Tak Ingin Patok Harga: Ekonomi Palu Bergeliat di Bawah Penjagaan TNI
Pasar Manonda di Palu, Sulawesi Tengah, mulai bergeliat pada Minggu (7/10) siang atau pasca-delapan hari gempa 7,4 Skala Richter
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, PALU - Pasar Manonda di Palu, Sulawesi Tengah, mulai bergeliat pada Minggu (7/10) siang atau pasca-delapan hari gempa 7,4 Skala Richter dan tsunami menghantam kota tersebut.
Pasangan suami istri, Bibit (75) dan Ponisah (63) mulai kembali ke lapaknya menjajakan sayur-mayur.
Di tengah kondisi masyarakat sesama korban bencana dengan dampak kehancuran di sejumlah sudut kota, Bibit dan Ponisah tak ingin berpikir mencari keuntungan.
Saat menjajakan dagangannya, pasangan itu tidak tampak mematok harga sayur yang dijualnya. Keduanya menawarkan harga berapapun untuk dibeli.
"Silakan bu, sawinya," ucap Ponisah kepada calon pembelinya di Pasar Manonda.
"Berapa?" tanya si pembeli. "Terserah, mau dibayar berapa saja silakan satu bonggolnya," jawab Ponisah.
Satu bonggol yang dimaksud Ponisah, yakni sepuluh ikat Sawi dengan satu ikatnya terdiri dari lima Sawi. Sayuran itu dipetik langsung di lahan pertanian sewaan yang berada di belakang rumah mereka.
Saat berbincang dengan Tribun, Ponisah mengaku menjual sebonggol sawi tersebut dengan harga Rp 15 ribu hingga Rp 23 ribu. Namun, hal itu tidak berlaku untuk kondisi saat ini.
Keduanya mengaku kembali berjualan dengan memberikan harga sesuai dengan kantong pembeli, tidak lain hanya ingin membantu para korban bencana.
Terlebih, sudah sepekan, masih jarang penjual berani menjajakan dagangannya. Padahal, kebutuhan untuk bahan makanan sudah hampir menipis di pengungsian.
"Mereka ada yang korban langsung, ada yang bukan. Jadi, saya mau berjualan lagi karena bahan makanan kan sudah berkurang. Ini pun kalau mau dibeli, ya seikhlasnya saja, enggak patok harga," kata Ponisah.

Bibit yang menemani istrinya berjualan menambahkan, mereka juga sempat menjadi korban gempa di Yogyakarta pada 2006 lalu.
Atas pengalaman itu, keduanya merasakan getir dan pahitnya kondisi para korban gempa dan tsunami di Palu dan sekitarnya. "Jadi, tahu lah seperti apa perasaan mereka saat ini," ucap Bibit.
"Mereka sebenarnya punya uang, tapi tidak tahu mau dikemanakan? Mau beli apa juga tidak tahu, soalnya belum ada yang jualan juga," lanjutnya.
Kejadian gempa di Palu juga meruntuhkan sebagian atap rumah mereka. Namun, bagi pasangan yang dikaruniai tiga orang anak itu, hal itu tidak terlalu masalah.
Sebab, bagi mereka, selama masih bisa ditinggali, hal itu sudah menjadi hal yang patut disyukuri jika melihat ribuan rumah warga lainnya yang roboh dan rata dengan tanah akibat gempa dan tsunami.
"Enggak apa-apa. Masih bisa ditempati. Awalnya memang ambruk bagian belakang saja. Lima hari diberesi, sekarang sudah bisa masuk lagi, sudah bisa jualan lagi," imbuh Bibit.
Pasar Bergeliat di Bawah Penjagaan TNI
Tidak hanya Bibit dan Ponisah yang berjualan di Pasar Manonda, Palu, Sulteng. Beberapa pedagang lain juga sudah membuka kios dan lapak dagangannya. Tampak geliat ekonomi berangsur membaik setelah lebih seminggu bencana gempa dan tsunami menerjang Palu dan Donggala.
Bahkan, pasar semakin ramai jelang sore hari. Penjual bahan makanan, pakaian dan penganan kecil lain juga sudah mulai menjajakan dagangannya.
Tidak hanya para pedagang yang terlihat di pasar itu. Puluhan anggota TNI juga tampak di beberapa sudut pasar untuk menjaga kegiatan jual beli warga. Tampak beberapa anggota TNI tersebut bersenjata lengkap dan berdiri di sekitar toko-toko yang sedang ramai pembeli.
Pedagang lain menjelaskan, banyak dari mereka yang sudah berani berjualan karena pihak TNI menjamin keamanan dan kenyamanan saat bertransaksi antar penjual dan pembeli.
"Kalau sekarang, sudah berani. Kalau kemarin-kemarin kami masih takut. Apalagi ada kabar penjarahan kemarin kan. Sekarang sih sudah tidak masalah," ungkap si penjual bawang merah itu. (tribun network/ryo/coz)