MK Tak Berhak Diskualifikasi Jokowi: Begini Pendapat Pengamat Hukum Unsrat
Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa diskualifikasi capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO – Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa diskualifikasi capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tidak ada kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang (UUD-UU) kepada MK untuk mendiskualifikasi capres-cawapres.
Demikian pendapat pengamat hukum dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Toar Palilingan. Dosen Fakultas Hukum ini menanggapi gugatan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MK. Dari beberapa poin tuntutan (lihat grafis) di antaranya permintaan diskualifikasi Jokowi-Ma'ruf.
Kata Toar, upaya hukum diperbolehkan untuk penetapan hasil perhitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Caranya ke MK, karena itu memang wewenang mahkamah.
Ditegaskannya, tetapi yang diselesaikan MK adalah perselisihan hasil perhitungan suara. "Kalau yang berselisi itu adalah yang merasa dirugikan akibat dugaan adanya kecurangan, tentunya dia harus buktikan kecurangan yang dia sampaikan lewat gugatannya," ungkap Toar kepada tribunmanado.co.id, Minggu (26/5/2019).
Lanjut dia, nanti disanding dengan perhitungan versi penyelenggara (KPU). "Jadi tidak ada kewenangan yang diberikan UUD maupun UU kepada MK untuk mendiskualifikasi. Kalau diskualifikasi justru ada di KPU pada waktu proses ketika terjadi pelanggaran," ujar dia.
Kata Toar, MK hanya dapat memerintahkan pemungutan suara ulang kalau terbukti ada dugaan kecurangan yang terstruktur, sistimatis dan fasif (TMS). "Tapi itu harus dibuktikan di beberapa lokasi kalau diulang secara signifikan bisa mempengaruhi peringkat (hasil).
Kalau hanya lima juta suara, tidak guna lagi. Itu pasti sudah tidak akan diperiksa, sebab itu sudah tidak mempengaruhi peringkat kemenangan," katanya.
Toar menjelaskan, karena kemenangan ini (selisih) kurang lebih 17 juta suara, harus ada perubahan signifikan di 9 juta suara beberapa provinsi. "Apakah ada kecurangan di berbagai provinsi? Itu harus dibuktikan.
Sebenanya, ending-nya sederhana, dengan bukti-bukti kecurangan dimana KPU dalam perhitungan itu curang. Tapi kalau tidak ada bukti mau gimana lagi," kata Palilingan.
Toar meminta BPN harus terima dengan semua keputusan yang ada. “Mereka kan sudah mendatangani fakta bersama siap menang siap kalah," ungkapnya. Kalau mereka menuntut, sah-sah saja. Tapi MK akan memutuskan sesuai kewenangan dia, sesuai UUD maupun UU. Tidak akan melampaui kewenangan, apalagi mendislualifikasi.
"Itu hanya dimohonkan yang diminta dituntut ya silakan, sah-sah saja. Dua minggu ke depan kewajiban untuk membuktikan karena mereka mendalilkan adanya kecurangan, itu dulu. Kalau tidak ada bukti percuma saja," kata dia.
Lanjut Toar, keputusan BPN sudah betul. Mereka sudah ikut mekanisme. Pasangan 02 lapor dugaan kecurangan ke Bawaslu, namun tidak ada bukti sehingga Bawaslu tolak. Mereka lapor ke MK.
"Itu sudah bagus, apa yang mereka lakukan ini mengedukasi masyarakat. Ini sangat diteladani, apa yang dilakukan paslon 02, dimana melapor ke Bawaslu dan ke MK," bebernya.
Lanjutnya, nanti hasilnya seperti apa, kan mereka sudah mengikuti prosedur yang ada. "Final dan mengikat, sebagai masyarakat negara harus taat hukum. Kalau yang ngaco itu urusan Polri dan TNI," tandasnya.
Baca: Ini Pengacara KPU, BPN, dan TKN Untuk Gugatan Hasil Pilpres
Lucky Senduk, Tim Kampanye Daerah Jokowi Ma'ruf di Sulut, angkat bicara soal gugatan kubu 02. Ia menjelaskan, harus dipahami dalam UU sudah dibagi tugas.