Feature
Nori Rencana Ajarkan Ketrampilan
PAPAN nama Sekolah Luar Biasa (SLB) Mitra memang terpancang di sekitar jalan berbentuk letter S di Liwutun
CELOTEH dan pola tingkah para siswa yang berumur belasan dan puluhan tahun tersebut tak ubahnya seperti anak taman kanak‑kanak yang bermain di ruang kelas. Merekalah anak‑anak dengan kebutuhan khusus dan IQ di bawah standar normal, yaitu 100, dan IQ mereka hanya berkisar 70. Tak lengkapnya organ tubuh seperti buta, bisu, tuli, dan cacat kaki yang mengharuskan mereka di kursi roda juga membuat para siswa tersebut berkumpul dan mendapatkan pengajaran dari para staf pengajar.
Namun tak banyak yang tahu kalau kegiatan belajar‑mengajar dengan menggunakan kurikulum SD tersebut dilaksanakan di balai desa yang jika sewaktu‑waktu digunakan, maka para siswa akan diliburkan.
"Beberapa waktu lalu ada kegiatan tingkat provinsi, otomatis balai desa ini digunakan dan siswa diliburkan," ujar Nori selaku kepala sekolah SLB Mitra kala diwawancarai.
Ditambahkan Nori, keberadaan SLB yang memberikan pengajaran setiap senin sampai jumat untuk para siswa dengan kebutuhan khusus ini juga penuh keterbatasan.
"Rencananya kami akan mengajarkan ketrampilan misalnya membuat bunga plastik atau jenis kerajinan lainnya tapi terkendala juga dana atau ketersediaan bahan misalnya batang bunga juga harus pakai kawat dan lain sebagainya," kata Nori.
Sekolah dengan jumlah murid 42 orang terdiri dari satu orang tunanetra, tuna rungu 5 orang, tuna daksa 5 dan 31 orang tuna grahita ini juga memiliki total 7 orang staf pengajar yang tak memiliki dana tetap untuk proses belajar mengajar.
"Kami pernah rapat dengan orangtua murid membicarakan iuran sekolah sebesar 20 ribu per
bulan tapi ya nyatanya hanya satu dua wali murid saja yang membayarnya jadi ya harus dicarikan jalan lain untuk mendapatkan gaji guru dan kebutuhan lainnya," tambahnya.
Adapun berbagai cara yang digunakan oleh SLB Mitra untuk mengumpulkan dana seperti menyanyi di gereja, kartu kawan, dan aktivitas lainnya. Setiap lima tahun sekali mereka mendapatkan sumbangan dari pihak Provinsi Sulut berupa meubelair.
Berbagai proposal dana ke berbagai pihak juga kerap digunakan untuk mendapatkan dana yang nantinya disiasati dengan berbagai cara.
"Misalnya pernah mendapat 6,5 juta dari Provinsi Sulut setelah dipotong pajak 10 persen oleh Bank terkait, kami siasati dengan menawar kursi roda atau kebutuhan lainnya, selisih tersebut yang kami gunakan untuk kebutuhan sekolah lainnya," urai Nori.
Kini Nori tengah mengusahakan untuk mendapatkan dana dari pihak asing seperti missionary. Proposal yang telah dibuatnya juga telah diterjemahkan ke bahasa asing yang dimaksud. Ia hanya bisa berharap agar proposal tersebut dipenuhi untuk sebidang lahan, 10 ruangan, ketersediaan air dan listrik dan sarana penunjang lainnya.
"Sebenarnya kami sudah ada lahan dari Pemkab tapi dari pihak desa harus membayar sekitar 100 juta lebih, karena itulah kami coba cara‑cara lain seperti menyusun proposal dan lain sebagainya," jelasnya.
Para staff pengajar ternyata menyimpan sejumlah kisah kala mengajar anak‑anak dengan kebutuhan khusus tersebut. Selain memiliki anak‑anak tanpa kebutuhan khusus atau lahir normal, Nori misalnya. Kepala sekolah yang awalnya adalah guru SD tersebut, berkerinduan mengajar anak‑anak dengan kebutuhan khusus.
"2007 saya guru SD, kemudian ada anak‑anak yang tak bisa diterima di SD karena memiliki kebutuhan khusus, sejak itulah saya mengajar dan 2009 memiliki nota dinas untuk menjadi kepala sekolah," terangnya.
Lama menjadi staf pengajar, ternyata ada satu kerinduan Nori yang tak pernah putus dipanjatkan dalam setiap doanya. Apalagi kalau bukan statusnya yang belum tetap. "Saya masih tenaga honorer, ya saya hanya bisa berharap bisa menjadi PNS," tukasnya.
Keberadaan sekolah ini ternyata menjadi kebanggan para siswanya. Apalagi kalau bukan karena rasa sayang dan saling membutuhkan yang di dapatkan para siswa dari para staf pengajar dan teman sekelasnya. "Saya senang sekolah disini, banyak teman dan gurunya baik‑baik,"ujar Ebi yang berusia 26 tahun. (quinsimatauw)