur RSUD Kotamobagu Hadapi PR Berat

Mekanisme pemilihan itu diatur dalam Pasal 15 Undang Undang MD3 Tahun 2018. Namun, menurut peneliti dari Populi Center, Rafif Pamenang Imawan, pertemuan Mega-Prabowo hanya memberi peluang kecil bagi Gerindra untuk mendapat jatah kursi MPR pada periode mendatang.

Koalisi Jokowi dinilai telah kuat sehingga negosiasi kursi kepada Gerindra tak menjadi keharusan. "Pada dasarnya dengan komposisi koalisi Jokowi saat ini, tidak mengakomodasi Gerindra pun tidak masalah," ujar Rafif.

Selain itu, jatah kursi ketua MPR untuk Gerindra juga sulit diberikan karena bisa mempengaruhi soliditas koalisi partai pendukung Jokowi. Gerindra memang bukan satu-satunya partai yang mengincar kursi Ketua MPR. Ada juga tiga parpol dari koalisi presiden terpilih Joko Widodo yang ingin menempatkan kadernya pada posisi ketua MPR, yakni PDIP, Golkar dan PKB.

Untuk mencegah kekisruhan tersebut Rafif berkata sebaiknya kursi Ketua MPR tetap menjadi bagian dari koalisi Jokowi. "Akomodasi Gerindra oleh Jokowi akan mengganggu kesolidan dari koalisi Jokowi itu sendiri," tutur Rafif.

Kemungkinan Gerindra Gabung Pemerintah

Ahli komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Jakarta Emrus Sihombing menilai ada kemungkinan Partai Gerindra bergabung dengan partai pendukung pemerintah di eksekutif atau bekerja sama dengan partai pendukung pemerintah di parlemen.

"Kalau mencermati sejarah dan latar belakangnya, Partai Gerindra memiliki hubungan baik dengan PDIP, terutama antara ketua umum kedua partai tersebut," kata Emrus Sihombing, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Senin kemarin.

Menurut Emrus Sihombing, Megawati dan Prabowo pernah berpasangan sebagai calon presiden dan calon wakil presiden pada pemilu presiden 2009. "Itu artinya, PDIP pernah berkoalisi dengan Partai Gerindra," katanya.

Kalau Gerindra bergabung dengan pemerintah, menurut dia, meskipun visi misi pada saat kampanye pemilu presiden 2019 berbeda, karena pada saat itu berbeda posisi yakni mendukung pasangan capres-cawapres yang berbeda.

"Kalau kemudian, Gerindra bergabung ke pemerintah, maka dia akan menyesuaikan visi misinya dengan partai-partai pendukung pemerintah ke dalam bentuk program kerja. Program tersebut, yang akan diimplementasikan selama lima tahun pemerintahan ke depan," katanya.

Emrus menambahkan, ada kemungkinan juga Gerindra bekerja sama dengan partai pendukung pemerintah di parlemen, artinya tidak duduk ke jabatan eksekutif tapi menduduki jabatan pimpinan MPR RI di parlemen.

Kalau kemudian, ada empat partai politik anggota Koalisi Indonesia Kerja (KIK) yakni koalisi partai-partai politik pendukung pemerintah, yang kemudian protes dan membuat kesepakatan menolak ada tambahan di koalisi, menurut Emrus, karena partai-partai tersebut merasa kepentingan politiknya terganggu. "Partai-partai tersebut khawatir porsinya menjadi berkurang," katanya.

Menurut Emrus, kalau empat partai politik tersebut, yakni Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menilai Gerindra tidak berkeringat mendukung pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Ma'ruf Amin, kalau melihat dari pendekatan demokrasi secara menyeluruh bahwa Gerindra juga berkeringat.

"Partai Gerindra adalah partai pengusung utama pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Kalau Gerindra tidak mengusung pasangan Prabowo-Sandiaga, maka hanya ada satu pasangan capres-cawapres pada pemilu 2019. Itu artinya, proses demokrasi pada pemilu 2019, tidak berjalan baik," katanya.

Emrus mengusulkan agar partai-partai politik di Indonesia mengutamakan gotong-royong sehingga pembangunan nasional dapat dikerjakan bersama-sama dan rakyat sampai ke tingkat bawah menjadi bersatu.

Soal partai oposisi, menurut dia, meskipun hanya satu partai, tidak menjadi masalah. "Oposisi itu tidak melihat besar atau kecil, tapi melihat kualitas kontrol yang diberikan kepada pemerintah," katanya.  (Tribun/tpc/dtc)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved