Nasional
Banyak Yang Beranggapan Menjadi Menteri Enak, Ini Cerita Sebenarnya
Menjadi menteri tentu punya cerita tersendiri. Inilah cerita para pejabat yang menjadi menteri, Sering Nombok hingga Harus Jual Saham Perusahaan.
”Fasilitas rumah menteri? Lihatlah, rumahnya sudah tua dan lingkungannya juga tidak nyaman lagi. Mobil dinas? Saya kira biasa saja,” tandas Kaban.
”Kalau gaji Rp 19 juta, memang sudah tahu. Akan tetapi, mau main proyek tidak mungkin."
"Orang sekarang takut dengan penyadapan. Padahal, permintaan sumbangan luar biasa jumlahnya.”
“Sementara beban pekerjaan itu sangat tinggi sekali,” papar Kaban.
Nombok
Mantan Menneg Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta membenarkan besaran gaji yang diterima menteri setiap bulan sebesar Rp19 juta.
Namun, gaji menteri itu sudah lama tidak naik. Sesuai slip gaji, dalam dua tahun gaji itu hanya naik Rp10.000.
”Padahal, sering kali saya mengeluarkan dana yang lebih dari gaji yang diterima. Jumlahnya bisa mencapai Rp10 juta hingga Rp20 juta,” kata Meutia.
Setiap kali kunjungan ke daerah, Meutia menghabiskan dana sekitar Rp4 juta untuk bantuan kepada masyarakat. Itu tidak termasuk dana program departemen.
Menurut Meutia, sejumlah menteri lain pun pernah mengungkapkan keluhan serupa.
Namun, ia tak mempermasalahkan bila harus mengambil uang pribadi karena menjadi menteri adalah sebuah amanah.
Seorang menteri di bidang ekonomi disebut-sebut juga mengaku ”kehilangan” tak hanya rumahnya, tetapi juga sebidang tanah dan mobil mewahnya untuk menopang operasionalisasi jabatan menterinya.
Inilah sisi tidak mengenakkan untuk menjadi seorang menteri.
”Kalau menteri ingin lebih terhormat dan bergaya, memang semakin besar kocek yang harus ia keluarkan,” ungkap Paskah.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, yang akrab disapa Ical, saat ditanya Kompas terus terang mengaku terpaksa menjual sejumlah saham perusahaannya untuk menomboki pengeluaran yang diakuinya sangat besar sekali sebagai menteri senior.
”Jabatan sebagai menko itu hanya untuk berbakti dan terus terang tidak enak. Karena dari segi dana, lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya.”
“Kalau untuk berbakti kepada negara, tentu enak-enak saja menjadi menteri. Itu sebuah kehormatan,” ujar Ical.
Ical menambahkan, ”Menjadi menteri tidak bisa untuk mencari rezeki. Malah uang pribadi yang banyak terpakai. Punya saham terpaksa juga dijual untuk menomboki karena kalau tidak begitu, tidak cukup.”
”Mengapa nombok?”
“Misalnya, kalau kita harus cepat sampai ke tempat tujuan seperti Papua, ya terpaksa pakai uang pribadi. Ini yang tidak enak kalau menjadi menteri,” ujar Ical terkekeh.
Ical disebut-sebut acap kali menggunakan pesawat pribadinya untuk menjalankan tugas negara ke tempat-tempat yang jauh di pelosok.
Terkait itu, ia setuju jika gaji menteri dinaikkan.
”Itu terserah pada hasil kerja. Orang tidak bisa diukur dari jumlah yang diterimanya, tetapi dari hasil kerjanya. Apakah itu kerjanya cukup besar dan setara dengan gaji yang diterimanya.”
“Dalam alam reformasi ini, kerja menteri memang bertambah, tetapi juga harus disertai dengan kenaikan gajinya,” papar Ical. (Intisari Online)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Cerita Para Pejabat yang Jadi Menteri, Sering Nombok hingga Harus Jual Saham Perusahaan