Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

Aridan Berlutut Menangis di Depan Uskup Suwatan

Aridan Jeremia Roeroe tiba-tiba berlutut di hadapan uskup Manado, Mgr Yoseph Suwatan MSC, Senin (28/12) malam yang duduk di samping jenazah ayahnya.

Penulis: | Editor:
TRIBUNMANADO/DAVID MANEWUS
Aridan Jeremia Roeroe tiba-tiba berlutut di hadapan uskup Manado, Mgr Yoseph Suwatan MSC, Senin (28/12) malam yang duduk di samping jenazah ayahnya 

Laporan wartawan Tribun Manado David Manewus

TRIBUNMANADO.CO.ID -   Aridan Jeremia Roeroe tiba-tiba berlutut di hadapan uskup Manado, Mgr Yoseph Suwatan MSC, Senin (28/12) malam yang duduk di samping jenazah ayahnya, almarhum pendeta Wilhelmus Absalon Roeroe. Ia menangis tersedu-sedu di depan uskup Suwatan.

Peristiwa itu terjadi tidak berapa lama setelah rombongan forum komunikasi pimpinan daerah (forkompimda) propinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang dipimpin pejabat gubernur Sumarsono pergi dari rumah duka, Kelurahan Kakaskasen setelah beribadah sejenak. Memang bagi keluarga, Uskup Suwatan, Pendeta Roeroe dan keluarganya mempunyai arti khusus. Begitu pula sebaliknya.

Saat memberikan sambutan sebelum peristiwa itu, Uskup Suwatan mengaku mengetahui peristiwa kematian sahabatnya itu saat kembali dari pelayanan di Paroki Kebangkitan Kristus Amurang. Ia menjadi selebran (pelayan) Pesta Keluarga Kudus (Yesus, Maria dan Yosef) yang jatuh pada Minggu (27/11) di paroki itu.

"Saat itu hampir pukul dua. Saya kaget dalam perjalanan dari Amurang itu saya mendengar beliau meninggal," katanya.

Uskup mengaku menyesal karena belum sempatnya mengunjungi Roeroe di sakit-sakit akhirnya. Komunikasi yang terakhir katanya terjadi saat ia menitip buku.

"Saya kagum dengan almarhum. Di tahun 60-an, pendeta Roeroe saya kenal karena hubungannya yang baik dengan Seminari Pineleng (dalam arti sekolah tinggi)," katanya.

Dalam paruh kedua Konsili Vatikan ke-II (yang ditutup tahun 1965), kata uskup, Gereja Katolik menetapkan keterbukaan dan gerakan ekumenisme (penyatuan kembali) dengan gereja-gereja reformasi. Itu ditandai juga dengan penerjemahan Alkitab secara bersama dan pendeta Roeroe ujar uskup ikut dalam gerakan itu.

"Setamat saya dari seminari, saya sempat bertugas di Purwokerto dan melanjutkan studi di Leuven, Belgia. Pendeta Roeroe ternyata juga menempuh studi doktoral Kitab Suci di Mainz, Jerman," katanya

Uskup Suwatan mengaku terkejut saat di sebuah hari Minggu (yang ia lupa tanggalnya), sebuah mobil pelan-pelan berhenti di biaranya di Leuven. Ternyata, mener (saat itu belum Profesor) Roeroe bersama istri Magriet Tompodung, Aridan kecil dan Matindas Roeroe mengunjunginya di biara itu.

"Setelah kembali di sini, saya mengajar dan beliau menjadi profesor di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) hubungan kami tetap dekat bahkan dalam hal informal. Kadang tanpa diundang kami datang ke ulang tahun masing-masing," katanya.

Hal menarik lain dari pendeta Roeroe, kata uskup ialah mantan ketua sinode itu sangat memperhatikan budaya. Ia memasukkan penghayatan iman kristiani
dengan unsur inkulturatif (budaya).

"Ia juga aktif dalam kegiatan antar umat beragama dan kami sering bertemu dalam berbagai acara. Jadi selamat jalan dan seperti dalam Injil Yohanes, Yesus menyediakan tempat bagimu," tuturnya.

Sumarson sendiri dalam sambutannya mengatakan propinsi berterima kasih atas apa yang diberikan pendeta Roeroe bagi propinsi ini. Ia menyebut sumbangan Roeroe juga sebagai ketua sinode Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).

Pastor Doktor Cardo Renwarin, sebagai pengajar dalam program pasca sarjana UKIT di mana pendeta Roeroe lama berkecimpung menilai pendeta Roeroe sosok yang istimewa juga dengan pendekatan inkulturatifnya. Sulit katanya mencari tokoh istimewa seperti pendeta Roeroe.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved