Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

DPRD Sulut Godok Ranperda Fakir Miskin dan Anak Terlantar, Felly Runtuwene Ingatkan Hal Ini

DPRD Sulut mulai menggodok rancangan peraturan daerah (ranperda) fakir miskin dan anak terlantar.

Penulis: Ryo_Noor | Editor: David_Kusuma
Istimewa
DPRD Sulut menggodok Ranperda Fakir Miskin dan anak telantar 

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - DPRD Sulut mulai menggodok rancangan peraturan daerah (ranperda) fakir miskin dan anak terlantar.

Untuk menggolkan ranperda tersebut, Badan Pembentukan Perda (Bapemperda) DPRD Sulut menggelar diskusi fokus grup di Kantor DPRD Sulut, bersama instansi terkait dan mengundang para akademisi, Selasa (9/10/2018).

Felly Estelita Runtuwene, Anggota DPRD Sulut menyampaikan ruang lingkup ranperda ini yakni identifikasi, hak kewajiban fakir miskin, strategi, pelaksanaan dan pengawasan serta peran serta masyarakat.

Ferry Liando Akademisi yang diundang dalam diskusi itu menyampaikan, satu kendala dalam proses pelaksanaan kebijakan di daerah disebabkan karena kuatnya kepentingan politik pada tataran implementatif.

Contohnya kebijakan di bidang kemiskinan. Anggaran yang diplot Pemerintah daerah sangat besar dalam mengatasi kemiskinan namun faktanya masalah kemiskinan belum dapat dituntaskan.

Secara kuantitatif angka kemiskinan memang bervariasi di sejumlah daerah di Sulut. Ada yang menurun namun ada yang meningkat.

Namun secara kualitatif banyak penyakit sosial terjadi karena faktor kemiskinan.

"Banyak anak-anak terlantar, tidak bersekolah, kebutuhan dasar tidak terpenuhi," ujar akademisi Unsrat ini.

Efek semua itu adalah kerusuhan, kejahatan atau penyakit sosial lainnya. Lalu apa yang salah dalam mengelola kebijakan kemiskinan?

Kata Liando, pertama, penyaluran tidak konsisten setiap tahun. Bantuan sosial orang miskin dinaikan setinggi-tingginya hanya pada saat tahun Pilkada.

Kedua, identifikasi penerima tidak jelas.

"Ada yang melarat tapi tidak menerima namun ada yang berkecukupan tapi menerima," kata dia.

Pemicunya adalah ketidakjelasan dalam mengidentifikasi siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak.

Ketika diselidiki ternyata petugas pendata atau pencatat hanya memilih-milih orang yang dianggap satu kepentingan politik yang sama.

"Banyak aparat yang nakal, apalagi ini bagian dari tim sukses. Jadi yang berhak menerima hanya pihak yang memiliki kesamaan pilihan politik," kata dia.

Ketiga, belum bersinerginya kebijakan yang dibuat oleh pemprov dengan kebijakan yang dibuat sebagian pemerintah kabupaten/kota.

Perbedaan latar belakang politik antara gubernur dan kepala daerah kabupaten kota menjadi salah satu pemicu terjadinya kebijakan yang tidak terpadu sehingga provinsi dan kabupaten/kota jalan sendiri-sendiri dan tumpang tindih kebijakan. (ryo)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved