G30S 1965
Kisah Mayjen DI Panjaitan Terbunuh dalam Tragedi G30S, Sang Putri Ceritakan Kebiadaban Cakrabirawa
Kisah Mayor Jenderal Anumerta Donald Isaac Panjaitan atau Mayjen DI Panjaitan, korban tragedi G30S 1965.
TRIBUNMANADO.CO.ID - Mengenang kisah Mayor Jenderal Anumerta Donald Isaac Panjaitan atau Mayjen DI Panjaitan, salah satu dewan Jenderal TNI AD yang wafat dalam tragedi G30S pada September 1965 silam.
Dalam catatan sejarah, nasib kelam bagi DI Panjaitan ketika segerombolan pasukan yang disebut-sebut didalangi PKI (Anggota Resimen Cakrabirawa) menyambangi rumah sang jenderal pada 1 Oktober 1965, subuh pagi.
DI Panjaitan kala itu sempat berusaha ditolong oleh keluarganya namun nasib berkata lain.
Kebiadaban para pemberontak terhadap sang jenderal diungkap Catherine Panjaitan, anak sulung mendiang DI Panjaitan.
Catherine Panjaitan merupakan saksi peristiwa tragis yang dialami ayahnya.
Tragedi Gerakan 30 September atau G30S diperingati Indonesia pada Selasa (30/9/2025).
Peristiwa G30S diketahui terjadi pada 30 September sampai awal 1 Oktober di tahun 1965.
Beberapa jenderal yang menjadi korban dalam peristiwa G30S, satu di antaranya Donald Isaac Panjaitan atau kerap disapa DI Panjaitan.
DI Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun.
Sang putri, Catherine Panjaitan mengungkapkan kesaksiannya ketika peristiwa terjadi, dikutip TribunWow.com dari kanal YouTube iNews Talkshow & Magazine pada Selasa (25/9/2018).
Catherine mulanya mengatakan para pasukan pembelot datang ke rumahnya dengan mengepung seluruh sisi rumah pada pukul 04.00 WIB pagi, 1 Oktober 1965.
"Ya benar mereka datang subuh setengah empat dan menurut rekonstruksi mereka diperintahkan datang ke rumah jenderal-jenderal untuk mereka diculik dikasi waktu satu jam," ujar Catherine yang saat itu berumur 17 tahun.
"Dalam satu jam, dapat tidak dapat, bubar."
Ia mengatakan saat itu, ayahnya berhasil didapatkan para pasukan pembelot dalam waktu 55 menit.
"Nah ayah saya 55 menit, jadi mereka mendapatkan ayah saya.
"Nah terus mula-mula mereka datang dikepung, (rumah) oleh massa ya," ujarnya.
"Di depan berapa truk, di belakang juga beberapa truk. Dan kita terbangun oleh ribut mereka.
"Datang 'druk-druk' (suara sepatu) boots dan mereka teriak-teriak 'Bapak jenderal-bapak jenderal'. Nah kita bangun, siapa?," paparnya.
Saat itu, dirinya bersama ibu dan DI Panjaitan berada di lantai atas.
Dan saat itu keluarganya menghalau untuk pasukan pembelot bertemu DI Panjaitan.
"Di bawah terjadi perlawanan oleh sepupu saya dan om saya, ada tiga orang laki-laki.
"Ya karena enggak puas mereka lasung tembak, jadi dua orang kena.
"Sambil sepupu saya teriak, orang Batak itu bilang Om, Tulang 'Tulang, tulang jangan turun'," ujarnya menceritakan kembali.
Lantas para pasukan pembelot menanyakan kepada pembantunya dan mengetahui di mana DI Panjaitan berada.
"Nah kita kan enggak ngerti ya, akhirnya mereka masuk, pembantu ditanya 'Ndoromu mana?' terus kasih tunjuk, beliau atas," ungkapnya menirukan percakapan keduanya.
Saat itu ia berkisah, dirinya tak bisa meminta bantuan karena telepon pada jaman dahulu yang berbentuk paralel dipotong kabelnya dari lantai bawah.
"Akhirnya kita sibuk telepon, tapi dulu kan paralel, kita di atas, yang di bawah mereka gunting jadi enggak bisa cari bantuan."
"Akhirnya mereka di tangga teriak 'Bapak jenderal, bapak jenderal' panggil ayah saya. Terus ayah saya sedang sibuk ngokang-ngokang (senjata)."
Panggilan pasukan pembelot lantas dijawab oleh ibunya.
"Terus dijawab, 'Ada apa', (dijawab) 'Dipanggil kepala duka yang mulia'. Akhirnya ibu bilang 'Pakai-pakaian dulu',
lalu (ayah) turun ke bawah, saya mau ikut dilarang ayah saya," sebutnya.
Ia menjelaskan saat itu ayahnya ditarik dengan paksa untuk turun ke bawah.
"Menurut rekontruksi mereka tarik ayah saya ke bawah, paksa dorong kasar sekali.
"Saya enggak boleh ayah saya ikut saya ke balkon mau lihat apa kelanjutannya," ujarnya.
Pada saat itu, ia melihat ayahnya dipaksa untuk hormat kepada perwira.
"Ayah saya disuruh hormat. Saya sebagai tentara ya mengerti, kok disuruh hormat? Terhadap perwira atau jenderal," kata Catherine.
Namun DI Panjaitan menolak dan mendapat pukulan di dahi.
Catherine lantas tahu, tembakan dilepaskan oleh pasukan pembelot ke dahi ayahnya.
"Langsung ayah saya pakai senjata laras dipukul, ayah saya jatuh saya langsung lari turun ke bawah, ternyata ditembak di dahi."
"Tapi saat saya turun ayah saya enggak ada lagi, diseret dilempar ke gerbang, karena gerbang kan tinggi, dilempar sudah kaya binatang," ungkapnya.
Mayat DI Panjaitan dibawa oleh pasukan pembelot ke dalam truk dan dibawa kembali ke markas gerakan itu di Lubang Buaya.
Diketahui, Lubang Buaya merupakan tempat di kawasan Pondok Gede, Jakarta yang menjadi tempat pembuangan para korban G30S.
Chaterine juga membenarkan jalan cerita film G30S merupakan benar adanya karena ia ikut terlibat dalam memberikan kesaksian peristiwa itu.
"Persis almarhum Arifin C Noer (red: sutradara) gambarkan," imbuhnya.
Chaterine juga menyatakan, Arifin C Noer melakukan wawancara satu per satu dengan saksi peristiwa.
Sosok Jenderal DI Panjaitan
Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Medan, Sumatera Utara, 9 Juni 1925, dikutip dari Wikipedia.
Saat Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia kemudian bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI.
Di TKR, salah satu putra terbaik Batak itu pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, lalu menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948.
Hingga dirinya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera.
Dan saat Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, Panjaitan diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Hingga berakhirnya Agresi Militer Belanda ke II, dan Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan.
Panjaitan lantas diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan.
Saat itu ia dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Seusai mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat.
Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia.
Akan tetapi, tak lama pada tahun 1962, dirinya ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad).
Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa G30S terjadi.
-
Baca juga: Mengenal Resimen Cakrabirawa, Pasukan Penjaga Presiden yang Terlibat G30S, Berdiri saat Era Soekarno
*Artikel ini sebelumnya telah tayang di Tribunwow.com dengan judul: Kisah Mencekam G30S Diungkap Putri Jenderal DI Pandjaitan, Rumahnya Dikepung dan Ayahnya Diseret
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.