Kata Robby Sangkoy soal Potensi Cap Tikus Minsel
Ibarat benang kusut. Begitulah tata niaga Cap Tikus, minuman tradisional khas Minahasa. Tak jarang, persoalan ini berdampak buruk.
Penulis: Maickel Karundeng | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID - Ibarat benang kusut. Begitulah tata niaga Cap Tikus, minuman tradisional khas Minahasa.
Tak jarang, persoalan ini berdampak buruk bagi petani air nira (penghasil Cap Tikus). Di Kabupaten Minahasa Selatan contohnya.
Bagi pemerhati petani air nira dan pelaku usaha alkohol teknis Kabupaten Minsel Roby Sangkoy, Jumat (26/1/2017), para petani paling kesulitan karena sumber penghasilan mereka tidak jalan baik.
Berdasarkan data yang ia pegang sejak tahun 2016, untuk penampung Cap Tikus paling banyak di Motoling raya.
Ada sekitar 200 penampung dan wilayah Tareran ada sekitar 50 penampung. Totalnya sekitar 250 penampung Cap Tikus.
Sementara jumlah petani Cap Tikus di Minsel ada sekitar 20.000 petani. Paling banyak berada di Motoling raya.

Jika diambil rata-rata 150 liter per minggu untuk satu orang petani.
Jadi 600 liter selama sebulan satu petani. Bila dikalikan 20.000 petani, total 12 juta liter produksi Cap Tikus per bulan di Minsel.
Dengan ditutupnya pabrik miras sebagai pembeli Cap Tikus, memberikan dampak besar bagi petani.
Walaupun saat ini ada beberapa perusahaan miras telah membeli lagi hasil Cap Tikus dari Minsel, namun tak sama seperti dulu.
Para pengumpul di Minsel sebagian besar menjual Cap Tikus di pabrik miras UD Sehat Sentosa (Kesegaran), UD Serasa (Segaran Sari) dan UD Kabasaran (Pinaraci). Di satu pihak ada sisi negatifnya.
Mau tidak mau penjualan ke kios-kios atau warung akan terjadi demi mencari makan.
"Mau dijual ke mana lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan keluarga di rumah kalau tak ada pembeli," ungkap Sangkoy.

Kalau terjadi penyelundupan lebih besar jangan salahkan petani baik dari pemerintah dan kepolisian.
Tugas pemerintah sesuai amanat Undang-Undang Dasar 45 ialah melindungi dan mensejahterakan rakyat.