Breaking News
Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Rabies dalam Perdagangan Daging Anjing

Pedagang Pasok 80 Persen Anjing dari Luar Sulut, Dede Sudah 4 Kali Berobat Rabies

Pasar tradisional yang tersebar di beberapa daerah di Sulut umumnya menjual daging anjing.

Penulis: Finneke | Editor: Alexander Pattyranie
TRIBUN MANADO/FINNEKE WOLAJAN
Seekor anjing dalam kurungan di Pasar Beriman Tomohon, Sulawesi Utara. 

Sementara anjing yang telah mati ditaruh di atas di lapak.

Pedagang biasanya tak lagi rutin memberi makan anjing yang masih hidup ini hingga terjual.

Paling hanya beri minum seadanya.

Sesekali beri makanan, itu pun jika anjing sudah sangat lemah.

Anjing di pasar-pasar ini melewati perjalanan darat lintas provinsi yang memakan waktu berhari-hari.

Mereka memasoknya dari Gorontalo, Palu, Kendari, Mamuju, Makassar bahkan hingga Kalimantan.

Anjing yang berasal dari Kalimantan hanya dijemput di pelabuhan feri di Palu.

“Ada orang sana yang mencari anjing di Kalimantan, lalu bawa lewat laut. Kami tinggal ambil di pelabuhan,” ujar Kiki Pongoh (41), pedagang anjing di Pasar Beriman Tomohon.

Jika memasok anjing dari daerah jauh seperti Makassar, anjing akan langsung dibunuh dan dibakar, lalu disimpan di styrofoam kotak yang penuh balok es.

Dalam beberapa waktu, pedagang mengganti balok es selama perjalanan.

Perjalanan ke Sulawesi Utara yang memakan waktu tiga hingga empat hari dengan mobil, membuat pedagang repot jika membiarkan anjing tetap hidup.

“Kalau mati lalu bawa, ukuran anjing akan sama seperti waktu hidup. Tapi kalau dibiarkan hidup, anjing akan kurus,” ungkap Kiki Pongoh.

Pedagang rela menempuh perjalanan hingga seminggu bahkan lebih.

Bukan tak beralasan, di luar Sulawesi Utara masyarakat tak mengonsumsi anjing.

Sehingga harga jual di daerah-daerah tersebut sangat rendah.

Ini pun menjadi bisnis menggiurkan bagi pedagang.

Laku satu ekor, untungnya satu ekor.

Beli seekor Rp 50 ribu, jualnya Rp 100 ribu.

Selain beli ke warga, banyak pula anjing liar yang ditangkap.

Menurut Joshua Kamagi, pria asal Minahasa Utara, anjing-anjing liar di Kendari ditangkap menggunakan ganco.

“Warga sana melarang pakai racun, jadi kami tak mengunakannya,” ucap pengumpul anjing yang mendistribusikan anjing di Pasar Bersehati Manado.

Di pasar ini pedagang hanya menjual anjing dalam keadaan mati.

Meski harganya mahal, pedagang juga memasok anjing lokal.

Mereka keliling di kampung-kampung warga.

Ada yang di Minahasa sendiri, ada pula yang mencari anjing hingga daerah Bolaang Mongondow.

Harganya bervariasi, tergantung ukuran anjing.

Biasanya sepuluh kilogram anjing dihargai Rp 250 ribu.

“Harga tergantung keperluan pemilik anjing,” ujar Max Sumilat (66), pedagang di Pasar Langowan, Minahasa.

Pedagang tak kesulitan mendistribusikan anjing-anjing dari tempat asal hingga ke pasar.

Lalu-lalang mobil ladbak terbuka yang telah dimodikasi dengan kerangkeng besi terlihat setiap waktu.

Satu mobil bisa menampung puluhan bahkan ratusan anjing.

Mereka tak harus melewati pos pemeriksaan kesehatan hewan.

Baik di luar Sulawesi Utara, maupun di dalam Sulawesi Utara sendiri.

Mulai dari Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan, sebagai perbatasan dengan Gorontalo, hingga ke pasar-pasar tradisional yang tersebar di beberapa kabupaten dan kota.

Setiba di pasar pun sudah bisa langsung transaksi.

Tak ada pihak yang bisa menjamin anjing yang dijual di pasar-pasar tersebut bebas dari zoonosis.

Tingginya keuntungan di bisnis perdagangan anjing ini membuat sejumlah warga rela mengambil jalan pintas.

Warga yang membiarkan anjingnya bebas berkeliaran rawan hilang.

Hampir setiap hari ada kasus kehilangan anjing warga.

Polisi pun mencatat banyak kasus pencurian anjing atau disebut doger dalam bahasa lokal, dari waktu ke waktu.

Animal Friends Manado Indonesia (AFMI) menyebut ada ribuan anjing dan kucing yang terbunuh di pasar-pasar Sulawesi Utara setiap minggunya.

Penyelidikan AFMI memperkirakan 90 persen hewan-hewan ini adalah hasil curian hewan peliharaan, anjing berpemilik dan anjing jalanan.

Pedagang sendiri mendatangkan 80 persen anjing dari provinsi lain.

AFMI menilai tindakan ini ilegal sesuai hukum anti rabies yang melarang pergerakan anjing lintas batas provinsi.

Dog Meat Free Indonesia juga menemukan fakta di pasar-pasar yang menjual daging anjing di Sulawesi Utara yakni Pasar Manado, Airmadidi dan Langowan.

Studi tahun 2007 tersebut mengungkap 7,8 hingga 10,6 persen anjing yang dijual di pasar tersebut terinfeksi virus rabies.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengidentifikasi perdagangan daging anjing menjadi penyumbang utama penyebaran rabies.

National Technical Advisor FAO ECTAD Indonesia, Dokter Hewan Ahmad Gozali mengatakan penyebaran rabies dalam perdagangan anjing untuk konsumsi punya risiko tinggi pada proses transportasinya.

Perpindahan anjing dari suatu tempat ke tempat lain berpotensi menyebarkan virus rabies.

Setelah proses transportasi anjing, risiko penyebaran rabies dari perdagangan anjing adalah proses pengolahan anjing hingga menjadi makanan.

Sebelum menjagal anjing, pedagang pasti menampung dulu anjing-anjing tersebut.

Dalam kondisi itu tak ada yang tahu anjing-anjing itu bebas rabies atau tidak.

Artinya siapapun yang berkecimpung di situ berpotensi kena rabies.

“Alat komunikasi anjing itu mulut, kalau tak nyaman pasti gigit. Baik gigit anjing lain maupun operator. Lanjut pada proses memotong, kita tak tahu seberapa besar operator melindungi diri selama proses itu. Air liur anjing rabies, jika terpapar pada luka terbuka, pasti kena. Jika air liur itu masuk ke tubuh, tubuh kita pasti terinfeksi virus rabies,” jelas Gozali.

Direktur Kesehatan Hewan, Kementerian Peternakan RI, Fadjar Sumping Tjatur Rasa, mengatakan harus ada pengawasan pemerintah daerah dalam perdagangan anjing untuk konsumsi di Sulawesi Utara.

Anjing yang masuk harus dipastikan dalam keadaan sehat, apalagi dari daerah tertular ke daerah tidak tertular.

“Peraturan dan pedoman sebenarnya sudah ada, namun implementasi di lapangannya yang belum ada. Mengontrol lalu lintas perdagangan anjing memang tak mudah. Karena ada banyak jalur. Setiap pedagang harus mengantongi surat keterangan kesehatan hewan dari daerah asal. Daerah penerima mengecek dulu suratnya ada atau tidak, kalau tidak, seharusnya ditolak,” ujarnya.

Sumber: Tribun Manado
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved