Catatan Sepakbola
Air Mata buat Camara
Bola pun bercumbu dengan tragedi. Dan, tragedi terkini datang dari bumi Parahiangan, dari Stadion Siliwangi Bandung.
Kita tidak tahu bagaimana sebetulnya kondisi Camara sebelum menjalani latihan malam di Stadion Siliwangi. Kita tidak tahu pasti apakah dia cukup bugar atau sedang dalam kondisi down. Demi tanggung jawab atas profesinya boleh jadi Camara mengabaikan kondisi fisiknya yang lagi tak bagus. Serangan jantung, satu dari lima penyakit paling mematikan di dunia biasanya hadir tanpa tanda-tanda yang mencolok. Serangannya begitu mendadak.
Ikhwal kematian di lapangan bola, pemain sepakbola putri terbaik dunia asal Brasil, Marta Vieira da Silva menuliskan kata-kata yang indah. "Jika aku meninggal dunia di lapangan karena cedera, aku minta di peti matiku dimasukkan sebuah bola sepak. Jadi, aku bisa mati dengan puas dan sambil tersenyum."
Kata-kata itu lugas terlontar dari bibir seksi Marta Vieira ketika dia membangkang ibunya Dona Tereza Vieira de Sá yang melarangnya bermain bola di jalanan kumuh Dois Riachos, Alagoas, Brasil. Marta kecil melawan larangan itu dan namanya di kemudian hari dikenal sebagai salah seorang pemain putri terbaik dunia. Marta adalah terbaik dunia versi FIFA tiga tahun berturut-turut yaitu 2006, 2007 dan 2008. Nama besarnya selevel dengan Mia Hamm (AS), Birgit Prinz (Jerman) dan Kelly Smith asal Inggris.
Marta Vieira da Silva masih hidup sampai sekarang. Sekou Camara mungkin tak sempat menuangkan kata-kata seindah Marta. Tapi di alam sana, Camara pastilah sedang tersenyum. Dia mati di lapangan bola ketika berjuang untuk hidup dari bola sepak. Dari Stadion Siliwangi Bandung puisi tentang bola-bola nasib itu terdengar lirih. Bola itu selalu bercerita tentang drama kehidupan manusia. Selalu ada senyum, ada tawa. Ada air mata. Selamat jalan Camara!
*Wartawan Tribun Manado, penikmat sepakbola