TRIBUNMANADO.CO.ID - Pencabutan gugatan praperadilan oleh ratusan pendeta, ketua wilayah, ketua jemaat, emeritus, dan pekerja gereja terhadap Polda Sulawesi Utara terkait pemblokiran rekening Sinode GMIM mendapat sorotan.
Dimana langkah pengajuan gugatan tersebut merupakan respons hukum yang kerap disalahpahami.
Hal ini ditegaskan oleh pengamat hukum Sulawesi Utara, Supriadi Pangellu, SH,.MH.
Baca juga: Pendeta dan Pekerja GMIM Cabut Praperadilan Terhadap Polda Sulut, Ini Alasannya
Menurut Supriadi, yang berhak mengajukan praperadilan atas tindakan pemblokiran adalah tersangka atau pihak yang rekeningnya diblokir secara langsung, bukan pihak lain.
"Tersangka, atau pihak yang rekeningnya diblokir, memiliki hak untuk mengajukan praperadilan atas tindakan pemblokiran tersebut, bukan para pendeta,” jelas Pangellu. Senin (28/7/2025).
Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, praperadilan merupakan mekanisme untuk menguji sah atau tidaknya tindakan aparat penegak hukum, seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, maupun pemblokiran rekening.
Namun, penting dipahami bahwa tidak semua pihak bisa mengajukan praperadilan.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku, hanya tersangka atau pihak yang secara langsung dirugikan oleh tindakan aparat penegak hukum yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan praperadilan.
"Tersangka, atau pihak yang rekeningnya diblokir secara langsung, adalah satu-satunya yang berhak mengajukan praperadilan atas tindakan pemblokiran tersebut. Bukan pendeta atau pihak lain di luar objek hukum," ujar Supriadi Pangellu.
Ia menjelaskan, meskipun para pendeta dan pemimpin jemaat memiliki kepedulian terhadap dana dalam rekening sinode, secara hukum mereka tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk menggugat tindakan pemblokiran tersebut jika mereka bukan tersangka atau bukan pemilik rekening yang diblokir.
Supriadi juga menekankan pentingnya memahami batas-batas hak dan kewenangan dalam mekanisme praperadilan agar tidak terjadi kekeliruan atau pemborosan proses hukum yang berujung pada gugatan yang tidak dapat diterima oleh pengadilan.
“Praperadilan adalah ruang hukum yang bersifat personal. Hanya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang langsung terdampak secara hukum oleh tindakan aparat. Jika bukan tersangka, maka gugatan bisa dinyatakan tidak sah sejak awal,” tegasnya.
Dalam konteks ini, pencabutan gugatan oleh para pendeta menjadi keputusan yang tepat secara hukum, terlebih setelah rekening yang diblokir sudah kembali aktif. Namun, Supriadi mengingatkan bahwa jika ke depannya terjadi tindakan pemblokiran ulang atau penyitaan, pihak yang merasa dirugikan secara langsung-lah yang harus mengajukan praperadilan, bukan atas nama solidaritas atau kepedulian semata.
Sebelumnya, setelah melalui ketegangan hukum yang menyita perhatian publik, ratusan pendeta, ketua wilayah, ketua jemaat, emeritus, dan pekerja gereja akhirnya mencabut gugatan praperadilan terhadap Polda Sulawesi Utara terkait pemblokiran rekening milik Sinode GMIM.
Langkah ini diambil menyusul dicabutnya surat pemblokiran rekening sinode, yang membuat rekening kembali aktif.
Kuasa hukum para pendeta, Franklin A. Montolalu, menjelaskan bahwa objek praperadilan kini dianggap tidak lagi relevan karena situasi sudah berubah.
"Alasan praper tidak dilanjutkan karena surat Polda sebagai dasar objek praperadilan kemungkinan sudah dicabut.
Dengan kata lain, telah terjadi perubahan keadaan terhadap objek praperadilan, yaitu rekening sinode," ujar Montolalu kepada Tribunmanado.com, Minggu (27/7/2025).
Ia menegaskan, pencabutan blokir berarti dana dalam rekening sudah bisa diakses kembali. Namun, ia juga memberi peringatan bahwa situasi belum sepenuhnya aman.
"Polda bisa saja kembali melakukan pemblokiran dengan menerbitkan surat baru. Biasanya, setelah blokir akan dilanjutkan dengan upaya paksa berupa penyitaan," ujarnya.
Montolalu mengungkap bahwa dalam rekening tersebut masih tersimpan dana jemaat GMIM sebesar Rp 3,4 miliar lebih.
Jika benar telah terjadi penyitaan, ia khawatir dana itu telah ditarik seluruhnya dari rekening.
"Untuk memastikan hal ini, perlu penjelasan resmi dari pihak Polda atau Pengadilan. Karena dalam kasus penyitaan, umumnya dibutuhkan izin dari pengadilan," jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa dana yang tersimpan dalam rekening tersebut bukan bagian dari dana hibah pemerintah, melainkan dana sentralisasi jemaat yang telah dikuduskan dalam ibadah.
“Jika dana milik jemaat itu benar-benar disita, maka itu merupakan perbuatan melawan hukum. Dana tersebut tidak ada kaitannya dengan hibah tahun 2020 hingga 2023, karena dana hibah sudah dipertanggungjawabkan melalui laporan tahun buku berjalan,” tegas Montolalu.
-
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini