Kisah Anak-anak Pengungsi Afganistan Sekolah di Manado, Ali Belajar Bahasa Indonesia Lewat Handphone
Di Indonesia ada sekitar 14 ribu pengungsi dari negara konflik di Timur Tengah, maupun di negara Asia lainnya.
Penulis: Finneke | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Di Indonesia ada sekitar 14 ribu pengungsi dari negara konflik di Timur Tengah, maupun di negara Asia lainnya.
Para pencari suaka ini ditampung di Rumah Detensi Imigran (Rudenim) di sejumlah lokasi.
Sulawesi Utara (Sulut) satu di antara daerah yang memiliki Rudenim.
Beberapa anak imigran ini telah mengenyam pendidikan di Manado.
Seperti Ali Agha Haidari (16), asal Afganistan.
Ali sekarang sekolah di SMA Katolik Rex Mundi Manado, duduk di kelas X.
Ia baru tujuh bulan berada di Manado, setelah 20 hari perjalanan dari Afganistan.
Ia ke sini bersama ibu dan empat adiknya, sementara ayahnya sudah 3,5 tahun tinggal di Manado.
Ali bisa berbahasa Indonesia meski tak terlalu lancar.
Lawan bicaranya harus menyebutkan kata per kata dengan jelas, baru Ali bisa mengerti.
Bahkan ada beberapa dialek Manado yang keluar dari mulutnya.
Ali mengaku kesulitan berbahasa saat di sekolah.
Namun ia berupaya belajar Bahasa Indonesia.
"Saya baru tiga bulan belajar Bahasa Indonesia pakai kamus di handphone," ujarnya saat ditemui pekan lalu.
Ali mengaku enak tinggal di Manado.
Jauh lebih baik dari Afganistan.
Orang-orang di sini menurutnya baik.
Ia dan keluarganya bisa menjalankan hidup jauh jauh lebih baik dari negara asalnya.
Selain Ali, ada pula Khatira Rezaie (18) asal Afganistan.
Ia sekolah di SMA Katholik Rex Mundi Manado juga.
Adiknya Tamana Rezaie (13) sekolah di SMP Pax Christie Manado.
Khatira dan adik serta ibunya datang di Manado empat tahun lalu.
Ayahnya sudah delapan tahun di Manado.
Saat ini Khatira duduk di Kelas XII IPA.
Di sekolah Khatira mengalami kendala bahasa, seperti Ali.
Namun Khatira bersyukur guru-guru mau membantunya dengan sabar.
Begitu pula teman-teman kelasnya yang juga membantunya.
Ali dan Khatira mengaku tak tahu sampai kapan mereka tinggal di Indonesia.
Mereka berharap ada negara ketiga yang bisa menerima mereka untuk menetap dan mendapat kewarganegaraan.
Anak-anak pengungsi ini ada di bawah bimbingan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia, yayasan Katolik yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap pengungsi.
Di Sulut JRS sudah ada sejak 2016 dan melayani di Rudenim Malendeng.
Program yayasan ini yakni melakukan kunjungan rutin, mendengarkan keluh kesah pengungsi, menjadi teman untuk berbagi.
JRS juga melayani melalui pendidikan kelas Bahasa Inggris serta melatih ketrampilan pengungsi.
Selanjutnya melalukan advokasi, khususnya dalam proses mendapatkan tempat di negara ketiga. (Tribun Manado/Finneke Wolajan)