Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Prabowo Ngaku Bisa Pidato 5 Jam Berkat Terapi Dokter Terawan, Sebut Aset Bangsa!

Prabowo mengatakan berkat jasa Dokter Terawan, dirinya menjadi fit kembali dan pidato berjam-jam.

Editor:
TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
Prabowo Subianto 

Dia mengatakan, beriklan membutuhkan biaya dan biaya tersebut berasal dari Kementerian Keuangan.

"Jadi, soal iklan, seluruh biaya, dan sebagainya diputuskan Kementerian Keuangan, tidak membuat tarif sendiri tidak ada. Saya kira terlalu jauh mengatakan diiklankan," ujar Abdul.

Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prijo Sidipratomo mengatakan, pemberhentian sementara dilakukan karena Terawan dianggap melakukan pelanggaran kode etik kedokteran.

Prijo menyebut, ada pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan disebut mengabaikan dua pasal, yakni pasal empat dan enam.

Pada pasal empat tertulis, “Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.”

Terawan tidak menaati itu dan kata Prijo, Terawan mengiklankan diri. Padahal, ini adalah aktivitas yang bertolak belakang dengan pasal empat dan mencederai sumpah dokter.

Polemik Dokter Terawan dengan Terapi "Cuci Otak" yang Dianggap Langgar Kode Etik Kedokteran...

Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) menjatuhkan sanksi atas pelanggaran etik berat yang dilakukan Kepala Rumah Sakit Umum Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Mayjen TNI dokter Terawan Agus Putranto.

MKEK memberhentikan sementara Terawan dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). 

Dalam surat yang beredar, pemecatan sementara terhadap Terawan sebagai anggota IDI berlaku selama 12 bulan, yaitu 26 Februari 2018-25 Februari 2019.

Selain diberhentikan sementara, rekomendasi izin praktik Terawan juga dicabut.

Ketua MKEK Prijo Pratomo mengatakan, ada dua pasal Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki) yang dilanggar Terawan.

Dari 21 pasal yang yang tercantum dalam Kodeki, Terawan dinilai mengabaikan dua pasal yakni pasal 4 dan 6.

Pada Pasal 4 tertulis, "Seorang dokter wajib menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri".

Terawan dianggap tidak menaati itu dengan mengiklankan diri. Prijo mengatakan, apa yang dilakukan Terawan merupakan kegiatan yang bertolak belakang dengan pasal 4 serta mencederai sumpah dokter.

Kesalahan lainnya adalah berperilaku yang bertentangan dengan pasal 6. Bunyinya, “Setiap dokter wajib senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan atau menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan terhadap hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat”. 

Meskipun Terawan telah melakukan disertasi terapi "cuci otak" dengan teknik pengobatan Digital Substraction Angogram (DSA), Prijo menilai temuan hasil penelitian akademik yang akan diterapkan pada pasien harus melalui serangkaian uji hingga sesuai standar profesi kedokteran.

"Ada serangkaian uji klinis lewat multisenter, pada hewan, in vitro, in vivo. Tahapan-tahapan seperti itu harus ditempuh," kata Prijo, Rabu (4/4/2018).

Sudah diberi peringatan

Penyelidikan terhadap pelanggaran etik Terawan dimulai sejak tiga tahun lalu. Terawan sudah delapan kali tidak hadir sidang MKEK.

Sekretaris MKEK Pukovisa Prawiroharjo mengatakan, Terawan tidak memanfaatkan kesempatan pembelaan secara pribadi.

Terawan selalu mangkir setiap kali dipanggil MKEK.

Adapun tahapan penyelidikan hingga akhirnya Terawan dinyatakan bersalah dimulai dari pemanggilan, dimintai keterangan untuk verifikasi, dan penyidangan.

"Pembelaan akhirnya kami dapatkan dari BHP2A IDI dan mereka yang pernah menguji disertasi Terawan,” kata Pukovisa.

Pembelaan Terawan

Terawan enggan menanggapi keputusan pemberhentian sementara dirinya dari keanggotan IDI yang dikeluarkan MKEK.

Pasalnya, hingga kini, ia belum mendapat surat pemberhentian keanggotaan IDI.

"Saya ndak menanggapi surat itu karena saya tidak mendapat suratnya. Saya harus dapat surat maka saya bisa mengomentari. Sampai detik ini saya tidak mendapatkan surat yang ditujukan ke saya," ujar Terawan saat konferensi pers di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Terkait terapi "cuci otak" dengan DSA, Terawan mengatakan, telah melalui disertasi di Universitas Hasanuddin, Makassar.

Disertasi itu juga telah menghasilkan 12 jurnal internasional. Terawan mengatakan, terapi tersebut telah dilakukan dengan cermat, detail, dan persiapan yang baik.

Bantah mengiklankan diri

Terawan membantah dirinya pernah mengiklankan diri. Terawan meminta pihak-pihak yang menuduh hal tersebut menunjukkan iklan mana yang memperlihatkan dirinya mengiklankan diri.

"Saya sebagai seorang TNI tidak pernah mau mengiklankan diri, tetapi kalau saya menerangkan secara medis, itu kewajiban saya karena menyangkut kejujuran ilmiah," ujar Terawan.

 
Melihat konflik yang terjadi, Komisi I DPR RI sebagai mitra kerja RSPAD Gatot Subroto angkat bicara. 

Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhar meyakini Terawan tidak pernah mengiklankan diri. Dia mengatakan, beriklan membutuhkan biaya dari Kementerian Keuangan.

Abdul mengatakan, pemberhentian Terawan dari keanggotaan IDI hanya bisa dilakukan PB IDI. Ia mennilai surat yang dikeluarkan MKEK hanya rekomendasi kepada PB IDI.

"Semestinya yang melakukan eksekusi kalau ada keputusan PB IDI adalah IDI cabang Jakarta Pusat karena dokter Terawan tergabung di (keanggotaan) IDI Jakarta Pusat," kata Abdul.

Kementerian Kesehatan turun tangan

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Untung Suseno Sutarjo mengatakan, pihaknya akan menerjunkan anak buahnya untuk mengkaji polemik tersebut.

Kemenkes akan melihat terlebih dahulu pelanggaran etika oleh Terawan, apakah pelanggaran tersebut sudah sampai mengganggu pelayanan kesehatan atau masih sebatas etika.

Apabila tidak berefek pada kesehatan, dia mempersilakan permasalahan tersebut diselesaikan secara internal antara IDI dengan Terawan.

Kemenkes tidak akan ikut campur untuk permasalahan etika tersebut. Namun, tidak menutup kemungkinan, Kemenkes akan melakukan mediasi antara IDI dengan Terawan.

"Kalau pelanggaran etika sampai berdampak pada pelayanan kesehatan, baru akan ditangani Biro Hukum," ujar Untung. 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved