Kisah Mengerikan saat Tsunami Menerjang Pulau Jawa Akibat Letusan Krakatau 1883
berikut ini bisa menjadi gambaran betapa mengerikannya tsunami yang terjadi ketika Gunung Krakatau meletus.
Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan.
Waktu sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya beristirahat baru sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan.
Setelah duajam berjalan kami mencapai Desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.
Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai.
Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya menaksir korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan.
Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu atau selop.
Hujan batu apung membara dan abu panas
Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan residen. Termasuk Van Zuylen, klerk-griffier, pembantu Le Sueur, satu-satunya Belanda yang tewas.
Kampung-kampung pantai di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; hanya di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di de katnya 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan 244 orang.
Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.
"Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan dan kaki.
Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu."
Antara pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi halaman rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Bayerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Raja Basa.
Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul 11 malam hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala.
Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang. Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total.