Menyoal Surat Pastoral PGI Terkait LGBT, Dialog Kunci Melawan Diskriminasi
Dialog terbuka bisa menjadi salah satu solusi atas diskriminasi terhadap kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender
Penulis: Fernando_Lumowa | Editor: Fernando_Lumowa
TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Dialog terbuka bisa jadi salah satu solusi atas diskriminasi terhadap kelompok LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender).
Dialog terbukti menjadi media efektif membuka sekat kecurigaan sekaligus menyingkap tirai antipati yang menutupi kontoversi terkait LGBT. Ini menjadi simpulan dalam Focus Group Discussion (FGD) Menyatukan Persepsi dan Interpretasi Seputar LGBT.
Diskusi di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado, Kamis (30/6/2016) ini mengulas Surat Pastoral Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) soal LGBT
Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (Peruati) Pdt Ruth Ketzia Wangkai MTH mengakui hal tersebut. Menurutnya, dalam beberapa kesempatan Peruati menggelar dialog yang melibatkan pendeta, banyak yang tercerahkan.
Kata Ruth, saban menggelar diskusi tak sedikit peserta yang bersikap kontra menolak kelompok LGBT. "Namun ketika mereka mendengar testimoni perwakilan LGBT, akhirnya paham. Bersikap terbuka dan menerima secara objektif," kata Ruth.
Surat pastoral PGI yang dikeluarkan Mei lalu, menurut Ruth merupakan pernyataan sikap sekaligus wujud kekhawatiran. Sebagai organisasi keagamaan yang membawahi sedikitnya 87 gereja di Nusantara, PGI melihat adanya penolakan gereja di mana-mana.
Apa yang ditakutkan ialah ekses dari sikap penolakan itu. "Diskriminasi dan kecenderungan menghakimi yang bisa berujung anarkisme terhadap kelompok LGBT," katanya.
Surat penggembalaan tersebut merupakan dimensi sosial yang objektif karena menegaskan kelompok LGBT merupakan bagian integral gereja, masyarakat dan negara. "Ibaratnya, ini oase menyejukkan di tengah musim panas penekanan terhadap saudara-saudara kita (kelompok LGBT). Atas nama kemanusiaan," tegasnya.
Menurut hemat dia, sebagai gereja yang inklusif, tak seharusnya menghakimi tapi seharusnya merangkul. Ia mendorong kelompok peduli LGBT menggagas dialog dan aksi kemitraan yang mengkampanyekan pentingnya objektivitas dan sikap adil menghadapi fenomena ini di masyarakat.
Sanubari Sulut menggelar FGD membahas soal Surat Pastoral PGI terkait LGBT di Sekretariat AJI Manado, Kamis (30/6/2016)
Akademisi dari Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), Denni Pinontoan menilai, percakapan menjadi pintu masuk pada pemahaman bersama seputar LGBT. Baginya, dialog menghilangkan prasangka dan menghasilkan interpretasi positif.
"LGBT menjadi 'persoalan' bagi sebagian kalangan karena justru mereka cenderung menghakimi, menutup diri dan tidak memberi ruang bagi. Memang akan sulit manakala bertemu dengan personal atau kelompok yang sudah duluan apatis, menutup diri, apalagi terlanjur memupuk kebencian," kata Pinontoan.
Hal yang paling ditakutkan dan selama ini paling berbahaya, kata Denni, ialah sikap penolakan lembaga agama. Lebih-lebih pemuka agama melegitimasi ayat-ayat Alkitab yang dijadikan 'senjata' menghakimi kelompok LGBT.
"Persoalannya pada cara menafsir Alkitab, tanpa melihat konteks ketika ayat itu ditulis dan relevansinya," kata Denni yang juga pegiat budaya Minahasa.