PGI Protes RUU Atur Sekolah Minggu: Politisi PDIP Sulut Minta Masukan
Gereja tanggapi kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama jadi usul inisiatif DPR RI.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Gereja tanggapi kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Agama jadi usul inisiatif DPR RI. Politisi Senayan penyusun RUU dinilai tidak memahami konsep pendidikan Kristen yang sudah berlangsung lama.
“Kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja”.
Demikian satu poin dalam pernyataan resmi PGI yang dimuat di situs resmi, dikutip pada Rabu (24/10/2018). Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom dan Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow menyatakan pernyataan resmi PGI bisa dikutip.
Baca: PGI Soroti RUU Pesantren & Pendidikan Agama: Sekolah Minggu & Katekisasi Wajib Terdaftar di Kemenag
Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Utara, Vanda Sarundajang angkat bicara soal RUU Pesantren dan PK. Menurut anggota Komisi VI ini, RUU adalah usulan inisiatif DPR yang perlu dibahas lebih dalam lagi. Kata putri mantan Gubernur Sulut SH Sarundajang ini, (RUU) masih sangat jauh (dari selesai) karena harus melalui banyak tahapan.
“Sekarang masih diusulkan untuk membahas. Fraksi PDIP mendukung RUU insiatif dari teman-teman di DPR,” kata Vanda.
Namun dikatakan politikus PDIP ini, dalam tahapan pembahasan yang panjang nanti, akan berkembang pembahasan pasal-pasal di dalam RUU. Seperti pembahasan-pembahasan RUU umumnya di DPR RI ada fraksi yang setuju dan tidak, ada pro kontra, minta masukkan dan keluarkan pasal ini.

“Kami belum tahu hingga ke pasal-pasalnya, karena belum mulai pembahasan. Baru inisiatif tapi kondisi sekarang sudah ramai,” kata Anggota DPR RI dengan nomor anggota 224 ini.
Pihaknya juga akan membuka kesempatan lebar-lebar terhadap semua pihak jika nanti ada masukan dan tanggapan terhadap usulan baru ini. Kata dia, tentunya akan dikomunikasikan dan dibuka usulan dari berbagai pihak yang berhubungan dengan RUU ini.
“Ini dulu yang dapat kami jawab mengenai RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan,” tandas putri dari Duta Besar Indonesia di Negara Filipina, Republik Marshall dan Republik Palau ini.
Sekretaris Fraksi PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal menuturkan, politik alokasi anggaran terkait pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan akan menjadi salah satu poin yang diatur dalam RUU.
RUU itu ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 2018-2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/10/2018).
“Semua pimpinan fraksi sudah sepakat ini penting untuk dilanjutkan karena kepentingan yang sangat mendasar itu adalah politik alokasi anggaran. Ini harus jelas berpihak pada kesejahteraan rakyat,” ujar Cucun saat ditemui seusai Rapat Paripurna.
Menurut Cucun, selama ini pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan kurang diperhatikan dalam menjalankan kegiatan, khususnya mengenai alokasi anggaran. Pasalnya, anggaran bagi pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan lainnya tidak terakomodasi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Sementara ia menilai keberadaan para guru agama di pesantren dan lembaga pendidikan agama lain tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan nasional. “Intinya karena eksistensi para guru ngaji, pesantren atau pendidikan keagamaan lain selama ini anggaran pendidikan di UU sisdiknas belum secara detail terakomodasi,” kata Cucun.
“Makanya mudah-mudahan dengan lahirnya UU tersebut bisa memayungi dan mawadahi semua kepentingan yang ada,” ucapnya. Terkait mekanisme anggaran, lanjut Cucun, akan dibahas dua bentuk penganggaran yang dapat digunakan.
Pertama, anggaran untuk pesantren dan lembaga pendidikan agama lainnya dimasukkan dalam anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total APBN sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Kedua, melalui alokasi anggaran lain yang disalurkan melalui pemerintah daerah. Mengingat, keberadaan pesantren dan lembaga pendidikan agama berada dalam kewenangan Kementerian Agama.
“Nanti mekanismenya bisa masuk dalam anggaran pendidikan yang amanat UUD hasil amandemen yang 20 persen itu atau melalui alokasi anggaran lain. Pemerintah daerah juga punya kekuatan kalau didukung dari APBN,” ujar Cucun.

Keberatan Pasal 69-70
PGI menyoroti Pasal 69 dan 70 pada RUU Pesantren dan Pendidikan Agama. RUU itu tidak hanya mengatur pesantren dan madrasah, tapi juga mengatur konsep pendidikan agama di luar Islam. Pada dua pasal yang membahas pendidikan umat Kristen, PGI memberikan catatan.
Berikut pernyataan lengkap PGI menanggapi RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan:
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) pada Rapat Paripurna, 16 Oktober 2018, telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebagai usul inisiatif DPR RI dan akan segera menjadi pembahasan dalam proses legislasi nasional.
Setelah mengamati isinya, RUU tersebut tidak hanya mengatur tentang pesantren dan madrasah namun juga mengatur pendidikan keagamaan bagi agama-agama lain di luar Islam. Menyikapi hal tersebut, PGI menyampaikan beberapa hal:
1. PGI menilai bahwa pendidikan keagamaan formal seperti pesantren, madrasah, sekolah teologi dan sejenisnya sebagai bagian dari pendidikan nasional telah memiliki kontribusi besar dalam membentuk karakter bangsa. PGI juga menilai bahwa selama ini pengembangan institusi pendidikan berbasis agama tersebut kurang mendapat dukungan dari negara. Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan di dunia pendidikan di mana pendidikan formal lainnya mendapat dukungan penuh dari negara. Olehnya PGI memahami perlunya UU yang menjadi payung hukum bagi negara dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada pesantren dan pendidikan keagamaan lain yang formal.
2. Namun kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja. Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja.
3. Dengan melihat syarat pendirian pendidikan keagamaan dengan memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 (lima belas) orang serta harus mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama Kabupaten/Kota maka hal tersebut tidak sesuai dengan model pendidikan anak dan remaja gereja-gereja di Indonesia, sebagaimana kandungan RUU yang hendak menyetarakan Sekolah Minggu dan Katekisasi dengan model pendidikan pesantren. Sejatinya, Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi merupakan bagian hakiki dari peribadahan gereja, yang tidak dapat dibatasi oleh jumlah peserta, serta mestinya tidak membutuhkan izin karena merupakan bentuk peribadahan.
4. Penyusunan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan adalah kecenderungan membirokrasikan pendidikan nonformal khususnya bagi pelayanan anak-anak dan remaja yang sudah dilakukan sejak lama oleh gereja-gereja di Indonesia. Kecenderungan ini dikhawatirkan beralih pada model intervensi negara pada agama.
5. PGI mendukung Rancangan Undang-Undang Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ini menjadi undang-undang sejauh hanya mengatur kepentingan Pendidikan formal dan tidak memasukkan pengaturan model pelayanan pendidikan nonformal gereja-gereja di Indonesia seperti pelayanan kategorial anak dan remaja menjadi bagian dari RUU tersebut.
Anak Beribadah di Hari Minggu
Sekolah Minggu tidak seperti layaknya sekolah formal lainnya seperti SD hingga perguruan tinggi. Kegiatan Sekolah Minggu sesungguhnya adalah ibadah dari anak-anak.
Penatua Jeane Wanta, Ketua Komisi Pelayanan Anak Wilayah Lembean Kombi mengatakan, untuk kegiatan rutin ASM GMIM, yaitu ibadah hari Minggu. Ada juga ibadah pondok gembira, Paskah, Natal,bulan peduli anak, Hari Anak GMIM, Hari Doa Sedunia Anak, Hari Doa Alkitab baik tingkat jemaat, wilayah maupun sinode.
“Kegiatan pelayanan ini bertujuan untuk membentuk karakter iman anak tersebut menjadi anak masa depan gereja,” kata Wanta.
Joudi R Polii dari Komisi Anak PP KGPM yang juga Wakil Ketua PMS Solagratia Kiawa mengatakan, kegiatan rutin ibadah Rabu gembira, ibadah Minggu pagi, bible game. Kegiatan dilakukan Rabu dan Minggu.
“Kegiatan lain yang dilakukan adalah ibadah padang atau tamasya,” ujar dia. Kegiatan ini ada penilaiannya. Tujuan kegiatan anak Sekolah Minggu ini adalah untuk membentuk spiritual mereka agar menjadi anak-anak yang cinta Tuhan Yesus, cinta gereja, cinta sesama dan cinta Tanah Air. (tribun/crz/kps/chi)