Pertambangan
Gubernur Sarundajang: Penambangan Bijih Besi Pulau Bangka Perlu Kajian Mendalam
Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melakukan kajian.
"Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga melakukan kajian. Pemerintah pusat juga berkepentingan untuk menentukan izin," kata Gubernur Sarundajang kepada Tribun Manado, Rabu (24/10/2012) di Hotel Gran Puri Manado.
Menurut Gubernur Sarundajang, sebenarnya tambang di Pulau Bangka itu letaknya tidak berada di pesisir pantai, melainkan di dataran tinggi atau bukit. Untuk itu perlu juga dipikirkan rumah-rumah yang berada di kawasan tersebut.
"Izin eksplorasi memang dikeluarkan Bupati (Minahasa Utara). Eksplorasi itu untuk mendapatkan sampel, agar diketahui secara persis kandungan bijih besi. Pemerintah pusat, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Pariwisata juga sudah mengetahui hal ini," jelasnya.
Namun, Gubernur Sarundajang tetap mengingatkan agar dilakukan Amdal yang benar-benar serta kajian-kajian lain, termasuk dari pemerintah pusat. Sebab, kata dia, izin itu juga akhirnya harus berasal dari pemerintah pusat.
Sementara itu, kehidupan warga yang mendiami Pulau Bangka khususnya warga Desa Kahuku 1 dan 2 terganggu semenjak dimulainya aktivitas eksplorasi penambangan biji besi oleh PT MMP sejak tahun 2008. Friksi antar warga kerap terjadi kendati mereka masih memiliki pertalian darah satu sama lain. "Memang antara kakak dan adik sering berselisih," kata Merti, warga Kahuku 1 kepada Tribun di pulau tersebut, Rabu (24/10).
Merti mengatakan, kebanyakan tanah di wilayah itu adalah warisan orangtua. Pihak perusahaan mendatangi anak yang menjadi alih waris. Kepada mereka, perusahaan mengimingi-imingi harga sejuta rupiah per lubang plus 100 ribu per pohon kelapa. Anak yang setuju membubuhkan tanda tangan di atas surat kontrak. Usai hitam di atas putih, pihak perusahaan memiliki hak untuk membor tanah itu. Persoalan muncul ketika anak lain yang tidak setuju mendatangi saudaranya yang telah membubuhkan tanda tangan itu. Sama-sama ngotot, kedua pihak akhirnya berselisih. "Itu yang membuat kami tak tenteram," katanya. Meski tak sampai adu fisik, namun jarak psikologis makin lebar antara anggota keluarga yang bertikai.
Portos Ilaha, warga lainnya menyatakan, selain terganggunya ikatan sosial antarwarga, penggalian dan pengeboran berpotensi merusak alam serta keanekaragaman hayati pulau tersebut. "Kami tidak mau jual tanah warisan kami," katanya. Baginya, eksplorasi itu melanggar UU tentang pengelolaan pulau kecil dan pesisir.
Bunyinya jelas menyatakan pulau yang bisa dijadikan area pertambangan harus seluas 200 ribu hektare. "Sedangkan luas Pulau Bangka hanya sekitar 3.000 hektare lebih," tuturnya. Ia tidak bisa membayangkan, jika pulau itu dijadikan area pertambangan dan bor masuk sedalam ratusan meter dan membongkar tanah yang ada di dalamnya. "Bisa-bisa pulau itu lenyap," ujarnya. "Sekarang saja, sehabis pengeboran, laut jadi merah karena limbahnya masuk laut. Jika begitu kami jadi sulit cari ikan, padahal sebagian besar dari kami berprofesi sebagai nelayan" tambah Portos.
Warga lainnya, Pinehas Lombonauang menyebutkan warga Pulau Bangka yang menolak pertambangan jauh lebih banyak. "Yang menolak sekitar 85 persen," katanya. Diakuinya, eksplorasi pertambangan biji besih memang terpusat di Desa Kahuku 1 dan 2. Dua desa lainnya di Pulau Bangka yaitu Lihunu dan Libas belum sepenuhnya berlaku.
Perusahaan tambang itu, katanya, berkantor di salah satu rumah di Kahuku 2. Dulu mesin bor parkir di pekarangan tanah yang memiliki lubang. Mesin-mesin itu segera digantikan dengan yang baru. Masifnya upaya pengeboran, membuat perusahaan berencana merelokasi warga Desa Kahuku 2. "Mereka rencananya direlokasi ke Sipi," kata Pinehas. (rbt/art/nty)