Sulawesi Utara
Menuju Sulut Maju, Sejahtera dan Berkelanjutan

OSO Tertawa Dicoret KPU: DPD akan Ambil Langkah Hukum

Bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO) tertawa ketika ditanya soal namanya yang dinyatakan tidak memenuhi

Penulis: Tim Tribun Manado | Editor: Lodie_Tombeg
KOMPAS.com/Ihsanuddin
Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang di Hotel Manhattan, Minggu (21/1/2018). 

TRIBUNMANADO.CO.ID, JAKARTA - Bakal calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Oesman Sapta Odang (OSO) tertawa ketika ditanya soal namanya yang dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai calon senator oleh Komisi Pemilihan Umum Pusat (KPU). "Ah nggak ada dicoret-coret, siapa yang berani coret?" kata OSO yang kemudian tertawa.
Ia mengaku telah mengirimkan gugatan terkait hal tersebut kepada Badan Pengawas Pemilu RI (Bawaslu) pada Kamis (20/9).

Menurut OSO, gugatan tersebut telah diterima Bawaslu dan sudah diuji materi.
Hasil dari uji materi tersebut menurutnya, telah dinyatakan memenuhi syarat dan pantas untuk dipersoalkan. "Sudah tadi. Sudah diterima Bawaslu. Dan uji materi sudah. Diterima dan dinyatakan pantas untuk dipersoalkan. Memenuhi syarat," kata OSO. Ia pun mengatakan akan tetap mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD."Saya mau caleg DPD kek, DPR kek semuanya bisa saja kalau mau," kata OSO tertawa.

Ketika ditanya wartawan apakah KPU telah melakukan pelanggaran terhadapnya, OSO menjawab singkat. "Sangat," kata OSO sebelum masuk ke dalam mobil berplat B 1286 RFS. Pada Pemilu 2019, KPU mencoret nama Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai caleg DPD dari dapil Kalimantan Barat. Sebab OSO tidak menyerahkan pengunduran diri dari Hanura. Sebagaimana diketahui, salah satu syarat di Pemilu 2019, caleg DPD tak boleh berasal dari parpol. Selain OSO, KPU juga mencoret nama Victor Juventus G May dari dapil provinsi Papua Barat. "Pak Oesman Sapta sampai tadi malam tidak menyerahkan pengunduran diri dari parpol," ujar Komisioner KPU Ilham Saputra.

Sementara itu Bawaslu RI menggelar sidang putusan pendahuluan dan pembacaan laporan Nomor:05/LP/PL/ADM/RI/00.00/IX/2018 mengenai pelanggaran administratif pemilu yang diduga dilakukan KPU RI. Ini merupakan tindaklanjut pelaporan tim penasihat hukum Ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang kepada Bawaslu RI. OSO mempermasalahkan penerbitan surat KPU RI pada 10 September 2018 lalu yang menerapkan syarat pencalonan anggota DPD dengan memasukkan syarat baru.
Di dalam surat itu tercantum syarat baru mengenai pencalonan anggota DPD RI. Syarat baru itu mewajibkan kepada bakal calon anggota DPD untuk mengundurkan diri sebagai pengurus partai politik. Padahal Daftar Calon Sementara (DCS) yang merupakan hasil verifikasi terhadap syarat pencalonan DPD sesuai dengan syarat sebelumnya telah selesai.

"Surat tanggal 10 September itu menerapkan syarat baru dengan tanpa dasar. KPU menerbitkan PKPU berdasarkan undang-undang. Sedangkan Undang-Undang Pemilu itu masih belum diubah. Surat tersebut, kami laporan sebagai pelanggaran administrasi pemilu," ujar Dodi Abdul Kadir, penasihat hukum Ketua DPD RI, Oesman Sapta Odang.

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 menegaskan bahwa frasa 'pekerjaan lain' dalam Pasal 182 huruf I UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, menurut dia, keputusan itu baru diputuskan pada 23 Juli 2018 atau melalui tahapan pemilu dan secara tegas sudah ditetapkan. "Dan secara tegas dalam UU MK dan pernyataan MK putusan MK berlaku ke depan. Berlaku progresif dan retroaktif sesuai konstitusi Pasal 28 UUD 1945, di mana pengenaan hukum tidak bisa diberlakukan secara retroaktif," kata dia.

Sehingga, dia menilai, penerbitan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan DPD, DPR RI, DPRD yang dikeluarkan oleh KPU RI merupakan bentuk ketidakpatuhan hukum. Selain itu, dia menegaskan, PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu dan konstitusi. Sehingga, dia menambahkan, PKPU itu tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum. "Apabila ada subjek tidak patuh, dia masuk dalam kualifikasi melawan hukum yang sudah ada sanksinya berdasarkan undang-undang. Dan tindakan yang bertentangan dengan hukum batal dengan sendirinya tidak mengikat," katanya.
Sudah Berlaku

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 mengenai larangan pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah mulai berlaku sejak dibacakan di sidang pembacaan putusan pada 23 Juli 2018. Pernyataan itu disampaikan Hakim Konstitusi, I Dewa Gede Palguna. Dia menanggapi sejumlah pemberitaan media massa yang menyebut aturan tersebut baru berlaku pada Pemilu 2024.
"Tak benar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 baru mulai berlaku untuk Pemilu 2024," kata Palguna.

Putusan MK itu mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011, disebutkan Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Dia menegaskan, putusan itu berlaku dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak 23 Juli 2018. Selain itu, putusan ini menjadi landasan hukum bagi penyelenggara pemilu membuat aturan.

"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dapat dijadikan alasan membatalkan hasil perolehan suara calon dimaksud," kata Palguna.

Aturan larangan bagi pengurus parpol menjadi anggota DPD mulai berlaku tanpa terlebih dahulu dilakukan perubahan terhadap undang-undang terkait, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jika penyelenggara negara menilai perlu melakukan perubahan pada undang-undang tersebut maka tetap bisa dilakukan. Namun, hal ini tidak mengubah keberlakuan putusan MK.
"Putusan MK derajatnya setara dengan undang-undang, karena itulah MK disebut negatif legislator.

Oleh karena itu di dalam Undang-undang MK pasal 47 ditegaskan bahwa putusan MK memoeroleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam pleno MK yang terbuka untuk umum," katanya.
Langkah Hukum

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan melakukan langkah hukum apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoret calon anggota DPD dari pengurus partai politik dalam hal ini adalah Oesman Sapta Odang atau OSO. Langkah tersebut akan diambil karena dalam rapat konsultasi antara DPD dan MK menyatakan larangan pengurus parpol jadi calon anggota DPD tidak berlaku surut dan baru diberlakukan pada Pemilu 2024 mendatang.
"Kalau KPU tidak patuh, kami ambil langkah hukum. Penetapan itu melanggar konstitusi, menimbulkan kegaduhan,"kata Wakil Ketua DPD, Nono Sampono.

Nono juga meminta KPU untuk tidak menerapkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 26 Tahun 2018 tentang perubahan peraturan KPU Nomor 14 tahun 2018 tentang pencalonan anggota DPD pada Pemilu 2019, yang mewajibkan calon anggota DPD harus mundur dari kududukannya sebagai pengurus parpol di semua tingkatan.
"Demi kepastian hukum, KPU wajib mencabut PKPU Nomor 26 tahun 2018 dalam menentukan daftar calon tetap (DCT) calon anggota DPD. KPU tak memiliki landasan hukum, apalagi mendasarkan PKPU tersebut pada putusan MK Nomor 30/XVII/2018," ujar Nono.

Lebih jauh Nono menjelaskan apabila Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih tetap meragukan pernyataan atau tafsir putusan MK, pihaknya akan mengirim rekaman rapat konsultasi pimpinan DPD dan pimpinan MK. Sementara Kuasa Hukum DPD, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pertemuan antara pimpinan MK dan pimpinan DPD memberikan kepastian hukum. Selain itu, kata dia, hal itu juga mengakhiri kegaduhan politik yang kini terjadi. Yusril menerangkan, penetapan Putusan MK Nomor 30/XVII/2018 tak bisa dilakukan melalui PKPU.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved