Sejarah GMIM, dari Pendeta AZR Wenas hingga Siapa Ketua Sinode ke-16 yang Terpilih Nanti
Gereja Masehi Injili di Minahasa (disingkat GMIM) adalah salah satu kelompok gereja Protestan di Indonesia yang beraliran Calvinisme.
Sejarah Gereja Masehi Injili di Minahasa ( GMIM )

GEREJA Masehi Injili di Minahasa (disingkat GMIM) adalah salah satu kelompok gereja Protestan di Indonesia yang beraliran Calvinisme. GMIM didirikan di Minahasa, Sulawesi Utara pada Didirikan pada 1934 di Minahasa, Sulawesi Utara setelah dipisahkan dari gereja induknya, Indische Kerk dan pada tanggal 30 September 1934 GMIM dinyatakan sebagai Gereja mandiri. Tanggal ini diperingati sebagai hari jadi GMIM.
Sejarah
Kekristenan mulai diperkenalkan di tanah Minahasa oleh dua misionaris Jerman yang dididik di Belanda, yaitu Johann Friedrich Riedel dan Johann Gottlieb Schwarz, yang diutus oleh Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG), badan pekabaran Injil asal Belanda.[3] Pada tanggal 12 Juni 1831 mereka tiba di daerah ini untuk memberitakan Injil. Tanggal ini diperingati oleh GMIM sebagai Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Tanah Minahasa.

GMIM adalah bagian dari Gereja Protestan Indonesia (GPI). Diproklamasikan sebagai gereja yang mandiri pada 30 September 1934, dan selama delapan tahun pertama dipimpin oleh para pendeta Belanda, seperti: Pdt. Dr. E. A. A. de Vreede. Kemudian, sejak tahun 1945 kepemimpin diemban oleh pendeta pribumi dengan terpilihnya Ds. A. C. R. Wenas sebagai pimpinan gereja.[1]
Pada tahun 2005 GMIM mempunyai sekitar 900 pendeta, 65% di antaranya adalah perempuan, yang melayani 818 gereja lokal, yang dibagi ke dalam 101 wilayah, dengan sekitar 1.050.000 anggota.[4]
GMIM adalah gereja anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (sejak tanggal 25 Mei 1950),[1] Dewan Gereja-gereja Asia, Dewan Gereja-gereja se-Dunia dan Aliansi Gereja-gereja Reformasi se-Dunia.[5] Selain itu, GMIM juga merupakan bagian dari Gereja Protestan di Indonesia dan anggota dari Sinode Am Gereja-gereja di Suluttenggo (SAG), yang terdiri atas Gereja-gereja di Sulawesi Utara, Tengah, dan Gorontalo.[6]

Pimpinan GMIM
Kepimpinan GMIM dijalankan oleh Badan Pekerja Sinode yang dipimpin oleh seorang ketua. Ketua Sinode GMIM sejak berdirinya:[2]
Dr. E.A.A. de Vreede (1934–1935)
Ds. C.D. Buenk (1935–1937)
Ds. H.H. Van Herwerden (1937–1941)
Ds. J.P. Locher (1941–1942)
Ds. A.Z.R. Wenas (1942–1952)
Ds. M. Sondakh (1951–1954)
Ds. A.Z.R. Wenas (1955–1968)
Ds. R.M. Luntungan (1968–1979)
Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1979–1990)
Pdt. K.H. Rondo , MTh (1990–1995)
Prof. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1995–2000)
Pdt. Dr. A.F. Parengkuan (2000 – 2004)
Pdt. Dr. A.O. Supit, STM (2005–2009)
Pdt. P. M. Tampi, STh, MSi (2010–2014) sampai skrg
Lambang GMIM

Jika kita tidak lagi mengenal sejarah kita, maka kita tidak dapat mengenal diri kita sendiri.
Demikian ucapan Van der Leeuw yang masih tetap relevan, sekurang-kurangnya dalam lingkungan Gereja, khususnya warga GMIM, sebab kehidupan Gereja tidak dapat dilepaskan dari sejarah umat di masa lampau.
Ucapan Van der Leeuw itu tertuang dalam kata pengantar Badan Pekerja Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (BPMS GMIM) pada buku Menggali Harta Terpendam yang merupakan buku peringatan 70 Tahun GMIM bersinode (30 September 1934-30 September 2004) yang ditulis Pendeta DM Lintong.

Sekretaris BPMS GMIM 2010-2014, Pendeta Arthur Rumengan mengaku sangat terkesan dengan ucapan itu. Sebab, kata dia, lewat kalimat tersebut, Rumengan dan juga jemaat diingatkan untuk tidak melupakan sejarah saat berada di dunia modern ini, agar dapat terus melayani Tuhan.
“Sangat panjang memang untuk mengulas sejarah perjalanan GMIM, makanya perlu didokumentasikan dan dibukukan seperti ini, agar ke depan generasi berikutnya dapat terus melayani tanpa kehilangan identitasnya,” ungkap Rumengan, kemarin.
Ketika ditemui Tribun Manado di ruang kerjanya, Rumenangan mengungkapkan sejarah perkembangan GMIM memang tertuang jelas dalam buku tersebut, sebab telah dirangkum dari berbagai sumber, termasuk dari mantan Ketua BPMS Pendeta Dr AF Parengkuan MTh (Alm).