Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Politik

Korupsi Masuk Desa Oleh Sumaryoto Padmodiningrat

Sumaryoto Padmodiningrat : Korupsi Masuk Desa Korupsi sudah terlanjur masuk desa. 'Bila guru kencing berdiri, maka murid kencing berlalri'

Editor: Frandi Piring
zoom-inlihat foto Korupsi Masuk Desa Oleh Sumaryoto Padmodiningrat
Tribunnews.com
Sumaryoto Padmodiningrat - Penulis

Dari 918 terdakwa yang divonis ringan tersebut, KPK menyumbang 7,28% atau 67 terdakwa, sedangkan kejaksaan menyumbang 92,72% atau 853 terdakwa.

Pada kategori sedang (4-10 tahun), dari 180 terdakwa yang diputus pengadilan, 69 terdakwa (38,76%) yang diputus sedang, dituntut oleh KPK, sedangkan 109 terdakwa (61,24%) dituntut oleh kejaksaan.

Untuk vonis kategori berat (>10 tahun), yakni sembilan terdakwa, lima di antaranya (55,56%) yang diputus berat adalah terdakwa yang penuntutannya dilakukan KPK, dan empat terdakwa lainnya (44,44%) dituntut oleh kejaksaan (Kontan.co.id, Senin 29 April 2019).

Hal ini tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2017, ICW mencatat total kasus korupsi yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung sebanyak 1.249 perkara dengan 1.381 terdakwa.

Dari jumlah itu, pada perkara yang ditangani KPK, sebanyak 60% divonis ringan, 33,33% divonis sedang, dan 1,96% divonis berat. Sementara pada perkara yang ditangani Kejagung, 82,40% divonis ringan, 11,20% divonis sedang, 2,46% divonis bebas, dan 0,41% divonis lepas (Kompas.com, 3 Mei 2018).

Ada dua hal yang memicu terjadinya korupsi pada umumnya, yakni niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, maka tak akan terjadi korupsi. Ada kesempatan tapi tak ada niat, juga tak akan terjadi korupsi.

Niat korupsi bisa dicegah dengan pendidikan karakter atau keimanan, sedangkan kesempatan atau peluang untuk korupsi bisa ditutup dengan aturan yang “sempurna” atau yang menutup seluruh celah korupsi.

Selain niat dan kesempatan, ada satu lagi pemicu korupsi, yakni shock teraphy (terapi kejut) dan detterent effect (efek jera). Banyaknya koruptor yang divonis ringan membuat para koruptor itu tak pernah jera, dan calon koruptor pun tidak takut melakukan korupsi.

Masuk akal bila kemudian seseorang menjadi residivis kasus korupsi. Billy Sindoro, misalnya.

Direktur Operasional Lippo Group ini ditangkap KPK pada Senin (15/10/2018) setelah dinyatakan sebagai tersangka suap perizinan proyek Meikarta kepada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Billy pun divonis 3,5 tahun penjara pada Selasa (5/3/2019).

Sebelumnya, Billy juga pernah ditangkap KPK pada 16 September 2008 bersama komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M Iqbal.

Billy disangka menyuap Iqbal dengan barang bukti Rp 500 juta terkait perkara yang dilaporkan PT Indosat Mega Media, Indonesia Tele Media, dan MNC Sky Network kepada KPPU pada September 2007. Mereka melaporkan, televisi berbayar Astro TV dan PT Direct Vision melakukan monopoli siaran Liga Inggris.

Billy diganjar hukuman penjara 3 tahun dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan oleh majelis hakim tindak pidana korupsi pada 2009.

Selain hukuman ringan, para koruptor juga bisa leluasa keluar-masuk bui dengan modus izin berobat. Sebut saja misalnya Gayus Tambunan, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Anggoro Widjojo, Fahmi Darmawansyah, Rachmat Yasin, M Nazaruddin, dan teranyar mantan Ketua DPR RI Setya Novanto.

Setnov, panggilan akrab terpidana korupsi KTP elektronik ini, terlihat sedang makan di Restoran Padang di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Senin (29/4/2019).

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved