Sejarah
Sekelumit Kisah Paus Yohanes Paulus II, Dari Masa Remaja Hingga Menjadi Pemimpin Katolik
Pada Oktober 1942, keinginan untuk menjadi pastor kian mantap. Di Wisma Uskup Agung yang berada di Kota Krakow, dia mulai belajar di seminari rahasia
Penulis: Rizali Posumah | Editor: Rizali Posumah
TRIBUNMANADO.CO.ID - 2 April 2005 dikenang oleh Umat Katolik seluruh dunia sebagai hari wafatnya Paus Yohanes Paulus II. Sosok pemimpin katolik yang gemar menjalin kekerabatan dengan berbagai komunitas agama di seluruh dunia itu meninggal pada usia 85 tahun di Istana Apostolik, Vatikan.
Dia adalah orang non-Italia pertama semenjak abad ke-16 masehi yang menjadi Paus.
Terlahir 18 Mei 1920 di Wadowice, Polandia, dengan nama Karol Jozef Wojtyla, pada masa mudanya Wojtyla adalah seorang atlet dan sering bermain sepak bola sebagai penjaga gawang.
Masa kecilnya sering berhubungan dengan komunitas Yahudi. Di kota kelahirannya, sering diadakan pertandingan sepak bola antara tim Yahudi dan Katolik. Wojtyła biasanya secara sukarela akan menawarkan diri menjadi penjaga gawang cadangan di tim Yahudi jika kekurangan pemain.
Pada pertengahan 1938, ia dibawa ayahnya untuk meninggalkan Wadowice dan pindah ke Kraków. Di kota ini, selepas SMA dia masuk ke Universitas Jagiellonian. Sambil belajar filologi dan berbagai bahasa di universitas, Wojtyla menjadi pustakawan sukarela dan juga harus ikut serta dalam wajib militer di Legiun Akademik Resimen Infanteri ke 36 Polandia. Meski begitu, Wojtyla yang relijius menolak menembakkan senjata.
Wojtyla juga menggemari sastra, dia tampil di beberapa grup teater dan kerap menulis naskah drama. Di masa itu, kemampuan berbahasanya berkembang. Wojtyla mempelajari 12 bahasa asing. Sembilan diantaranya kemudian dipakai terus ketika menjadi Paus: Bahasa Polandia, Slowakia, Rusia, Italia, Prancis, Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris, ditambah Bahasa Latin Gerejawi
Saat perang Dunia II pecah Universitas tempat Wojtyla menimba ilmu ditutup. Nazi Jerman menduduki Polandia, termasuk kota Krakow. Wojtyla terpaksa bekerja di tambang dan kemudian ke pabrik bahan kimia.
Pada 1941 Wojtyla dirundung duka, ibu, ayah, dan saudara laki-lakinya meninggal dunia, membuatnya harus hidup sebatang kara. Saat kematian semua anggota keluarganya, Wojtyla tidak ada bersama mereka. Ditinggalkan orang-orang terkasih dengan cara seperti ini, membuat siapa saja merasa sangat terpukul.
"Saya tidak ada pada saat kematian ibu saya, saya tidak ada pada saat kematian kakak saya, saya tidak ada pada saat kematian ayah saya. Pada usia 20, saya sudah kehilangan semua orang yang saya cintai," ujarnya suatu ketika, menceritakan masa-masa kehidupannya ketika itu, setelah empat puluh tahun kemudian.
Meski begitu Wojtyla tetap berusaha tegar. Duka dan ujian hidup menempa dirinya agar memiliki jiwa yang kuat. Sepeninggal keluarganya, panggilan imamatnya perlahan menjadi sesuatu yang mutlak dan tak terbantahkan. Pada Oktober 1942, keinginan untuk menjadi pastor kian mantap. Di Wisma Uskup Agung yang berada di Kota Krakow, dia mulai belajar di seminari rahasia yang dijalankan oleh uskup agung Kardinal Adam Stefan Sapieha.
Pada 1946 Wojtyla resmi menjadi Imam, ia kemudian berhasil menyelesaikan dua kuliah doktor dan menjadi profesor dalam bidang teologi moral dan etika sosial.
Pada 4 Juli 1958 saat berusia 38 tahun, Wojtyla ditunjuk Paus Pius XII menjadi uskup pembantu di Krakow sebelum menjadi uskup agung kota itu. Saat menjadi uskup agung Krakow, Wojtyla dengan lantang menyuarakan kebebasan beragama sementara di sisi lain Konsisi Vatikan Kedua digelar yang akan merevolusi ajaran Katolik.
Pada 1967, Wojtyla diangkat menjadi seorang kardinal dan mengambil risiko bekerja dan hidup sebagai Imam Katolik di bawah rezim komunis yang saat itu memerintah Polandia.
"Saya tak takut dengan mereka. Merekalah yang takut kepada saya," ujar Wojtyla, mengungkapkan perasaannya di bawah Pemerintahan Komunis.
Wojtyla membangun reputasinya sebagai seorang imam berpengaruh sekaligus sosok intelektual penuh kharisma. Meski sudah memiliki reputasi luar biasa, tetap saja saat Paus Yohanes Paulus I meninggal pada 1978 setelah 34 hari menjabat, tak banyak yang menyangka pria Polandia inilah yang akan duduk di Tahta Suci.
Kala itu, di umurnya yang ke-58, setelah tujuh putaran pemungutan suara, dewan konklaf akhirnya memilih Wojtyla sebagai Paus ke-264. Dia menjadi Paus pertama non-Italia dan yang termuda sejak 132 tahun terakhir. (*)