Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Keluarga Kekaisaran Jepang Makin Menyusut, Putri Ayako Lepas Gelar Demi Menikahi Orang Biasa

Putri Ayako mengikuti jejak kakak perempuannya, Noriko yang memutuskan melepas gelar kerajaan setelah menikahi orang biasa pada 2014 lalu.

Editor: Siti Nurjanah
albawaba.com
Putri Ayako dari Kekaisaran Jepang 

TRIBUNMANADO.CO.ID - Pekan ini, satu lagi anggota keluarga kekaisaran Jepang melepas gelarnya.

Dikutip TribunTravel.com dari laman abc.net.au, Putri Ayako telah melepas gelar dan hak istimewanya sebagai anggota keluarga kerajaan.

Sebab, Putri Ayako akan menikah dengan kekasihnya yang berasal dari kalangan orang biasa.

Putri Ayako mengikuti jejak kakak perempuannya, Noriko yang memutuskan melepas gelar kerajaan setelah menikahi orang biasa pada 2014 lalu.

Kakak beradik ini akan segera disusul oleh Putri Mako yang juga akan menikahi orang biasa pada 2020.

Putri Ayako
Putri Ayako (albawaba.com)

Melepas gelar kerajaan demi menikah dengan kekasih pilihan yang berasal dari kalangan orang biasa memang terdengar romantis.

Namun, faktanya adalah putri-putri di kekaisaran Jepang memang tidak memiliki banyak pilihan.

Yakni, tidak adanya calon pelamar yang berasal dari kalangan sesama kerajaan, kecuali mereka menikahi seorang sanak saudara laki-laki yang juga sangat sedikit jumlahnya.

Sehingga menikahi orang biasa adalah satu-satunya pilihan mereka.

Baca: Berikut 5 Tips Aman Bagi Kamu yang Naik Pesawat Terbang untuk Pertama Kalinya

Baca: Berikut 4 Fakta Mengejutkan Negara Brasil yang Jarang Diketahui

Keluarga kekaisaran Jepang mungkin merupakan monarki tertua yang berkelanjutan dalam sejarah manusia, tetapi jumlahnya kini menyusut.

Bahkan kemungkinan kekaisaran Jepang menghadapi krisis suksesi dalam beberapa dekade mendatang jika ada lebih banyak putri lagi yang meninggalkan kerajaan.

Di bawah Imperial House Law, undang-undang yang diberlakukan pada 1947 selama pendudukan Amerika di Jepang setelah Perang Dunia II, para putri yang menikah dengan orang biasa harus melepas status kerajaan mereka.

Para putri yang melepas gelar kerajaan memang mendapat tunjangan.

Putri Ayako akan menerima 1,3 juta dolar AS, tetapi setelah itu, ia diharapkan untuk bisa menjaga diri sendiri.

Lauren Richardson, direktur studi Asia-Pacific College of Diplomacy di Australian National University, mengatakan undang-undang tersebut merupakan bagian dari upaya pemotongan biaya pasca-perang dengan tujuan untuk mengurangi jumlah anggota kekaisaran Jepang.

"Mereka tidak ingin keluarga kekaisaran Jepang berkembang terlalu besar, mereka tidak menginginkan biaya keuangan (yang tinggi), sehingga mereka membuat berbagai macam peraturan yang ketat," katanya.

"Dalam arti jenis peraturan semacam itu menjadi bumerang, sekarang kekaisaran Jepang punya masalah dengan jumlah keluarga kerajaan yang menyusut."

Adanya sejumlah kelompok atau geng besar pasca-perang juga secara dramatis 'memangkas' pohon keluarga kekaisaran Jepang.

Sebagian besar rumah-rumah bangsawan di Jepang juga sudah dibabat habis.

Hanya keluarga dekat Kaisar Hirohito dan saudara-saudaranya-lah yang diperbolehkan untuk tetap menjadi bangsawan.

Hal ini dapat berarti, sebenarnya tidak ada calon pelamar bergelar bangsawan untuk para putri Jepang.

Sehingga mereka dihadapkan dengan pilihan menikah dengan kerabat dalam keluarga kekaisaran, atau tidak menikah sama sekali, untuk tetap memegang gelar kerajaan.

"Ada pilihan yang membuat jumlah keluarga kekaisaran Jepangmenyusut, jadi itu menciptakan berbagai macam masalah."

"Mereka sebenarnya tidak punya banyak pilihan," kata Dr Richardson.

"Mungkin ada harapan bahwa mereka tidak akan menikah sampai ada beberapa pilihan [dalam keluarga kerajaan]."

Namun, hal ini tentu memakan waktu yang sangat lama.

Meski demikian, peraturan pernikahan ini tidak berlaku bagi pangeran mahkota.

Pangeran kekaisaran Jepang boleh menikahi siapapun yang mereka suka dan memberikan status kerajaan kepada sang istri.

Anak laki-laki yang berasal dari pernikahan tersebut, bukan anak perempuan, yang bisa masuk daftar urutan pewaris tahta kekaisaran Jepang.

Aturan suksesi ini pun menjamin keberlanjutan tahta kekaisaran Jepang di masa depan hanya jika anak yang lahir berjenis kelamin laki-laki.

(Courtessy Kementerian Luar Negeri Jepang via abc.net.au)

Namun, kekaisaran Jepang mengalami 'paceklik' keturunan laki-laki selama 41 tahun.

Antara 1965 dan 2006, tidak ada anak laki-laki yang dilahirkan dalam Keluarga Kekaisaran Jepang.

Artinya, ada banyak putri, tetapi tidak ada pangeran.

Dua dekade yang lalu, Pangeran Naruhito dan istrinya, Putri Masako mengalami kesulitan untuk mengandung seorang anak.

Sehingga suatu hari nanti, Putri Aiko bisa menjadi pemegang tampuk kerajaan.

Ide ini akhirnya mendapatkan dukungan dari Perdana Menteri Junichiro Koizumi.

Namun, akhirnya ide tersebut tak lagi berlanjut setelah kelahiran Pangeran Hisahito pada tahun 2006, keponakan Pangeran Naruhito.

(TribunTravel.com/Rizki A. Tiara)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved