Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Misteri Batu di Desa Penghasil Durian, Bidadari Kerap Keliling Desa Ini Setiap Sore

Salah satu desa yang terletak di kecamatan Likupang tidak hanya menjadi penghasil durian tetapi juga mempunyai sejarah tentang batu dan bidadari

Penulis: Arthur_Rompis | Editor:
Ist
Jerry Sampelan 

Laporan Wartawan Tribun Manado Arthur Rompis

AIRMADIDI, TRIBUNMANADO.CO.ID - Ingat durian ingat Desa Batu.

Ya, Desa yang berada di Kecamatan Likupang Kabupaten Minut ini dikenal sebagai penghasil durian hingga kerap diidentikkan dengan durian.

Durian Batu memang gurih, besar serta manis. Namun kekayaan desa batu ternyata tak hanya durian.

Desa tersebut punya kekayaan budaya yang melimpah ruah. Kekayaan budaya tersebut berupa sejumlah peninggalan batu bertuah yakni Batu Raja, Batu Dodika Pasela, Batu Piring serta sebuah Batu bertanda telapak kaki raksasa berukuran 80 sentimeter.

Semua batu tersebut adalah peninggalan dari Dotu Rottie, pendiri desa tersebut.

Kumtua Desa Batu Jerry Sampelan bercerita tentang sejarah batu - batu tersebut.

Menurut dia, Desa Batu merupakan desa pertama yang terbentuk di Minahasa pada 1721.

Desa tersebut terbentuk dalam mufakat antara sembilan Dotu yang dipimpin Dotu Rottie.

"Waktu itu diputuskan untuk memberi nama Desa Batu, karena mereka duduk di atas batu," kata dia.

Batu memang banyak ditemui di Desa Batu. Batu lantas jadi bagian penting dari kehidupan para Dotu.

Jika ingin memantau kehidupan desa, Dotu Rottie akan menaiki sebuah batu setinggi 12 meter.

Bagian bawah batu tersebut berwarna putih, sedang atasnya hitam.

"Batu itu kemudian disebut Batu Raja, karena Dotu Rottie sering duduk di sana," katanya.

Jika ingin memasak, para Dotu menggunakan Batu Dodika Pasela. Sekilas, batu tersebut tampak tidak istimewa.

"Hanya batu biasa yang tersusun - susun dan terlihat gampang roboh, namun batu itu tak bisa sembarang disentuh," kata dia.

Batu lainnya yakni Batu Piring.

Menurut Yan Sampelan salah satu warga, Batu tersebut terdiri dari Piring - Piring bekas makan para Dotu. "Piring - piring itu ditancapkan pada batu hingga seolah - olah jadi bagian dari Batu itu," tuturnya.

Yan mengatakan, sebuah piring pernah diambil ayahnya Jacob Sampelan pada 1960 silam.

Pada bagian belakang piring tersebut tertulis huruf Belanda serta tahun 1836. Yan mengaku piring itu punya daya magis.

"Jika sakit, cukup taruh air di piring lalu minum," cerita Yan.

Banyak pihak yang skeptis dengan keampuhan piring itu, jadi percaya, saat ia menaburi garam di atas piring yang terisi air, namun rasanya tetap tawar.

"Sudah banyak pejabat yang coba datang," kata dia.

Seseorang pernah menawari untuk membeli piring itu seharga Rp 500 juta. Namun ia menolak. "Ini tak bisa dibeli," kata dia.

Peninggalan lainnya yang punya nilai sejarah adalah batu bertanda telapak kaki kiri sepanjang 80 sentimeter.

Pasangan dari kaki itu berada di Watu Pinawetengan, hingga memunculkan dugaan jika Desa Batu berhubungan dengan Watupinawetengan.

"Banyak kesamaan diantara keduanya, mungkin Desa ini memainkan sejarah penting dalam berdirinya Minahasa," ujarnya.

Waruga Dotu Rottie, kata dia, berada di pertengahan desa.

Waruga itu dijaga oleh Waruga Ruruwares serta Kawuwung, yang berjarak ratusan meter dari situ. "Waruga Dotu Rottie menghadap ke Barat, sedang dua Panglima Perangnya itu menghadap ke Timur, mereka saling menjaga serta menjaga Desa ini," kata Yan.

Cerita Yan, pada sore jelang malam, sering terlihat dua bidadari berjalan - jalan.

Keduanya hendak menjemput para Dotu. Malamnya, para Dotu berjalan - jalan berkeliling Desa.

Lanjut Jerry Sampelan, hukum adat di Desa tersebut melarang warga merusak serta memasuki sejumlah area keramat. Namun Jerry tak berkeberatan bila tempat itu bisa jadi objek wisata.

"Kami sangat senang, inikan tujuannya baik, demi kemajuan warga sendiri serta Minahasa Utara," bebernya. 

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved