Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Pabrik Patungan TPIA Mulai Produksi Akhir Agustus 2018

PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) telah merampungkan pabrik PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI).

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
kontan
Pergerakan indeks harga saham gabungan 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) telah merampungkan pabrik PT Synthetic Rubber Indonesia (SRI). Pabrik yang memproduksi bahan baku ban ramah lingkungan ini hasil patungan dengan Michelin.
Pabrik yang berlokasi di Banten ini menghabiskan investasi senilai US$ 435 juta. Komposisi pemegang saham usaha patungan ini yaitu TPIA 45% dan Michelin 55%.

Pabrik SRI akan memproduksi karet polibutadiena dengan katalis neodymium dan karet stirena butadiena atawa styrene butadiene rubber (SBR). Keduanya adalah material untuk memproduksi ban ramah lingkungan.
Produksi tahunan pabrik ini ditargetkan mencapai 120.000 ton. Produksi akan dimulai pada akhir Agustus, dengan batch pertama dikirimkan ke Michelin untuk proses produksi selanjutnya.

Head of Investor Relation TPIA Harry Muhammad Tamin menyebut, SRI merupakan investasi jangka panjang. Kontribusi dari usaha patungan ini tidak akan langsung berdampak pada kinerja perusahaan. "Tapi, hasilnya tidak masuk dalam pendapatan konsolidasi. Melainkan, mendapat kontribusi bottom line dalam bentuk dividen," papar Harry, Senin (20/8).

Lanjut Harry, yang terpenting, pabrik baru ini memperkuat integrasi bisnis TPIA secara vertikal. Sebab, bahan baku pabrik SRI akan disuplai dari hasil produksi pabrik butadiena milik anak usaha TPIA, yaitu Petrokimia Butadiene Indonesia. "Produk butadiena kini punya pembeli tetap. 100% produksi butadiena TPIA disuplai ke pabrik SRI," tutur Harry.

Sejak Juni lalu, kapasitas produksi butadiena TPIA mencapai 137.000 ton per tahun. Jumlah ini naik dari 100.000 ton per tahun.
Menurut Harry, TPIA masih berencana membuka usaha patungan dengan mitra lain di bisnis hulu dan hilir, seperti yang dilakukan dengan Michelin. "Intinya diferensiasi produk dan pengembangan kapasitas produksi," ujar dia.

Hingga kuartal I-2018, penjualan TPIA mencapai US$ 691,29 juta, naik 9,88% year on year. Penjualan lokal menyumbang US$ 514,86 juta dan ekspor US$ 176,43 juta. Penjualan butadiena mencapai US$ 42,16 juta.

Pemerintah Cari Pendanaan dari Ritel

Pemerintah gencar melakukan pendalaman pasar dengan menerbitkan berbagai instrumen surat utang bagi investor ritel. Ini dinilai sebagai upaya jangka panjang pemerintah dalam memperbesar porsi kepemilikan investor domestik, khususnya ritel, di surat berharga negara (SBN).

Setelah resmi menjajakan saving bond ritel seri 4 (SBR004), pemerintah siap menerbitkan dua instrumen serupa bagi investor ritel. Keduanya akan diluncurkan di sisa tahun ini.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, setelah masa penawaran SBR004 berakhir pada 13 September, pemerintah bakal menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) seri 15 pada Oktober mendatang.

Walau sama-sama diperuntukan bagi investor ritel, SBR dan ORI memiliki karakteristik dasar yang berbeda. Di antaranya, investor dapat memperdagangkan ORI di pasar sekunder.

Setelah ORI015 meluncur, pemerintah juga berniat menerbitkan Sukuk Tabungan seri 2 (ST002) pada bulan November mendatang. Instrumen ini merupakan surat utang negara berbasis syariah yang ditujukan untuk investor ritel. Seperti halnya SBR004, ST002 juga tidak diperdagangkan di pasar sekunder.

Walau sudah mematok waktu penerbitan, pemerintah masih enggan menyebut target indikatif yang dipatok untuk penerbitan ORI dan sukuk tabungan tersebut. Namun, Luky mengamini pemerintah tidak menutup kemungkinan kedua instrumen tersebut juga akan ditawarkan secara online. "Sekarang masih dikaji dan kami juga masih melihat bagaimana minat masyarakat," ujar dia, Senin (20/8).

Terlepas dari itu, kehadiran ORI15 dan ST002 akan memperkaya pilihan instrumen bagi investor ritel. Ditambah lagi, pemerintah juga masih membutuhkan dana demi memenuhi target penerbitan SBN di tahun ini yang mencapai
Rp 822,26 triliun. "Saat ini realisasi penerbitan SBN ada di kisaran 60%," imbuh Luky.

Jangka panjang

Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mengungkapkan, dampak penerbitan instrumen surat utang ritel yang masif di tahun ini tidak bisa dirasakan dalam waktu pendek. Sebab, dari sisi nilai kepemilikan, jumlah dana investor ritel di SBN memang masih mini.

Data DJPPR mencatat, porsi kepemilikan investor ritel atau individu di SBN hanya 2,83%. Nilainya Rp 63,67 triliun per 16 Agustus lalu.

Karena itu, Made melihat, penerbitan instrumen ini condong sebagai langkah jangka panjang pemerintah dalam memperkuat basis investor domestik, khususnya ritel. "Dari sini terlihat pemerintah lebih mengincar bertambahnya jumlah investor ketimbang dananya," papar dia.

Jika akhirnya jumlah investor ritel terus bertambah, pemerintah bisa memperbanyak frekuensi penerbitan surat utang berbasis ritel pada tahun-tahun mendatang.

Walau sifatnya saling melengkapi, dari sederet instrumen surat utang berbasis ritel yang tersedia, SBR dan Sukuk Tabungan dinilai Made paling bisa dimaksimalkan untuk menggenjot pertumbuhan investor ritel. Pasalnya, kedua instrumen tersebut memiliki karakteristik serupa, yakni tidak diperdagangkan di pasar sekunder.

Alhasil, instrumen ini benar-benar dimiliki oleh investor ritel domestik. Investor institusi masih bisa masuk ORI lewat pasar sekunder.

Pergerakan IHSG
Pergerakan IHSG (kontan)

Investor Institusi Masih Kuasai ETF

Fluktuasi pada pasar keuangan dalam negeri tak membuat reksadana Exchange Traded Fund (ETF) sepi peminat. Bahkan, penerbitan produk baru jenis reksadana yang satu ini makin marak. Dana kelolaannya pun terus meningkat.

Berdasarkan data Infovesta Utama, dana kelolaan ETF mencapai Rp 10,28 triliun per Juli 2018. Angka ini tumbuh
Rp 436 miliar dibanding bulan sebelumnya. Sementara sejak awal tahun, dana kelolaan ETF sudah naik Rp 2,2 triliun.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, memang di Juli lalu dana kelolaan ETF kembali tumbuh. Sebelumnya, di Maret hingga Juni, dana kelolaan turun.

Hal ini juga sejalan dengan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menguat 2,37% pada bulan ke tujuh tersebut. "Portofolio reksadana ETF mengikuti indeks tertentu dan di Juli mayoritas indeks menguat, jadi dana kelolaan ETF naik," kata Wawan, Senin (20/8).

Sejalan dengan dana kelolaan yang menggendut, unit penyertaan di reksadana ETF juga cenderung naik. "Sebenarnya, sejak Maret hingga Juni, unit penyertaan naik, artinya investor terus melakukan aksi beli," jelas Wawan.
Selain bertambahnya dana kelolaan ETF, produk reksadana ETF pun semakin banyak. Kini, terdapat 18 produk reksadana ETF yang berbasis saham plus dua reksadana ETF yang berbasis obligasi.

Wawan memperkirakan, ke depan jumlah reksadana ETF akan terus bertambah. Apalagi manajer investasi melihat market share dari reksadana ini cukup besar. Investor institusi masih jadi target utama.
Namun, CEO Pinnacle Investment Guntur Putra menilai pasar ETF saat ini masih dalam tahap early stage atawa infant stage.

"Sudah mulai mengalami pertumbuhan dan perkembangan, walaupun masih jauh bila dikatakan pesat," tutur dia.
Keberhasilan sosialisasi dan edukasi yang dilakukan para manajer investasi yang memiliki produk ETF sudah terlihat pada investor institusi. Alhasil, porsi investor institusi pada jenis reksadana ini cukup besar.

Di sisi lain, Guntur juga optimistis dana kelolaan serta jumlah reksadana ETF yang beredar di pasar bisa tumbuh dua digit akhir tahun ini. Katalis positifnya tentu dari investor yang mulai menyadari keunggulan ETF dibandingkan reksadana konvensional. "ETF dilihat sebagai alat investasi yang sangat efisien dan praktis digunakan, baik secara taktik maupun strategi," terang Guntur.  (Danielisa Putriadita/Dimas Andi Shadewo/Yoliawan Hariana)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved