Kisah Mengerikan saat Tsunami Menerjang Pulau Jawa Akibat Letusan Krakatau 1883
berikut ini bisa menjadi gambaran betapa mengerikannya tsunami yang terjadi ketika Gunung Krakatau meletus.
Van Zuylen dan saya segera keluar dan menasihati orang-orang itu agar berlindung saja di rumah saya, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut, sehingga semuanya tenang kembali.
Ketenangan itu tak berlangsung lama: sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka.
Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.
Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan.
Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.
Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap.
Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat.
Saya terjepit antara dua buah rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi.
Dengan demikian saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.

Kontrolir berteriak minta tolong
Akhirnya saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya.
Saya berjalan dalam keadaan kedinginan dan di bawah hujan lumpur, tetapi tak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu. Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak terjatuh bangun daripada berjalan.
Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: "Kita tak jauh dari sungai besar." Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Dengan demikian saya bertemu seorang jawa, seorang Palembang dan beberapa orang wanita jawa.
Tak lama kemudian kami melihat sebuah obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak: " Tolong! Tolong! Saya kontrolir!" Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali lagi kami melihat cahaya itu, yang kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah sekitar pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih tetap gelap gulita.