Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

MK Tolak Gugatan Uji Materi Setya Novanto

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tak menerima permohonan uji materi yang diajukan oleh mantan Ketua DPR, Setya Novanto.

Editor: Fernando_Lumowa
tribunnews
Terdakwa kasus korupsi Proyek E-KTP Setya Novanto saat menjalani sidang di Pemgadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (12/2/2018). Pada persidangan kali ini jaksa penuntut umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan empat orang saksi. Mereka yakni, mantan Wakil Ketua Komisi II Taufiq Effendy, politikus Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa, dan mantan Ketua Fraksi Partai Demokrat Jafar Hafsah. Tribunnews/Jeprima 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tak menerima permohonan uji materi yang diajukan oleh mantan Ketua DPR, Setya Novanto.

Dalam perkara nomor 95/PUU-XV/2017, melalui kuasa hukumnya, Novanto meminta MK menyatakan Pasal 46 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi bertentangan dengan UUD 1945. Pasal ini mengatur tentang penetapan tersangka oleh KPK.

Novanto merasa hak konstitusionalnya sebagai warga negara telah dilanggar setelah KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi e-KTP.

Namun, MK menilai, Novanto tak memiliki kedudukan hukum. Selain itu, menurut hakim MK, hak konstitusional Novanto tak dirugikan dengan berlakunya pasal tersebut.

Dengan demikian, MK menyatakan tidak dapat mempertimbangkan dan tidak menerima permohonan Novanto.

"Pokok permohonan tidak dipertimbangkan. Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Arief dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (21/2).

Dalam permohonannya, Novanto beralasan bahwa dirinya mempunyai hak imunitas terhadap hukum. Selain itu, dalam Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang No 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) menyatakan bahwa pemeriksaan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapatkan izin tertulis dari presiden

Novanto berpendapat, izin tertulis dari Presiden diperlukan agar seorang anggota DPR tidak dikriminalisasi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Meski demikian, dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan pasal 245 ayat 1 tidak bisa dipisahkan dengan isi pasal 245 ayat 3 UU MD3.

Pasal itu menyebut kan, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan disangka melakukan tindak pidana khusus.

Artinya, pemanggilan anggota DPR yang tersangkut kasus korupsi tidak perlu memerlukan izin presiden.

"Tidak ada persoalan konstitusionalitas norma terhadap 45 ayat 1 UU KPK. Pasal 245 ayat 1 UU MD3 tidak bisa dipisahkan dengan ayat 3. Maka dalil pemohon sesungguhnya tidak terjadi. Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan," kata Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan.

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved