Oto Transindo Siap IPO hingga Rekor Buruk Rupiah Sejak 1998
Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terus kedatangan calon emiten baru. Di antaranya ada PT Urban Jakarta Propertindo
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Bursa Efek Indonesia (BEI) masih terus kedatangan calon emiten baru. Di antaranya ada PT Urban Jakarta Propertindo dan PT Oto Transindo.
Urban Jakarta Propertindo berencana go public pada akhir tahun ini. Menurut Direktur Pengembangan Usaha dan Corporate Secretary Urban Jakarta Tri Rachman Batara, saat ini pihaknya masih menyiapkan semua persyaratan.
"Diharapkan semua dokumen dapat diserahkan ke OJK awal September dan kami harap bisa listing di BEI awal Desember," kata Batara, Jumat (31/8).
Perusahaan ini telah menunjuk RHB Sekuritas sebagai underwriter. Rencananya, perusahaan properti ini akan melepas 20% saham ke publik.
Namun, Batara belum bisa membeberkan lebih detail rencana initial public offering (IPO) ini. "Kami baru bisa umumkan jika semua proses audit dan legal beres," kata Batara.
Melalui aksi IPO ini, perusahaan berharap akan mampu mendapatkan dana segar berkisar antara Rp 500 miliar hingga Rp 1 triliun.
Dana IPO akan sepenuhnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek perusahaan ini, termasuk untuk akuisisi landbank.
Saat ini Urban Jakarta telah memulai pembangunan fisik proyek yang bernama Urban Sky di Cikunir, Bekasi. Proyek senilai Rp 1,3 triliun tersebut diharapkan selesai dalam waktu kurang dari dua tahun.
Batara menjelaskan, Urban Sky Cikunir ini akan terdiri dari dua tower besar, terdiri dari 3.300 unit apartemen dan 4.600 meter persegi (m2) area komersial serta area publik, termasuk sarana olah raga. Proyek ini dibangun di atas lahan seluas 12.650 m2.
Proses IPO Oto Transindo juga masih bergulir. Perusahaan yang bergerak di bidang penyewaan kendaraan roda empat ini rencananya masuk bursa menggunakan laporan keuangan audit Mei 2018. "Kami berencana IPO targetnya di Oktober dan November," ujar Franky Tjokrosaputro, Direktur Utama Oto Transindo, saat ditemui di BEI, Jumat (31/8).
Untuk diketahui, Oto Transindo merupakan perusahaan keluarga milik Franky. Franky Tjokrosaputro sendiri merupakan saudara kandung dari Benny Tjokrosaputro.
Franky masih enggan membeberkan detail besaran saham yang akan dilepas dalam penawaran saham perdana tersebut. "Yang pasti di atas batas minimal BEI," tutur dia.
Dana hasil IPO ini nanti akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. Oto Transindo berniat meningkatkan modal kerja untuk menggenjot bisnis.
"Prospek industri transportasi masih sangat besar, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sangat banyak," tutur Franky.
Sekadar info, Oto Transindo terutama melayani konsumer korporasi. Pasar terbesar perusahaan ini masih di Jakarta. Perusahaan ini juga mulai merambah Sumatra.
Rupiah Cetak Rekor Terburuk Sejak 1998
Kurs rupiah kian gawat. Di pengujung pekan ini, kurs rupiah di pasar spot Indonesia ditutup di Rp 14.710 per dollar Amerika Serikat (AS). Ini rekor posisi penutupan terburuk dua dekade terakhir.
Sebelumnya, rupiah sebenarnya sempat mencapai level Rp 14.840 per dollar AS. Di pasar spot internasional, per pukul 22.00 WIB, rupiah sempat kembali ke Rp 14.651 per dollar AS.
Selain rupiah, yield surat utang negara (SUN) FR064 pun kembali melesat. Sepanjang pekan ini, yield FR064 berkisar 7,8%-7,9%. Namun kemarin, yield SUN seri acuan melesat ke level 8,157%.
Ekonom Pemeringkat Efek Indonesia Fikri C. Permana menilai, rupiah tertekan setelah Presiden AS Donald Trump setuju kembali menerapkan tarif US$ 200 miliar terhadap barang impor asal China.
Kurs rupiah juga terkena sentimen negatif pelemahan sejumlah mata uang negara emerging market, seperti rupee India.
Chief Economist Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro menambahkan, tingkat sensibilitas rupiah masih cukup tinggi. Mengingat porsi investor asing di pasar keuangan dalam negeri, baik saham maupun obligasi, tergolong jumbo.
"Apalagi posisi Indonesia kurang menguntungkan setelah current account defisit dalam negeri lebih tinggi dari perkiraan," kata dia.
Tarik devisa
Namun, Ekonom Bank Permata Josua Pardede masih optimistis rupiah dapat bertahan. Mengingat secara fundamental, ekonomi Indonesia sebenarnya masih ciamik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif. Tingkat inflasi juga masih terjaga.
Untuk mencegah nilai tukar rupiah terus merosot, Josua menilai idealnya pemerintah lebih giat menarik devisa. Ini bisa dilakukan antara lain dengan mendorong sektor pariwisata.
"Seperti yang dilakukan Thailand, meski negara kecil namun transaksi mereka surplus karena mereka cukup kuat di sektor pariwisata," terang dia.
Asing Mulai Beli,
Meski Masih Hati-Hati
Bursa saham dalam negeri memang diserbu sentimen negatif belakangan ini. Meski begitu, investor asing tidak semuanya benar-benar menjauh. Mereka justru masih melakukan aksi borong saham.
Sepekan terakhir, investor asing tercatat membukukan posisi beli bersih (net buy) Rp 1,01 triliun. Memang, pada perdagangan Rabu (29/8) asing sempat mencatat jual bersih (net sell) Rp 480,67 miliar. Kemarin, asing kembali net sell Rp 434,74 miliar.
Analis Binaartha Sekuritas Muhammad Nafan Aji Gusta Utama menilai, para pelaku pasar melihat fundamental makroekonomi dalam negeri masih cenderung stabil. "Meski memang stabilitas ini berada di tengah-tengah sentimen negatif yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi global," kata Nafan, Jumat (31/8).
Saham PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) menjadi saham favorit para pemodal asing. Selama sepekan terakhir, investor asing membukukan beli bersih sebesar Rp 634 miliar di saham perusahaan halo-halo ini.
Di urutan kedua ada saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA). Saham bank ini mencatatkan net buy asing Rp 469,1 miliar.
Saham PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) juga masih terus jadi target beli para investor asing. Selama sepekan terakhir, asing membukukan beli bersih sebesar
Rp 297,7 miliar.
Nafan mengatakan, para pelaku pasar global menilai, dalam jangka panjang kinerja emiten-emiten tersebut memiliki potensi untuk terus bertumbuh. Karena itu, saham-saham tersebut jadi buruan asing.
Harga saham emiten-emiten tersebut juga terdorong naik akibat aksi beli pemodal asing. Saham TLKM misalnya, mencatat kenaikan 6,08% selama sepekan.
Analis Semesta Indovest Aditya Perdana Putra menilai, wajar jika investor asing masih berburu di bursa. Sebab, posisi indeks memang cukup menarik. Akibat koreksi beberapa waktu yang lalu, valuasi saham jadi cukup murah. Investor asing pun kembali melakukan rebalancing portofolio. Apalagi, dana asing sudah keluar cukup banyak selama setahun terakhir.
Jangan gegabah
Meski tampak minat investor asing cukup bagus sepekan terakhir, Aditya menilai aksi beli asing hanya bersifat sementara. Investor asing masih terus mencermati sentimen luar negeri.
Sentimen pelemahan mata uang sejumlah negara emerging market juga masih berpotensi menekan indeks saham.
Aditya juga menilai kondisi makroekonomi dalam negeri saat ini memang membuat investor asing masuk. Namun investor asing belum berani jor-joran.
"Kondisi saat ini belum terlalu bagus sehingga asing masih melakukan aksi tunggu," jelas dia.
Ia menyarankan agar investor lokal tidak serta merta mengikuti apa yang dilakukan investor asing.
Langkah terbaik yang harus diambil oleh investor lokal adalah melakukan riset terhadap saham-saham yang dibeli oleh investor asing.
Nafan juga menyarankan investor lokal tidak sembarang mengekor investor asing dan tetap mencermati kinerja fundamental emiten serta prospek masa depan emiten tersebut. Investor sebaiknya memilih saham yang memiliki valuasi murah, serta rajin membagikan dividen.
Beberapa saham menjadi rekomendasi Nafan antara lain BBTN, dengan target harga jangka menengah dan jangka panjang secara bertahap di level Rp 3.350 dan Rp 3.500 per saham.
Selain itu, Nafan juga merekomendasikan WSKT, dengan target harga jangka menengah di level Rp 2.350 per saham. Sementara, Aditya merekomendasikan saham PGAS, LPPF, INKP dan EXCL. (Elisabet Lisa Listiani/Michelle Clysia Sabandar/Anna Suci Perwitasari/Krisantus de Rosari/Yoliawan H)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/manado/foto/bank/originals/rupiah_20180813_021010.jpg)