Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

DPR dan Pemerintah Sepakati Definisi Terorisme

Kesepakatan definisi terorisme dicapai oleh seluruh fraksi di DPR dan pemerintah dalam pandangan mini fraksi pada Rapat Panitia Khusus (Pansus)

Editor: Lodie_Tombeg
Kompas.com
Rapat di DPR RI 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Kesepakatan definisi terorisme dicapai oleh seluruh fraksi di DPR dan pemerintah dalam pandangan mini fraksi pada Rapat Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Dalam pandangannya, semua fraksi memilih opsi kedua terkait definisi terorisme.

Di opsi kedua terorisme diartikan perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Bahkan, PDI-P dan PKB yang awalnya memilih opsi pertama tanpa mencantumkan frasa motif politik dan ideologi pada akhirnya memilih opsi kedua tersebut.

"Definisi memang tidak kami sampaikan. Keputusan definisi fraksi kami mempertimbangkan upaya terpadu dan sistemik dan berdampak masif. Kami mengambil alternatif dua," kata anggota Pansus dari Fraksi PDI-P Risa Mariska dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/5/2018).

Hal senada disampaikan anggota Pansus dari Fraksi PKB Muhammad Toha. Ia mengatakan awalnya Fraksi PKB cenderung memilih opsi pertama.

Namun, sebagai bentuk musyawarah dan mufakat, ia mengatakan PKB memilih opsi kedua.

"Karena hari ini berdasarkan musyawarah mufakat, lebih banyak di alternatif dua. Meskipun kami tetap berpandangan di alternatif satu tapi sebagai wujud musyawarah mufakat maka kami pun akhirnya di alternatif dua," ucap Toha.

Setelah semua fraksi sepakat memilih opsi kedua, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun menyatakan pilihannya pada opsi kedua.

"Kami dari pemerintah dengan senang hati dan menyambut gembira demi kebersamaan kita agar undang-undang dapat terselesaikan dengan baik, pemerintah juga menyetujui alternatif kedua," tutur Yasonna.

RUU Antiterorisme yang Merespons Teror

Revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Antiterorisme) menjadi perhatian publik pasca-teror bom bunuh diri di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur, dua pekan lalu. 

Dorongan agar RUU Antiterorisme yang sudah dua tahun dibahas cepat dituntaskan menguat. 

Belum rampungnya RUU Antiterorisme dinilai menjadi penyebab tak optimalnya pemberantasan terorisme.

Desakan agar RUU itu segara disahkan, salah satunya datang dari Presiden Joko Widodo.

 
Pada Senin (14/5/2018) Presiden bahkan "mengancam" akan mengeluarkan Perppu apabila RUU Antiterorisme itu tak kunjung rampung.

"Kalau nantinya di bulan Juni di akhir masa sidang ini belum segera diselesaikan, saya akan keluarkan Perppu," ujar Presiden Jokowi.

Pernyataan Kepala Negara itu direspons sejumlah pihak. Kementerian hingga partai politik bereaksi. Mereka sibuk menyusun strategi agar RUU Antiterorisme segera rampung.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto langsung mengumpulkan pimpinan parpol pendukung pemerintah.

Disepakatilah percepatan penyelesaian RUU Antiterorisme.

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu bahkan menilai membiarkan mandeknya RUU Antiterorisme sama saja dengan membiarkan lebih banyak rakyat mati di tangan teroris.

"Ini begini mau suruh mati-mati lagi orang? Undang-undang apapun untuk kebaikan rakyat ini, oke, harus disambut. Jangan ada kepentingan- kepentingan lain, mengorbankan rakyat. Enggak benar itu," kata Menhan.

Akibat berbagi desakan itu, DPR kembali pada pembahasan. Sebagian setuju agar RUU Antiterorisme segara dirampungkan, sebagian lagi justru meminta agar konten dari RUU dibahas lagi.

Misalnya soal pelibatan TNI dalam pemberantasan tindak pidana terorisme. Kalangan masyarakat sipil menilai pasal itu berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang jika tak diatur secara ketat.

Selain itu ada juga pasal soal penebaran kebencian. Kalangan masyarakat sipil mengkhawatirkan pasal ini berpotensi membatasi kebebasan berekspresi jika tak diatur secara ketat.

Hal lain yang dikritik yakni penahanan terhadap terduga teroris yang bisa mencapai 200 hari.

Terdiri dari penahanan paling lama 120 hari, 60 hari perpanjangan, dan 20 hari tambahan bila diajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri.

Di tengah berbagai desakan itu, DPR berjanji akan berupaya merampungkan RUU Antiterorisme sebelum Lebaran atau sebelum masa sidang DPR ditutup.

Di sisi lain, reaksi pemerintah terkait RUU Terorisme diinilai merupakan kepanikan. Menurut Mantan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, hal itu tak perlu terjadi.

teroris
teroris ()

Desakan untuk mendorong RUU

Antiterorisme rampung secepatnya pasca teror bom Surabaya justru mengaburkan evaluasi pasca aksi teror itu sendiri.

"Setelah bom di Surabaya Kapolri Pak Tito Karnavian mengakui bahwa memang negara sudah mendeteksi tetapi kemudian kenapa bisa ada bom? Dimana peran intelijen?," ujarnya di Kantor PP Muhammdiyah, Rabu (23/5/2018).

Dimata Haris, terjadinya peledakan bom di Surabaya bukti bahwa negara justru gagal mencegah tindakan terorisme itu terjadi.

Padahal negara punya intelijen yang diberikan kewenangan besar.

"Kalau tahu akan ada peristiwa itu lalu dibiarkan ya harus diperiksa. Dan kita punya mekanismenya coba lihat UU Intelijen ada itu komisi pengawas intelijen di Komisi 1 DPR," kata dia.

Dari kacamata hak asasi, teror bom di Surabaya jelas telah melanggar HAM. Namun aktivis HAM itu menyoroti ketidakmampuan negara mencegah hal itu terjadi.

Di sisi lain, pasca-kejadian itu, semua pihak justru fokus kepada RUU Antiterorisme. Sementara, tindak lanjut masalah ledakan bom di Surabaya justru menjadi kabur.

"Nah sekarang bagaimana pengawasannya? Apakah komisi I DPR, komisi pengawas intelejen, pernah mereka panggil intelejen (BIN) mengapa terjadi peristiwa di Surabaya?," kata dia.

Baca: Definisi Terorisme Masih Mentok, Pelibatan TNI dengan Perpres

"Saya belum lihat DPR RI melakukannya langsung sampai hari ini. Kita malah sibuk dengan RUU Antiterorisme," sambung dia.

Soal percepatan RUU Antiterorisme, Haris menyakini hal itu memang perlu. Namun penyelesaian RUU Antiterorisme menurutnya harus tetap rasional, sementara yang terjadi saat ini adalah kepanikan akibat respons yang tak tepat atas teror bom Surabaya.

Menurut dia, ada hal yang sangat penting dari RUU Antiterorisme dari sekadar untuk dipaksa selesai dengan banyak catatan merah.

Hal itu, kata dia, yakni menjadikan RUU Antiterorisme sebagai UU yang memiliki kemampuan menjamin dalam rangka pemenuhan hak azasi, hak atas rasa aman, hak hidup yang terjaga, hingga kebebasan beragama.

"Saya lebih tertarik kepada negara gagal untuk mencegah tindakan terorisme di Surabaya.

Evaluasi (teror bom Surabaya yang baik) akan membawa kita kepada kecerdasan untuk menggunakan UU yang baru nanti," kata dia. *

Artikel ini telah dimuat di kompas.com dengan judul: Di Pandangan Mini Fraksi, DPR dan Pemerintah Sepakati Definisi Terorisme

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved