Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Sekolah Adat Koha Ingin Kembalikan Budaya Minahasa yang Hilang

Di tengah modernisasi serta perkembangan teknologi menghantam generasi muda. Budaya serta tradisi sudah hampir puna.

Penulis: | Editor: Andrew_Pattymahu
zoom-inlihat foto Sekolah Adat Koha Ingin Kembalikan Budaya Minahasa yang Hilang
net
Tarian Cakalele salah satu tarian budaya di Minahasa. foto ilustrasi

 TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO- Di tengah modernisasi serta perkembangan teknologi menghantam generasi muda. Budaya serta tradisi sudah hampir puna.

Apalagi mewarisi tradisi leluhur yang menjadi pedoman hidup. Maka budaya nenek moyang coba dipertahankan gadis yang satu ini, Nedine Helena Sulu. 

"Saya coba membuat satu sekolah namanya sekolah adat. Mulai belajar dari sejarah serta awalnya manusia percaya pada Tuhan kami belajar bersama," kata Nedine Sulu. Minggu (19/3).

Kata dia, tiap kali mengambil waktu duduk bersama dengan puluhan anak di salah satu area perkebunan Desa Koha, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.

Sambil belajar dengan posisi duduk melingkar samping batu besar, menikmati singkong, pisang dan jagung rebus, dabu-dabu roa (sejenis sambal ikan roa) serta buah langsat.

 “Ini salah satu kegiatan belajar di Sekolah Adat Koha. Ini juga bentuk inisiatif untuk menelusuri jejak leluhur, mempelajarinya, sekaligus mewarisi kearifan lokal leluhur Minahasa,” kata Nedine

Dia menuturkan,  di era dunia yang kian canggih teknologi yang menggerus budaya lokal maka tak heran generasi sekarang meninggalkan identitas budayanya.

 "Pada awalnya leluhur kita melalui tradisi sebenarnya mengajarkan kita bagaimana mengelola lingkungan, hutan, untuk kelangsungan hidup,” ujar Nedine.

Nedine mengungkapkan, di sekolah itu para pemuda akan belajar asal usul suku Minahasa, pengetahuan obat – obatan tradisional, pangan lokal, cara bertani, lagu, tarian seperti kabasaran atau cakalele dan bahasa daerah.

 “Karena kita tahu, dalam pendidikan formal di sekolah para pelajar tidak mendapatkan pengetahuan mereka tentang hal-hal ini semua.

Sekolah adat ini juga sebagai bentuk protes terhadap pendidikan formal yang kurang memperhatikan nilai-nilai dan kearifan lokal,” ujar Nedine yang juga merupakan Ketua Pemuda Gereja di kampungnya ini.

Cara belajar dan metode penyampaian materi dalam Sekolah Adat Koha Ini juga tergolong unik. 

“Saya lebih banyak memberikan pengantar, lalu peserta menemukan langsung di lapangan. Setelah itu kita diskusikan dengan para tetua adat, atau ahli sejarah dan budaya,” tutur Nedine.

Untuk menentukan waktu dan tempat belajar selanjutnya para pesertapun bermusyawarah guna menyesuaikan dengan aktivitas masing – masing. “Puluhan anak muda ini rata-rata sudah bekerja, atau sementara kuliah. Sehingga memang kita atur bersama jadwal sekolah,” ujar dia.

Untuk peserta sekolah ada ini memang disasar adalah kalangan anak muda. 

“Pertimbangannya kalau anak-anak, pendidikan informal di rumah masih cukup kuat. Sementara anak muda ini segmen yang cukup rawan digilas modernisasi,” ujar wanita yang juga aktif di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi utara ini.  

Salah satu kegiatan belajar yang dilakukan Sekolah Adat Koha adalah menggelar kegiatan permainan tradisional dan ziarah kultura, akhir Januari silam di hutan sekitar Desa Koha.  

Kegiatan diawali dengan ziarah kultura ke beberapa situs sejarah seperti waruga (kuburan kuno) para pendiri kampung, batu ‘pasela’ atau batu pendirian kampung, dan situs sejarah jejak kaki Siow Kurur (jejak kaki raksasa di batu). Setelah itu, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi mengenai permainan tradisional sembari mempraktekkannya langsung. 

“Sayangnya di daerah Minahasa sekarang ini sangat minim akan kepedulian masyarakat untuk mengingat atau menggalang kembali permainan khas daerah di Minahasa.

Tambah lagi kurangnya akses buku, guna melihat tulisan dokumentasi budaya Minahasa. Dengan ziarah kultura kita akan belajar dan mengetahuinya banyak karena berkunjung pada situs budayanya langsung, untuk mendapatkan ingatan terkait tempat-tempat itu,” tutur Nedine.

Tak hanya itu, mereka juga mendokumentasikan situs budaya serta permainan tradisional daam bentuk catatan-catatan. 

“Ini penting agar nilai adat tidak dilupakan,” ujar Nedine.

Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sulawesi Utara, Eirene Christi Mamahit menyampaikan, pentingnya permainan tradisional mengajarkan seorang anak makna sebuah kebersamaan, interaksi dan bersosialisasi. (Ven)

Sumber: Tribun Manado
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved