Wisata Sulut
Penyulingan Cap Tikus Bisa Jadi Atraksi Pariwisata, Wisatawan Asing Suka Melihat Keunikan
kearifan lokal yang unik yakni pembuatan gula merah, fufu (pengasapan) ikan cakalang, fufu kopra dan penyulingan cap tikus
Penulis: Ryo_Noor | Editor: David_Kusuma
Penyulingan Cap Tikus Bisa Jadi Atraksi Pariwisata, Wisatawan Asing Bisa Melihat Keunikan
TRIBUNMANADO. CO. ID, MANADO - Potensi pariwisata daerah belum digali maksimal, satu di antaranya menyangkut kearifan lokal yang unik harusnya punya nilai jual ke wisatawan.
Hermanus Dendeng, Pemerhati Budaya Minahasa mencontohkan, kearifan lokal yang unik yakni pembuatan gula merah, fufu (pengasapan) ikan cakalang, fufu kopra dan penyulingan cap tikus
"Kearifan lokal ini kenapa tidak dimanfaatkan untuk atraksi ke wisatawan? " kata dia di Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Sulut, Jumat (21/6/2019)
Pemikiran orang lokal kelihatanya kegiatan seperti itu biasa saja, tapi wistawan asing akan menggangap ini sebagai satu keunikan.
Baca: Jangan Sampai Diklaim Negara Tetangga, Bea Cukai Ingin Ubah Pandangan Negatif Cap Tikus
Baca: Cap Tikus Tunjang Pariwisata Sulut, Incar Pangsa Pasar Turis China
Baca: Dinas Pariwisata Target 150 Ribu Wisatawan Mancanegara, Manado Fiesta 2019 Menjadi Daya Tarik
"Wistawan asing suka melihat yang aneh, bafufu (mengasapi) cakalang, fufu kopra, buat gula merah dan bikin cap tikus, kenapa tidak dibuat? Atraksi ini akan menarik, " kata dia.
Belum ada tempat lokasi wisata menyajikan kearifan lokal ini, padahal jika dikolaborasikan dengan paket perjalanan wisata akan punya nilai jual.
"Hasil kerafian lokal ini cap tikus, gula merah, atau cakalang, minyak kelapa bisa jadi oleh-oleh perjalanan wisata, " ungkap Hermanus.
Selain itu, booming pariwisata memang belum terkoneksi misal dengan kesenian daerah
"Belum nyambung kunjungan wisata dengan kesenian budaya Minahasa," ungkap dia.
Ia mencontohkan, seni budaya pewayangan Jawa. Kesannya pewayangan hanya pertunjukan seperti itu, tapi orang nonton banyak.
"Kenapa? Alasannya karena cerita yang dikisahkan dalam pewayangan itu beragam, kisahnya beda-beda, " ungkap dia.
Sebenarnya Sulut punya kisah beragam juga tapi kemudian tidak dieksplorasi.
"Pertunjukan akhirnya kesannya tidak itu-itu saja," ujar dia.
Contoh paling santer, kesenian belum konek dengan pariwisata, tidak dimanfaatkannya Gedung Kesenian Pingkan Matindas
''Buat orang tidak bosan, kalau itu-itu saja, paket wisata berikut tidak ikut lagi," ungkap dia.
Baca: VIDEO VIRAL Pelajar SMP Pesta Lem di Kamar, Endingnya Ada Siswi Ciuman
Baca: Video Panas Siswi dan Gurunya Tersebar, Ternyata Berhubungan Intim Sejak 3 Tahun Silam
Baca: Dinilai Bersaksi Dusta di Sidang MK, TKN Akan Pidanakan Saksi Prabowo?
Jotje Kawengian, Anggota Majelis Adat Minahasa, seorang pemerhati budaya menyebut museum sebagai satu di antara daya tarik wisata.
Tapi saat ini, museum di Sulut ibaratnya jadi tempat penguburan benda purbakala, karena kurangnya minat masyarakat.
Harusnya museum itu jadi pusat pembelajaran sejarah
Menyoal minat masyarakat, ia berkisah pernah mendirikan perpustakaan bekerjasama dengan perguruan tinggi. Di perpustakaan itu diisi dengan sumber ilmu menyangkut waruga.
"Saya sedikit kecewa yang datang ke perpustakaan itu mahasiwa dari Sumatera Utara. Kenapa yang datang orang Batak? Bukan Toutemboan, Tonsea, dan Tombulu," ujar dia.
Museum daerah Sulut itu harusnya dikunjungi pertama oleh para pelajar. Kemudian orang yang mau menguatkan identitas sebagai orang Minahasa. (ryo)
Baca: Pelatih Napoli Carlo Ancelotti Diharap Mampu Membungkam Juru Taktik Juventus, Maurizio Sarri
Baca: HASIL Copa America 2019 Jepang Vs Uruguay Skor Imbang, Gol Dibuka Koji Miyoshi
Baca: Gadis 15 Tahun Berhubungan Intim dengan Om-om di Rumahnya, Ini Reaksi Sang Ayah saat Memergoki