Pelemahan Rupiah Terendah dalam 3 Bulan: Bagaimana Kondisi IHSG
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan pasar spot, Jumat (8/3).
Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan pasar spot, Jumat (8/3). Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tajam di perdagangan pasar spot, Jumat (8/3). Kemarin, 1 dolar AS dibanderol Rp 14.305 saat penutupan pasar spot.
Pelemahan rupiah sudah berada pada kisaran 1 persen dan melemah 1,2 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi, Kamis lalu. Pada pukul 12.00 WIB, kurs 1 dolar AS dibanderol Rp 14.300, menyentuh posisi terlemah sejak 3 Januari.
Pada pembukaan pasar, rupiah sudah melemah 0,42 persen. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan menembus level 1 persen. Di Asia, rupiah juga menjadi mata uang paling lemah. Bahkan selisih depresiasi dengan peso Filipina di atasnya sangat lebar. Apa saja yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan,"dalam sepekan terakhir telah terjadi perkembangan yang terlihat signifikan global. Hal ini mendorong terjadinya risk off di pasar keuangan global. Sehingga mendorong menguatnya dolar AS."
Menurut Perry, manufaktur AS menunjukkan adanya perbaikan. Sehingga ada sentimen positif yang membuat dolar ikut menguat. Faktor eksternal lainnya, Eropa masih ada beberapa permasalahan.
"Eropa juga memperpanjang stimulus moneternya, dovish. Euro akhirnya melemah, maka membuat mata uang dolar AS semakin kuat," ujar Perry kata Perry di Jakarta dikutip cnbc Indonesia.
Namun ia mengatakan, pelemahan nilai tukar terjadi bukan hanya di Indonesia. Namun di beberapa negara lain juga. "Sentimennya ada risiko geopolitik hingga tidak tercapainya kesepakatan antara AS dan Korea Utara, ditambah Brexit," tutur Perry.
"Rupiah ada tekanan juga ini memang lebih banyak faktor eksternal. Faktor domestik semua bagus, inflasi rendah, inflow modal asing juga terus berjalan dan cadangan devisa meningkat. Adapun neraca dagang Februari 2019 diproyeksikan surplus."
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami kecenderungan dengan rupiah. IHSG anjlok 1,16% untuk menutup perdagangan terakhir di pekan ini ke level Rp 6.383,07. IHSG harus berakhir di zona merah dan nyaris berada di titik terendah dalam 2 bulan atau sejak 14 Januari 2019.
IHSG senasib dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diterpa tekanan jual: indeks Nikkei melemah 2,01%, indeks Shanghai anjlok 4,4%, indeks Hang Seng terkoreksi 1,91%, indeks Straits Times terpangkas 1,03%, dan indeks Kospi turun 1,31%.
Tema besar pada perdagangan Jumat kemarin adalah perlambatan ekonomi dunia. Awal pekan, Selasa (5/3), Perdana Menteri Li Keqiang dalam pertemuan tahunan parlemen China mengumumkan target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 dipangkas menjadi ke kisaran 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%.
Jika yang terealisasi nantinya target pertumbuhan ekonomi di batas bawah (6%), itu akan menjadi pertumbuhan ekonomi terlemah dalam nyaris 3 dekade. Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi China tercatat sebesar 6,6%.
Hard landing bagi perekonomian China menjadi kian terkonfirmasi, kemarin. Ekspor Negeri Panda periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Alhasil, surplus neraca dagang hanya tercatat senilai 4,12 miliar dolar AS, di bawah ekspektasi yang senilai 26,38 miliar dolar AS.
Di tengah tekanan terhadap perekonomian China yang begitu besar, perang dagang dengan AS mungkin belum akan selesai dalam waktu dekat. Kemarin, raksasa produsen perangkat telekomunikasi asal China yakni Huawei resmi mengajukan tuntutan kepada pemerintah AS.