Kisah Pemimpin Yahudi dan Toleransi di Sulawesi Utara
Yaakov Baruch pemimpin komunitas Yahudi Sulut bersyukur. Selama ini tak ada gangguan bagi komunitasnya untuk menjalankan keyakinan mer
Penulis: Finneke | Editor: Indry Panigoro
Seperti ajaran yang ia tanamkan ke Yaakov, hal yang sama juga berlaku untuk generasi selanjutnya, yakni dua cucunya. Anak Yaakov sekarang berumur tujuh dan empat tahun. Cucu pertama Toar sudah mulai mengerti, ia pun banyak bertanya soal agama pada kakek, nenek, serta ibu dan ayahnya.
“Saya sudah beberapa kali bertanya pada cucu saya soal agama. Saya sengaja menguji kepekaannya. Dan dia tak mau komen sama sekali soal agama. Dia sudah mulai mengerti. Kalau adiknya memang masih terlalu kecil,” ujarnya.
Di hari Sabtu anak-anak ini ikut ayahnya beribadah di sinagoga. Pada Minggu mereka ikut kakeknya di gereja. Mereka pun belajar Muslim dari mama dan nenek mereka. Selain ketiga agama ini, dua anak ini juga mendapat pengetahuan agama lainnya di Indonesia seperti Budha Hindu dan Konghucu. Namun keluarga ini tak mengenalkan secara mendalam seperti
tiga agama dalam keluarga.

“Dulu keluarga saya malah lebih beragam. Saya punya anak angkat, dia Katolik. Sekarang sudah Sarjana Hukum dan menikah. Waktu saya adopsi, dia dari keluarga tak mampu. Sementara itu, orang yang bantu-bantu di keluarga saya dari Advent,” kata Toar.
Dalam setahun ada tiga perayaan besar agama di keluarga ini. Mereka memang tinggal serumah, apalagi Yaakov memang anak tunggal dari istri pertama Toar. Saat Natal, sanak saudara dan kerabat datang mengunjungi Toar.
Saat Idul Fitri, mereka mengunjungi istrinya. Sementara untuk perayaan Yahudi berlangsung di sinagoga, sehingga tak ada perayaan di rumah tersebut. Silahturahmi keluarga Toar dan almarhum istrinya masih terjalin baik hingga kini. Lebaran tahun ini keluarga besar ini ramai-ramai mengunjungi keluarga almarhum istrinya di Kotamobagu.
“Selama ini keluarga saya bukan mencari publikasi. Hanya tahun 2010 lalu, New York Times pernah menulis kisah keluarga Yahudi di Indonesia. Untuk warga Indonesia dan Manado yang ada di sana, ini merupakan kejutan. Heboh dan bangga karena New York Times memuat kisah kami sebagai berita utama,” ujarnya sambil memperlihatkan lewat telepon genggamnya website New York Times yang memuat berita tersebut.
Bagi Toar kunci harmonisnya keluarga mereka adalah pemahaman untuk saling mengerti dan memahami perbedaan. Menurutnya butuh wawasan untuk memiliki cara pandang soal perbedaan, khususnya agama. Pemahaman itu kemudian menimbulkan kekuataan untuk menjalankan toleransi tak hanya di kulit luar.
Lingkungan keluarga Toar ini terdiri dari agama Samawi atau dikenal dengan sebutan agama langit. Agama ini memiliki definisi akan Tuhan yang jelas, punya penyampai risalah seperti nabi atau rasul dan mempunyai wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam kitab suci.
Kesamaan ini pun membuat Toar dan keluarganya tak sulit menemukan banyak titik temu. Keluarga ini memandang bahwa semua agama mengajarkan hal-hal baik. Mereka pun saling belajar memahami dan menghormati ajaran agama masing-masing. Tak hanya itu, mereka juga saling mengingatkan dan saling menegur satu dengan lainnya. Misalnya ketika ada konflik agama yang menjadi isu hangat.
Dalam suasana kekeluargaan, pertanyaan sering muncul, “Apa agama kamu memang mengajarkan itu?” Dengan gaya bercanda, namun tetap berisi pesan teguran dan mengingatkan. “Pertanyaan seperti itu akan ditanggapi berbeda jika disampaikan di luar suasana kekeluargaan. Karena kami sudah saling mengerti sehingga hal seperti itu sering dibawa bercanda,” katanya.
Keluarga Harmonis Berideologi Pancasila
Keluarga Toar Palilingan terkenal sebagai keluarga harmonis. Mereka bergaul baik di lingkungannya. Di mata kerabatnya, keluarga Toar Palilingan adalah keluarga yang benar-benar menerapkan prinsip ke-Indonesia-an.
Profesor Ferdinand Kerebungu, sosiolog asal Universitas Negeri Manado mengaku sejak pertama ia kenal dengan Toar Palilingan dan keluarganya, ia sudah tahu kalau mereka dari keluarga yang berbeda agama.
“Sebenarnya di Manado banyak yang berbeda agama, hanya saja keluarga Toar ini ada tiga agama. Keluarga mereka harmonis sejak dulu. Kalau misalnya tak akur, pas Toar tahu anaknya masuk Yahudi, dia bisa saja mengusir anaknya. Tapi sampai sekarang mereka aman-aman saja, tetap satu rumah,” ujarnya kepada Tribunmanado.co.id, Jumat (16/11).
Kerebungu menganalisa kunci sukses dari harmonisnya sebuah keluarga yakni bagaimana anggota keluarga saling memahami status, saling komunikasi dengan baik dan memahami keyakinan masing-masing. Jika hal ini sudah terjadi dalam keluarga, perbedaan tak akan jadi masalah.

“Keluarga Toar sudah melakukan itu. Dalam sebuah rumah tangga ada proses komunikasi dan saling mengerti,” ujarnya.
Permasalahan malah datang dari luar lingkungan keluarga. Masyarakat memandang kondisi keluarga yang berbeda agama dari kacamata pribadi, bukan dalam konteks ke-Indonesiaan.
Padahal banyak masyarakat yang menikah beda agama sudah berkomitmen sejak awal. “Beda halnya ketika hanya berpura-pura, awalnya ikut salah satu pihak, pada akhirnya kembali ke agama masing-masing,” jelasnya.
Psikolog Jansen Mawitjere mengatakan aturan main dalam keluarga diciptakan oleh suami dan istri, sebagai perpaduan dua insan. Pasangan ini kemudian menciptakan komitmen dan aturan-aturan yang berlangsung secara berkesinambungan pada turunan selanjutnya. Itu pula yang dilakukan oleh keluarga Toar Palilingan, yang menghidupkan Pancasila dalam keluarganya.
“Orangtua sebagai role model. Suami istri membentuk komitmen dengan penyatuan secara emosional. Proses perkembangan itu akan terlihat ketika hadir anak di tengah keluarga. Dalam proses perkembangannya bagaimana suami dan istri memberi dampak positif pada anak maupun lingkungan keluarga,” ujarnya.
Pancasila sebagai ideologi negara membebaskan warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing. Namun justru aturan lainnya tak membolehkan pernikahan beda agama.
Menurut Jansen ini membentuk standar ganda dalam aturan di Indonesia. Selain itu budaya di tengah masyarakat juga terbentuk dengan batasan-batasan ganda.
“Budaya yang berkembang adalah budaya yang tak taat Pancasila. Ada banyak standar ganda. Orangtua misalnya, selalu membatasi anak-anak agar jangan pindah keyakinan. Seakan-akan ketika pindah agama, selalu berdampak negatif. Selalu menekankan banyak konsekuensi negatif, ketika anak berusaha untuk berbeda. Padahal Undang-undang telah menjamin hak
untuk memeluk agama,” ujarnya.
Sifat anak umumnya mencerminkan kedua orangtuanya. Anak memasuki masa kritis pada awal duduk di Sekolah Menengah Atas. Sebagai anak, motivasi ini tak berdiri sendiri karena ada dorongan untuk berkembang. Apa yang diketahui anak akan menjadi bahan untuk mengkritisi situasi yang ada.
Baca: Mahasiswa Ini Pukul Polisi, Cekik Lalu Banting di Saluran Air
“Kemudian di tingkat kenyamanan, ketika memilih keyakinan karena ada proses rasa sayang. Secara dasar aturan, tak ada larangan untuk memeluk agama apapun, tapi budaya yang membentuk itu. Apapun agamamu, harus taat Pancasila sebagai ideologi negara,” jelasnya.
Toleransi Sebagai Jati Diri Bumi Nyiur Melambai
Sulawesi Utara atau dikenal dengan sebutan Bumi Nyiur Melambai adalah daerah yang menjunjung tinggi kerukunan dan toleransi antar umat beragama. Di saat ada daerah yang berkonflik karena perbedaan, Sulawesi Utara tetap kokoh mempertahankan kerukunan.
Toleransi sudah menjadi jati diri daerah terutara Indonesia ini. Ada berbagai kisah dan peristiwa yang menjadi bagian dari dinamika kehidupan warga Sulawesi Utara yang majemuk. Bukan berarti tak menemui ancaman perpecahan, namun eratnya toleransi dan kekeluargaan dapat meredam konflik.
Sulawesi Utara memiliki dua lembaga yang di dalamnya tergabung rohaniawan yang terus berupaya menciptakan suasana aman, rukun dan kondusif. Dua lembaga tersebut yakni Badan
Kerja Sama Antar Umat Beragama (BKSAUA) dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Pastor, gembala, pandita, imam dan para pemimpin umat beragama telah berperan besar dalam menciptakan suasana rukun dan damai.
Ketua Majelis Ulama Indonesia Sulawesi Utara KH Abdul Wahab Abdul Gofur mengagumi indahnya hidup rukun dan damai di Sulawesi Utara. Menurutnya masyarakat di Bumi Nyiur Melambai adalah masyarakat yang punya rasa persaudaraan tinggi, di tengah kehidupan yang majemuk. “Selama ini toleransi, kekeluargaan terjalin dengan baik,” ujarnya.
Masyarakat Sulawesi Utara menolak hal-hal yang bisa mengganggu kerukunan yang ada. Semisal penceramah yang intoleran. Penceramah yang datang ke Sulawesi Utara harus penceramah yang cinta dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Harus penceramah yang materinya mengandung persatuan dan kesatuan, NKRI harga mati. Dan yang pasti yang mendekatkan diri pada Allah. Semua agama jangan ada politik dalam dakwah," ujarnya.
Tokoh agama Muslim lainnya, Habib Ali Bin Smith mengaku sangat paham dengan falsafah orang Minahasa, yakni ‘Pakatuan Wo Pakalawiren”. Menurut Smith, toleransi antar umat beragama di Sulawesi Utara telah berlangsung lama. Ia mengumpamakan toleransi di Sulut bak air yang mengalir di lautan.
“Kita semua bersaudara, rukun dan damai,” kata Habib yang lahir di Tinoor, Kota Tomohon, saat berkunjung di Manado pertengahan Oktober 2018 lalu.
Perbedaan yang adalah keniscayaan akan menjadi runyam karena politik, demikian Toar Palilingan. Jika mengangkat simbol moral untuk hal positif, itu sah-sah saja. Namun jika memanfaatkan perbedaan untuk dipertentangkan, itu hal yang sangat keliru.
Baca: Papa Suka Nonton Bioskop, Marah Kalau Kami Malas, Sosok Olly Dondokambey di Mata Sang Anak
Bangsa Indonesia lahir melalui proses yang tak mudah. Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 lahir untuk menyatukan perbedaan, merekatkan keberagaman. Itu menjadi kekuatan besar untuk memersatukan Indonesia. Kekayaan Indonesia itu karunia, anugerah Tuhan untuk bangsa ini.
“Kalau hanya kepentingan sesaat mengorbankan karunia Tuhan, itu dosa. Dalam pembukaan UUD 1945 saja menuliskan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Itu begitu sempurna. Pendiri bangsa ini telah menetapkan fondasi itu, sangat disayangkan jika kita tak mampu menjaganya. Nilai keberagaman kita pada tahun 1945 tak berubah hingga sekarang. Nilai itu pula yang menangkal perpecahan yang harus kita pelihara,” jelas Toar.
Seperti Toar, Yaakov juga berpesan kepada semua warga Indonesia untuk terus menjaga kerukunan, saling menghargai perbedaan. Jangan biarkan politik memecah belahkan Indonesia yang memiliki fondasi kuat sebagai negara plural yang menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan. “Sebab jika negara ini hancur karena konflik agama, semua pasti akan dirugikan,” jelasnya.
(Tribunmanado.co.id/finneke wolajan)