Rohani Kristen
Renungan: Malu
Sepasang suami istri terlibat hutang. Usaha yang mereka kelola gagal total. Jangankan usaha, harta bendapun tak tersisa.
Vikaris Pendeta di GMIM Petra Kinilow
MALU
Keluaran 12:1-28
Sepasang
suami istri terlibat hutang. Usaha yang mereka kelola gagal total.
Jangankan usaha, harta bendapun tak tersisa. Tinggalah rumah berteduh
satu-satunya kepunyaan yang tersisa.
Tiba waktunya si penagih hutang datang menagih hutang beserta bunga yang menumpuk. Suami istri ini pasrah, tak mampu berbuat apa-apa. Entah bagaimana, seorang yang tak dikenal datang, mengetuk pintu rumah dan menawarkan diri untuk membayar semua hutang.
Tak ada syarat, bukan karena suami istri ini telah berjasa melakukan sesuatu, tapi semata-mata karena kerelaan dari orang asing ini. So, hutang mereka terbayar lunas! Suami istri ini bertanya-tanya, dengan apakah mereka bisa membalas kebaikan orang asing ini? Seandainya tuan baik hati ini meminta sesuatu yg dapat mereka berikan, pasti dengan senang hati mereka melakukannya. Tapi betapa tak tau malunya kalau mereka tidak berterima kasih atau setidaknya menjamunya dengan secangkir kopi.
Perkara Penyelamatan yang dirancang Allah untuk manusia kurang lebih demikian seperti cerita di atas. Suami istri yang berhutang adalah manusia dan orang asing adalah Allah. meskipun, hutang yang dibayar oleh si orang asing sama sekali tak sebanding dengan pemberian Allah yaitu Putera Tunggal-Nya, Yesus Kristus.
Tapi cerita di atas hendak menyatakan kepada kita bahwa: hutang dosa kita telah dibayar lunas. Siapa yang membayarnya? Dia, yang sama sekali tak berhutang. Luar biasa bukan? Dia, yang tak berhutang, yang bersih tak bernoda bersedia membayar hutang, kotor dan noda kita dengan satu-satunya jalan:
Nyawa-Nya! Karena hanya dengan demikian hutang itu dapat dibayar. Kalau kita bertanya mengapa Dia melakukan untuk kita? Atau adakah sedikit saja dari kita yang benar-benar layak? Jawaban untuk keduanya adalah: Tidak ada. Rencana ini telah dibuat-Nya jauh sebelum kita ada. Bahkan sejak manusia pertama kali mengenal dosa, Ia telah merancangkannya bagi kita.
Analogi dari karya besar Penyelamatan Allah ini telah dilakukan-Nya sejak zaman Israel. Umat Israel begitu menderita diperbudak di Mesir. Mereka kehilangan hak. Mau ini dan itu, tidak boleh. Setiap hari kerja, kerja dan bekerja terus. Setiap tindakan diawasi.
Sedikit saja salah, bakalan
dihukum bahkan bisa-bisa mati. Sungguh ‘mempastiukan’ hidup seperti
ini. Pikir bangsa Israel: lebih baik mati dari pada hidup seperti ini.
Akhirnya Tuhan Allah turun tangan. Dibebaskan mereka dari tanah Mesir
itu. Diberikan-Nya mereka kebebasan. Kebebasan yang mendatangkan
kemerdekaan dan keselamatan. Merdeka dari kekang pekerjaan, selamat dari
hukuman, bebas menentukan arah hidup.
Dengan demikian, “sekarang kami boleh berbuat apa saja!” begitu sorak Israel. Eits, tunggu dulu! Tidak seperti itu! Sekarang waktunya berterima kasih. Kepada siapa? Untuk Sang Penyelamat tentu-Nya. Kita harus malu kalau tak mengucap terima kasih. Kita harus malu kalau tak bertanya: “apakah yang Engkau inginkan?” Kita sungguh tidak tahu malu kalau bersikap acuh tak acuh!
Inilah kita orang-orang yang telah diselamatkan. Kita berbangga diri karena telah diselamatkan. Bukan karena kegagahan kita, apalagi jasa kita, tapi karena kasih-Mu Ya Tuhan, tanpa syarat dan sungguh agung. Dengan demikian, kita berbuat baik, hidup benar sekarang ini adalah respon akan kasih setia Tuhan.
Pembebasan yang memerdekakan itu harus disertai dengan ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih itu adalah tindakan yang menyenangkan Dia yang telah menyenangkan kita terlebih dahulu. Jadi, kita bertindak dan berlaku karena ‘malu’ kepada-Nya.
Artinya, kita malu kalau kita tidak bersikap baik pada orang lain padahal Dia telah bersikap baik terlebih dahulu kepada kita. Kita malu kalau tidak mengasihi sesama kita, padahal Dia telah lebih dahulu mengasihi kita. Kita malu kalau tidak setia pada pasangan kita, karena Dia mengasihi kita tanpa syarat, bukan karena ketampanan atau kecantikan kita. Kita malu kalau tidak bersekutu dengan sesama orang percaya, karena Dia telah mempersekutukan diri-Nya lebih dulu dengan kita. Kita malu kalau tak menyenangkan hati-Nya, padahal Dia telah terlebih dahulu menyenangkan kita dengan keselamatan. Kita seharusnya malu…..
Jadi, kalau ditimbang-timbang, budaya malu itu pun ternyata alkitabiah. Dan memang, kita bertindak dan berlaku baik dan benar di dunia ini lebih tepatnya sebagai respon/malu karena Dia telah terlebih dahulu mengasihi kita.
Ketika orang lain, masih dengan susah payah mencari muka pada tuhan mereka, karena mereka harus menunjukkan mereka layak untuk mendapatkan keselamatan; ketika mereka malah terjebak dengan usaha-usaha menyucikan diri itu, maka kita malah sebaliknya. Karena kita telah terlebih dahulu mendapatkan keselamatan itu dan sekarang bagian kita untuk merespon kebaikan-Nya itu. So, merasa malulah kalau tidak berbuat baik. Amin. (*/obi)