Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Setahun Senator Nikmati Rp 2,5 M, Benny Rhamdani Ngaku Malu, tak Mau Makan Uang Haram

"Bagaimana bisa kita dibiayai uang rakyat, tapi tak bisa menentukan nasib rakyat. Tak bisa tentukan nasib republik ini."

Penulis: Finneke | Editor: Fransiska_Noel
IST
Benny Rhamdani. 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI utusan Sulut, Benny Rhamdani menampik tuduhan bahwa surat mosi tidak percaya yang dilayangkan pihaknya sebagai bentuk perebutan kekuasaan pimpinan DPD RI.

"Selama ini ada kesalahaan di media, baik cetak maupun elektronik, seolah-olah ada perebutan kekuasaan. Seolah-olah pemangkasan masa jabatan pimpinan DPR RI untuk mengambil alih kekuasaan," ujarnya saat diwawancarai Tribun Manado, via telepon, Selasa (12/4).

Ia menjelaskan, surat mosi tidak percaya terpaksa diambil 60 anggota DPD RI alias 'Senator' karena pimpinan dalam hal ini Ketua, Irman Gusman dan Wakil Ketua, Farouk Muhammad, enggan menanda tangani keputusan paripurna.

"Sebenarnya ini sudah akumulasi. Pimpinan DPD tak mau tanda tangan perubahan tata tertib yang sudah diputuskan dalam paripurna 15 Januari 2016 lalu. Padahal paripurna merupakan forum tertinggi pengambilan keputusan politik. Selanjutnya, kewajiban administrasi pimpinan untuk menandatanganinya," ucap Benny yang dipercayakan sebagai koordinator dan juru bicara mosi tidak percaya.

Dalam perubahan tata tertib itu, Benny berujar, ada enam dimensi yang menguatkan lembaga DPD, yakni untuk meng-endorse kinerja yang lebih baik lagi. Dimensi tersebut di antaranya penguatan fungsi legislasi, fungsi anggaran, fungsi pengawasan, representasi, sistem pendukung dan alat kelengkapan.

"Masa jabatan DPD hanya masalah kecil dari enam dimensi yang dibahas dari tatib tersebut. Masa jabatan pun tak hanya pimpinan, tapi alat kelengkapan juga. Kurang lebih ada sembilan alat kelengkapan," bebernya.

Lebih lanjut ia menerangkan, pihaknya malu, tak mau makan uang haram. Karena kewenangan DPD memang tak kuat saat ini.

Ia mengungkap, satu anggota DPD RI dialokasikan dana Rp 2,5 miliar tiap tahun untuk reses dan kegiatan lainnya.

"Bagaimana bisa kita dibiayai uang rakyat, tapi tak bisa menentukan nasib rakyat. Tak bisa tentukan nasib republik ini. Karena fungsi legislatif itu. Kita juga tak punya fungsi anggaran, bagaimana jika rakyat minta bangun jalan. Fungsi itu tidak ada di DPD," terangnya.

Lanjutnya, semangat perjuangan ini, kata dia, untuk merekonstruksi lembaga DPD. Meningkatkan performa lewat fungsi legislasi dan anggaran. Sehingga pihaknya punya kekuatan untuk menentukan anggaran bagi daerah.

"Coba tanya ke rakyat, apa yang dikerjakan anggota DPD, paling hanya kecil. Udah dirasakan gak. Kewenangan agar kita bisa menetukan nasib rakyat dan masa depan republik. Buat apa reses tapi tak ada tindak lanjut. Berikut turut reses, rakyat tanya ngapain reses lagi, aspirasi kemarin mana. Malah dimaki-maki lagi kalau reses, masyarakat sering nagih janji," ujarnya menerangkan.

Saat ini, dikatakannya, mosi tidak percaya ini otomatis berproses. Pihaknya melayangkan tuduhan pelanggaran kode etik oleh pimpinan. Benny menguraikan tuduhan itu bermula ketika tatib tersebut disahkan pada 15 Januari 2016 lalu.

Kemudian pada paripurna 17 Maret 2016, pimpinan tak mau tanda tangan hasil keputusan dan menutup secara sepihak sidang paripurna tanpa persetujuan forum.

Kemudian pimpinan DPD RI menyampaikan kebohongan publik lewat media.

Dengan alasan enggan menandatangani karena menyalahi Undang-undang.

Pihak Benny menilai Undang-undang itu sebagai upaya manipulatif untuk mencitrakan diri patuh pada Undang-undang.

Benny menjelaskan, kalau pihak pimpinan menilai perubahan masa jabatan, misalnya, adalah pelanggaran Undang-undang, mengapa mereka hadir dalam dua peristiwa paripurna sebelumnya, sebagai peristiwa politik.

"Bahkan tak hanya membuka, memimpin dan menutup sidang, tapi juga memberikan hak suaranya dalam peristiwa politik. Peristiwa hukumnya, ketika pimpinan mengetuk palu yang sifatnya mengikat ke dalam. Bagaimana bilang pelanggaran, kalau hadir dalam peristiwa itu," ujar Benny.

Ia berasumsi, jangan-jangan kalau dalam voting saat itu masa jabatan lima tahun yang menang, pimpinan akan tanda tangan. Namun karena kalah dan hanya 2,5 tahun, tidak ditanda tangan.

"Keputusan paripurna telah didistorsi dan didegradasi demi kepentingan subjektif personal. Tak ada alasan untuk tak tanda tangan hasil paripurna tersebut," tegasnya.

Tindakan itu, kata Benny mencederai dan merusak marwah DPD RI. Pimpinan yang jelas-jelas tak layak dicontoh masyarakat umum. Sehingga menurut pihaknya, pimpinan seperti itu tak layak memimpin lembaga terhormat DPD RI.

"Lembaga di mana Setiap keputuan diambil dengan cara demokratis. Lembaga di mana anggotanya adalah orang-orang yang punya kedewasaan, adalah seorang negarawan," ujar Benny mengakhiri perbincangan. (Tribun Manado/Finneke Wolajan)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved