Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Hari HAM

Deretan Perempuan Hebat di Balik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada 1948

Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB) berkumpul di Paris, Perancis. Mereka saling tukar pikiran mengenai perkembangan hak asasi manusia.

Editor: Aldi Ponge
www.un.org
Angel Jurdak (Libanon), Fryderyka Kalinowski (Polandia), Bodgil Begtrup (Denmark), Minerva Bernadino (Dominika) dan Hansa Mehta (India) 

Dia adalah seorang diplomat dan pemimpin feminis dari Republik Dominika. Minerva Bernardino merupakan wanita yang gencar memperdebatkan dimasukkannya "persamaan laki-laki dan perempuan" dalam Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Bersama dengan perempuan Amerika Latin lainnya, yaitu Bertha Lutz dari Brasil dan Isabel de Vidal dari Uruguay, mereka memainkan peran penting dalam mengadvokasi inklusi hak-hak perempuan dan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dalam Piagam PBB.

4. Begum Shaista Ikramullah

Dia adalah delegasi Komite Ketiga Majelis Umum pada masalah sosial, kemanusiaan dan budaya. Pada tahun 1948, komite ini menghabiskan 81 pertemuan membahas rancangan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Begum Shaista Ikramullah dari Pakistan menganjurkan untuk penekanan pada kebebasan, kesetaraan dan pilihan dalam deklarasi.

Dia memperjuangkan masuknya Pasal 16, tentang hak-hak yang sama dalam pernikahan, yang ia lihat sebagai cara untuk memerangi pernikahan anak dan kawin paksa.

5. Bodil Begtrup

Dia adalah Ketua Sub-Komisi Status Perempuan pada tahun 1946, dan kemudian Komisi Status Perempuan pada 1947.

Bodil Begtrup yang berasal dari Denmark menganjurkan Deklarasi Universal HAM PBB untuk menyebut "semua" atau "semua orang" sebagai pemilik hak asasi.

Dia juga mengusulkan hak-hak minoritas dalam Pasal 26 tentang hak atas pendidikan, tetapi ide-idenya dianggap terlalu kontroversial saat itu.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tidak menyebutkan secara eksplisit hak-hak minoritas, tetapi menjamin hak yang sama bagi semua orang.

6. Marie-Helene Lefaucheux

Dia adalah Ketua Komisi Status Perempuan pada 1948. Marie-Hélène Lefaucheux dari Perancis berhasil mengadvokasi penyebutan non-diskriminasi berdasarkan jenis kelamin untuk dimasukkan dalam Pasal 2.

Dia memberikan gagasannya untuk memfokuskan pada kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini politik atau lainnya, asal kebangsaan atau sosial, properti, kelahiran atau status lainnya.

7. Evdokia Uralova

Sumber: Kompas.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved